Senin, 31 Oktober 2011

Ketuhanan Yesus Bukan Ajaran Yesus


KETUHANAN YESUS BUKAN AJARAN YESUS KRISTUS

Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.
QS. An Nisaa’ (4) : 171
Ahli Kitab artinya kaum yang memiliki kitab suci. Secara khusus istilah Ahli Kitab dipakai untuk menyebut para penganut agama Yahudi dan Nasrani. Bagi mereka telah diturunkan kitab-kitab suci, seperti Taurat, Injil dan Zabur, yang diwahyukan kepada para rasul atau nabi-nabi.
Ahli Kitab seringkali melampaui batas dalam menjalankan hidup keagamaan mereka. Bahkan mereka berani mengata-kan bahwa Allah mempunyai anak.
Umat Yahudi mengatakan Uzair itu anak Allah. Uzair a.s. (Ezra) adalah keturunan Nabi Harun a.s., seorang nabi Allah yang pernah ditidurkan (dimatikan) oleh-Nya selama seratus tahun di bawah puing reruntuhan sebuah kota yang telah mati. Kemudian Allah membangkitkannya (menghidupkannya) kembali setelah kota tersebut hidup dan berpenghuni lagi. Beliau hidup diperkirakan sezaman dengan Bukhtanashar (Nebukadnezar). Keluarbiasaan yang dialaminya adalah bukti kekuasaan Allah bagi bani Israel. Di saat itulah ia mendiktekan Taurat yang sempat lenyap dari orang-orang Israel.[1]
Sedangkan umat Kristen mengatakan bahwa Yesus Kristus itu anak Allah. Padahal Allah telah berfirman:
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka berbohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka gambarkan. QS. Al An’am (6) : 100
Sungguh, tiada tuhan selain Allah. Tetapi Ahli Kitab seringkali mempersekutukan Allah dengan malaikat, nabi-nabi, dan berhala. Bahkan umat Kristen menyatakan bahwa Allah yang sejati terdiri dari tiga pribadi yang satu dalam hakikat (Homoousios, istilah kata dari filsafat Yunani),  dikenal dengan sebutan dogma Tritunggal/Trinitas. Dalam Catholic Encyclopedia diterangkan:
“Tritunggal adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan doktrin agama Kristen. Sang Bapa adalah Allah, Sang Anak (Yesus) adalah Allah,  dan  Roh  Kudus adalah Allah, … dalam Tritunggal ini … pribadinya sama kekal dan setara, semuanya tidak diciptakan dan Maha-kuasa.”
Jika dilambangkan secara matematis:
Allah Bapa = Allah Anak (Yesus) = Allah Roh Kudus
Lahirnya dogma Tritunggal berawal dari pengangkatan Yesus sebagai ‘Putra Tuhan’ dalam Konsili Nicea pada tahun 325 M. Konsili itu merumuskan bahwa Yesus itu satu hakikat (homo ousius) dengan Allah (Dwinitas). Pada tahun 381 M konsili Konstantinopel menyatakan bahwa Roh Kudus juga satu hakikat dengan Allah dan Yesus.  Konsili Khalkedon pada tahun 451 M menegaskan bahwa Yesus itu seratus persen Allah dan seratus persen manusia. Sejak saat itu berkembanglah agama Kristen baru, yakni Katolik Roma yang berbu-daya Yunani (Hellenistik). Gereja Katolik Roma menyimpang jauh dari agama yang diajarkan dan dijalani oleh Yesus.
Setelah konsili Khalkedon kontroversi tentang ke-allah-an Yesus belum berakhir. Sama seperti konsili-konsili Nicea dan Konstantinopel, tetap saja para teolog Kristen tidak merasa puas dan terus berselisih. Namun perselisihan tersebut lebih banyak diredam oleh otoritas gereja yang lambat laun semakin menampilkan diri sebagai kekuatan politik. Kekuatan politik gereja Katolik Roma semakin kokoh setelah Uskup Roma yang digelari “Bapa dunia Kristen” berhasil menobatkan Raja Clovis dari Franka (Perancis) tahun 496. Penobatan Raja Clovis ini menyumbangkan kekuatan politik yang sangat besar bagi Takhta Suci.
Pada saat itu, bangsa-bangsa barbar di sekeliling Roma belum menerima dogma Tritunggal yang diajarkan oleh gereja Katolik Roma. Sebaliknya, mereka kebanyakan meng-anut Arianisme, ajaran Arius yang menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya Allah yang benar, dan Yesus Kristus adalah ciptaan Allah. Ajaran Arius ini sangat dimusuhi oleh gereja Katolik Roma karena sangat bertentangan dengan dogma Tritunggal. Gereja pun menuduh pengikut Arianisme sebagai kaum bidah, heretic.
Arianisme merupakan ajaran yang sangat membahayakan keberlangsungan dogma Trinitas. Maka Raja Clovis menyerbu bangsa-bangsa barbar itu. Ini bukan sekedar perang biasa, ini perang agama yang sangat menentukan apakah iman Katolik atau iman Arian yang akan mendominasi wilayah Eropa. Ternyata, Raja Clovis sukses menghancurkan Visigoth tahun 507. Dia berhasil membunuh Raja Goth, Alarik.
Kemenangannya bukanlah suatu kemenangan sementara. Kerajaan Goth Barat dan kaum Burgundi telah menjadi kerajaan Franka. Para penyerbu telah menang telak, dan akan mempertahankannya. Telah ditetapkan bahwa Frankalah, bukannya Goth, yang akan mengarah-kan nasib Gaul dan Jerman di masa depan, dan bahwa iman Katolik, bukan Arianisme, yang akan menjadi agama wilayah yang luas ini. (Church, 1887 dalam Smith, 1944:328).
Kemenangan Raja Clovis menjadikan kekuasaan politik Takhta Suci Kepausan atas wilayah Eropa semakin mendominasi, malah hampir mutlak.
Gereja Katolik Roma berkuasa di Eropa selama belasan abad di abad pertengahan. Dengan kekuasaan politik yang besar tersebut Paus dan gereja dapat menghukum dengan tegas siapa saja yang dianggap sebagai sesat (bidat). Orang-orang sesat akan “dibersihkan” oleh lembaga Inkuisisi yang terkenal punya metode-metode siksaan yang mengerikan. Mereka membenarkan tindakan kejam yang mereka lakukan dengan mengutip secara paksa ayat-ayat Perjanjian Lama dan dengan mengacu pada Augustinus, yang telah menafsirkan Lukas 14:23 sebagai ayat pendukung penggunaan kekuatan terhadap bidat. “Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk karena rumahku harus penuh.”
Berdasarkan paham itulah, gerakan reformasi yang dipelopori oleh seorang biarawan Jerman bernama Martin Luther (1483-1546) dijawab oleh Gereja Katolik Roma dengan segera melancarkan aksi penumpasan. Reformasi yang terjadi pada masa Paus Leo X ini menelan korban puluhan ribu jiwa, yang sebagian besar berasal dari kaum petani pendukung Martin Luther.
Sejarah Hitam Gereja Katolik Roma
Sejarah mencatat, pernah ada kekejaman di kalangan Gereja. Ketika sistem agama Katolik Roma telah mapan, ia menjadi semakin tidak toleran terhadap perbedaan. Sese-orang yang beragama Kristen Katolik harus mengimani semua dogma atau doktrin yang diajarkan gereja dan pendeta secara bulat-bulat dan utuh, meskipun tidak dapat di-mengerti. Tidak ada celah pertanyaan untuk itu. Setiap yang mempertanyakan ajaran-ajaran yang telah ditetapkan oleh gereja dianggap sebagai penentang, atau bahkan sesat. Bahkan mereka yang keluar dari gereja Katolik Roma harus diadili dan diberantas.
Gereja Katolik Roma bertindak kejam terhadap semua orang yang menentang doktrin dan tradisi palsu yang bertentangan dengan AlKitab, yang makin menjadi bagian darinya sejak zaman Konstantin. Orang yang tidak setuju dengan mereka atau doktrin mereka dicap bidat yang harus dibawa masuk pada kesepakatan dengan Gereja Katolik Roma dengan kekuatan apa pun yang dibutuhkan. Jika bidat itu tidak bertobat serta bersumpah setia kepada paus dan wakil gereja, mereka harus dihukum mati. Kekejaman Gereja tersebut menyebabkan banyak orang menjadi martir. Ini merupakan “Zaman Kegelapan” gereja.
Untuk mengusut bidat yang menentang doktrin-doktrin dan tradisi-tradisi Gereja Katolik Roma maka Paus Gregorius IX membentuk pengadilan Inkuisisi. Nama yang tidak terkenal ini digunakan dalam arti lembaga itu sendiri, yang adalah episkopal (diperintah oleh Uskup atau uskup-uskup) atau Paus, secara regional atau lokal; anggota pengadilan; dan cara kerja pengadilan. Pada akhirnya Inkuisisi menjadi sebuah alat pemerintahan kepausan untuk menghukum orang-orang yang dituduh sebagai bidat.
Pada awalnya Pengadilan Inkuisisi itu hanya menangani tuduhan tentang bidat, tetapi kekuasaannya segera meluas hingga mencakup tuduhan seperti tenung, alkimia, penghujatan, penyimpangan seksual, pembunuhan anak, pembacaan Talmud oleh bangsa Yahudi atau Alquran oleh orang-orang Muslim.
Pada 1487 Paus Innocentius VIII menunjuk rahib Dominikan Spanyol, Tomas de Torquemada (1487-1498), sebagai pelak-sana Inkuisisi Agung. Di bawah kekuasaan-nya, ribuan orang Kristen, Yahudi, Muslim, penyihir yang dicurigai, dan orang-orang lainnya terbunuh dan disiksa. Orang-orang yang berada dalam bahaya terbesar karena Inkuisisi adalah kaum Protestan dan Alumbrados (penganut mistik di Spanyol). Secara pribadi Tomas de Torquemada meme-rintahkan lebih dari 2.000 orang untuk dibakar di tiang.
Sementara itu, dari semua Inkuisisi di seluruh dunia, Inkuisisi di Spanyol adalah yang paling aktif dan sadis. Ada tujuh belas pengadilan di Spanyol, masing-masing membakar rata-rata 10 bidat setahun, serta menyiksa dan memotong kaki atau tangan ribuan orang lain yang hampir bisa pulih dari luka-lukanya.
Ketika  Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara di Madrid. Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila. Pasukan Perancis yang sudah terbiasa  dengan  kekejaman  dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, kemudian meledakkan biara tersebut.
Pada 1908, Inkuisisi direorganisir di bawah nama Congregation of the Holy Office dan didefinisikan ulang selama Konsili Vatikan II oleh Paus Paulus VI sebagai Congregation of the Doctrine of the Faith.
Dalam Pengadilan Inkuisisi, pembelaan yang dilakukan oleh orang-orang yang dituduh bidat hampir tidak ada gunanya karena tuduhan yang dikenakan pada mereka sudah menjadi bukti yang cukup untuk menyatakan kesalahan, dan makin besar kekayaan tertuduh, makin besar bahaya yang ia tanggung. Sering kali seseorang dieksekusi bukan karena ia bidat, melainkan karena ia memiliki harta benda yang banyak. Sering kali tanah dan rumah yang luas atau bahkan provinsi atau wilayah kekuasaan dirampas oleh Gereja Roma atau oleh penguasa yang bekerja sama dengan Inkuisisi dalam pekerjaan mereka.
Selama masa Inkuisisi di Spanyol diperkirakan ada sekitar 32.000 orang, yang kesalahannya tidak lebih dari tidak sepaham dengan doktrin paus, atau yang telah dituduh melakukan kejahatan takhayul, yang disiksa di luar imajinasi, kemudian dibakar hidup-hidup. Otoritas gereja mengabaikan pendapat bahwa menghukum kaum “heretics” (kaum yang dicap bidat) dengan membakar hidup-hidup adalah berten-tangan dengan semangat Kristus. Tapi, sikap gereja ketika itu menyatakan, bahwa membakar hidup-hidup kaum heretics adalah suatu tindakan yang mulia.
Setelah Pengadilan Inkuisisi selesai menghakimi, upacara yang khidmat diadakan di tempat eksekusi; yang dikenal sebagai sermo generalis (“khotbah umum”) atau, di Spanyol, sebagai auto-de-fe (tindakan iman), Acara itu dihadiri oleh pejabat lokal, para imam, dan semua orang, entah musuh atau teman bidat itu, yang ingin melihat hukuman eksekusi.
Demikianlah, selama beberapa abad Gereja Katolik Roma mengamuk di seluruh dunia seperti binatang buas yang kelaparan dan membunuh ribuan orang yang percaya kepada Kristus yang sejati, menyiksa, dan memotong tangan atau kaki ribuan orang lagi. Hukuman ini terutama dijalankan di Italia Utara dan Perancis Selatan. Hukuman tegas tersebut diterapkan guna menjaga kemurnian dogma Tritunggal. Dalam situasi semacam inilah Paus dan gereja dengan leluasa menancapkan dogma Tritunggal secara mapan di kalangan umat Kristen.
”Ketahuilah, sahabatku, bahwa Tritunggal dilahirkan lewat tiga ratus tahun setelah diberikannya Injil purba; ia [doktrin Tritunggal] dikandung dalam ketidak-pahaman, dimunculkan dan dipertahankan oleh ke-kejaman” – Anthony Buzzard dalam bukunya: The Doctrine of the Trinity
Tetapi, “Zaman Kegelapan Gereja” tersebut ternyata tetap tidak mampu membendung pro-kontra terhadap dogma Tritunggal. Menyatakan Allah itu Tunggal (Satu/Esa), tetapi sekaligus Tiga adalah suatu paradoks. Istilah “Paradoks” berarti pernyataan yang tampaknya bertentangan dengan akal sehat, atau bertentangan dengan dirinya sendiri.

Dogma Tritunggal: Bukan AlKitabiah Dan  Ajaran Yesus
Karen Armstrong berkata, sejak awalnya memang Kekristenan itu suatu paradoks. Trinitas sebagai dogma jelas paradoks dengan monoteisme Israel. Oleh karena itu, sebenarnya Trinitas tidak dapat dipahami dengan akal pikiran, cukup dihidupi saja. Trinitas hanya masuk akal, sebagai suatu pengalaman mistik atau spiritual (Armstrong, 1993: 112-113,117).
Mengenai Tuhan Trinitas yang tidak masuk akal ini, santo Augustinus, dalam buku De Trinitate, memproklamirkan sebuah slogan “credo ua intellegam”, yang artinya “aku percaya (beriman) supaya aku bisa mengerti”. Tertullian juga menyikapi Tuhan Tritunggal dengan slogannya yang berbunyi “credo quia absurdum” (aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal). Slogan Santo Agustinus tersebut terkesan seirama dengan slogan Tertullian, tetapi sebenarnya justru berseberangan. Ia bersikap hipokrit dengan menyatakan, ia ‘bisa mengerti’ doktrin bahwa Tuhan adalah Trinitas karena ia sudah beriman terlebih dahulu. Sedangkan Tertullian bersikap lebih lugas dengan mengatakan bahwa yang membuat ia beriman adalah karena Tuhan Trinitas merupakan doktrin yang tidak masuk akal. Ia akan tetap beriman, meskipun tidak akan pernah bisa mengerti doktrin tersebut. Ia juga tidak mengatakan bahwa dirinya bisa mengerti doktrin tersebut (sekalipun sudah lama beriman)[2].
Paradoks selalu sangat sulit untuk dijelaskan. Dalam hal dogma Tritunggal, ada dua anggapan yang saling bertentangan: “Allah itu Satu” dan “Allah itu Tiga”. Mana yang benar di antara kedua anggapan tersebut?
Teolog besar Augustinus, yang pendapatnya banyak dianut oleh gereja masa kini, menulis dalam De Trinitate pernyataan iman sebagai berikut: “Bapa, Anak, dan Roh Kudus membentuk suatu kesatuan yang tunggal dan hakikat yang sama dalam kesetaraan yang tak terbagi-bagi. Dengan demikian, tidak ada tiga allah, melainkan satu Allah; sekalipun Bapa yang memperanakkan Anak, dan karenanya, Bapa bukanlah Anak; dan Anak diperanakkan oleh Bapa, dan karenanya Anak bukanlah Bapa; sedangkan Roh Kudus bukan Bapa ataupun Anak”. (Kristi, 2009: 90)
Memberikan penjelasan tentang dogma Tritunggal bukanlah yang mudah. Orang Kristen menjelaskan pada orang Kristen saja kesulitan, apalagi menjelaskan pada orang lain. Sebab  penjelasan  dogma Trinitas tersebut njelimet-nya setengah mati. “Tepatnya apa doktrin tersebut, atau bagaimana hal itu musti dijelaskan, para penganut Tritunggal pun tidak mencapai kata sepakat di antara mereka sendiri.” ­            A Dictionary of Religious Knowledge
Misalnya, jika kita menganalisis pernyataan iman Augustinus, di dalamnya terdapat beberapa pernyataan: (1) Hanya ada Satu Allah; (2) Bapa itu Allah; (3) Anak itu Allah; (4) Roh Kudus itu Allah; (5) Bapa bukan Anak; (6) Roh Kudus bukan Bapa dan bukan Anak. Jadi, bagaimana cara menjelaskan ”Bapa dan Anak sama-sama Allah, Bapa dan Anak adalah Satu Allah, tetapi Bapa bukan Anak”? Dan, bagaimana (pula) cara menjelaskan ”Bapa, Anak, dan Roh Kudus sama-sama Allah; Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah Satu Allah, tetapi Roh Kudus bukan Bapa dan bukan (pula) Anak”? Sungguh, pernyataan iman yang tidak masuk akal sehingga sulit dijelaskan.
“Misteri yang tidak dapat dimengerti tentang Allah Tritunggal. – Paus Yohanes Paulus II.
Kami tahu [Tritunggal] ini suatu misteri yang sangat dalam, yang sama sekali tidak kita mengerti” – Cardinal John O’Connor.
Yesus sendiri tidak pernah mengajarkan tentang dogma Tritunggal. Dia tidak pernah memerintahkan murid-muridnya untuk mempertuhankan dan menyembah dirinya. Dia juga tidak pernah mengaku sebagai ”Putra Allah”. Sebaliknya, Yesus seringkali mengaku bahwa dirinya adalah utusan Allah.
Francis Dávid (1510-1579) menyatakan, “doktrin Tritunggal tidak punya dasar dalam AlKitab, juga tidak masuk akal. Baginya, Tritunggal adalah ajaran tambahan dari konsili-konsili gereja yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani populer masa itu.”
“Asal usul Tritunggal sama sekali kafir” – The Paganism in Our Christianity



AlKitab Perjanjian Lama Tidak Mengajarkan Tritunggal
Imam Jesuit Edmund Fortman dalam bukunya The Triune God juga mengakui: “Perjanjian Lama… tidak secara tegas ataupun samar-samar memberi tahu kepada kita mengenai Allah Tiga Serangkai yang adalah Allah, Anak dan Roh Kudus … Bahkan Mencari di dalam ”Perjanjian Lama” kesan-kesan atau gambaran di muka atau ’tanda-tanda terselubung’ mengenai Trinitas dari pribadi-pribadi, berarti melampaui kata-kata dan tujuan dari para penulis tulisan-tulisan suci”.
The Encyclopedia of Religion mengungkapkan: ”Para teolog dewasa ini setuju bahwa AlKitab Ibrani (Perjanjian Lama) tidak memuat doktrin tentang Tritunggal”.
New Catholic Encyclopedia mengakui: ”Doktrin Tritunggal tidak diajarkan dalam Perjanjian Lama”.
AlKitab Perjanjian Baru Tidak Mengajarkan Tritunggal
The New International Dictionary of New Testament Theology dan teolog Protestan Karl Barth mengatakan: “Perjanjian Baru tidak memuat doktrin Tritunggal yang diperkembangkan”. ’AlKitab tidak memuat deklarasi yang terus terang bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah dari zat yang sama’.
The Encyclopedia of Religion menyatakan: ”Para teolog setuju bahwa AlKitab Perjanjian Baru juga tidak memuat doktrin yang jelas mengenai Tritunggal”.
Profesor E. Washburn Hopkins dari Universitas Yale menekankan: ”Bagi Yesus dan Paulus doktrin Tritunggal jelas tidak dikenal; … mereka tidak mengatakan apa-apa mengenai itu”. (Origin and Evolution of Religion).
Sejarawan Arthur Weigall menyatakan: ”Yesus Kristus tidak pernah menyebutkan perwujudan demikian, dan di manapun dalam Perjanjian Baru tidak terdapat kata ’Tritunggal’. Gagasannya baru diterima oleh Gereja tiga ratus tahun setelah kematian tuan kita”. (The Paganism in Our Christianity)
“Kita harus dengan jujur mengakui bahwa doktrin Tri-tunggal bukan bagian dari Perjanjian Baru Kristen Purba… Tidak ada jejak gagasan semacam itu dalam Perjanjian Baru. ‘Mysterium logicum’ ini, fakta bahwa Allah adalah tiga tapi satu, terletak sepenuhnya di luar pesan AlKitab. Ini adalah misteri yang Gereja taruh di hadapan orang yang percaya pada teologinya … Tetapi yang tidak terhubung dengan perkataan Yesus dan para Rasul. Tidak ada Rasul yang akan bermimpi memikirkan adanya tiga pribadi ilahi yang hubungan mutualis dan kesatuan paradoksnya melampaui pemahaman kita. Misteri Tritunggal adalah misteri semu yang memancar dari penyimpangan dalam pemikiran logis dari rel AlKitab, dan bukan ajaran AlKitab itu sendiri.” – Emil Brunner dalam bukunya Christian Doctrine of God, Dogmatics.
Bukan Tritunggal, Tetapi ‘Tiga Pribadi, Satu Tujuan’
Beberapa teolog Kristen penganut doktrin Tritunggal seringkali menggunakan ayat-ayat AlKitab untuk mendukung kebenaran dogma Tritunggal yang diajarkannya. Penggunaan dan penafsiran ayat-ayat AlKitab tersebut tidak berdasar dan seringkali ‘dipaksakan’. Salah satu ayat AlKitab yang sering digunakan sebagai dasar dogma Tritunggal adalah Yohanes 10 ayat 30.
“Aku dan Bapa adalah satu.” Yohanes 10 : 30
Frans Donald dalam bukunya Menjawab Doktrin Tritunggal: Tentang Ke-allah-an Yesus mengatakan: ”Apakah ayat itu semata-mata harus mutlak ditafsirkan bahwa Yesus dan Bapa [Allah] adalah satu esensi/hakikat? Tidak demikian. Memahami kata ’satu’ di dalam Yohanes 10:30 tentu tidak bisa lepas dari konteks Yohanes 10:25 [ayat sebelum Yohanes 10:30] yang berbicara soal Yesus melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam nama Bapa/Allah. ”Aku dan Bapa adalah satu” artinya Yesus bersatu dengan Bapa, bukan sama dengan Bapa.
“Arti echad adalah “satu”, bukan “kesatuan” (himpunan). Kata echad memang dapat dikenakan pada kata himpunan, misalnya “satu kelompok” atau “satu suku”. Satu kelompok atau satu suku memang terdiri atas beberapa manusia. Tetapi, bukankah memang yang disebut “satu” adalah himpunannya (kelompok dan suku), bukan anggota dari himpunannya? Tidak mungkin ada satu kelompok yang terdiri atas beberapa kelompok, atau satu suku yang terdiri atas beberapa suku. Demikian pula dalam hal “satu Allah”. Tidak mungkin ada satu Allah terdiri dari atas beberapa Allah. Konsep semacam itu tidak ada dalam pemikiran bangsa Israel tentang Allah mereka, Yahweh. Cara berpikir orang Yahudi bersifat konkret, bukan metafisik seperti orang Yunani. Kalau satu, ya satu. Kalau tiga, ya tiga (Kristi, 2009 : 35)”.
Ellen Kristi mengisahkan diskusinya dengan seorang Yahudi tentang keesaan Allah:
Pada suatu kunjungan ke sebuah sinagong, saya dan beberapa rekan berjumpa dengan seorang sahabat Yahudi. Kesempatan itu kami manfaatkan untuk menyelami cara pikir orang Yahudi tentang Kekristenan.
“Bagaimana menurutmu sebagai orang Yahudi,” tanya kami kepadanya, “tentang dogma Trinitas dalam teologi Kristen, bahwa Allah itu satu tetapi tiga pribadi, tiga pribadi tetapi satu?”
Tidak langsung menjawab, ia tersenyum dulu (tentu saja tanpa bermaksud melecehkan), baru kemudian berkata, “Wah, itu urusan kalian orang Kristen. Kalian mau menyembah tiga atau seratus, kami tidak memper-masalahkan. Kalau kami, satu ya satu. Kami hanya menyembah kepada satu Allah.” (Kristi, 2009 : 73).
Menurut LeGrand Richards, terdapat banyak salah pengertian tentang pernyataan yang sering diulangi bahwa Yesus dan Bapa-nya adalah satu. Pembacaan yang teliti atas pasal 17 Kitab Yohanes akan menerangkan persoalan ini sepenuhnya. Pada saat Yesus hampir diserahkan ia berdoa kepada Bapa-nya dan berterima kasih atas rasul-rasulnya, serta memohon, “supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” (Yohanes 17 : 11). Kemudian dia menambahkan:
“Dan bukan untuk mereka ini saja aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepadaku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam aku dan aku di dalam Engkau, agar mereka di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus aku.” Yohanes 17 : 20–21
Sekarang sangat jelas bahwa Yesus tidak berbicara mengenai satunya pribadi tetapi satunya tujuan, karena ia berdoa lebih lanjut supaya mereka boleh bersamanya. Ini tidak akan perlu jika menjadi satu yang disinggung itu adalah mengenai satunya pribadi dan bukannya tujuan.
“Ya Bapa, aku mau supaya, di mana pun aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan aku, mereka yang telah engkau berikan kepadaku, agar mereka memandang kemuliaanku yang telah Engkau berikan kepadaku, sebab Engkau telah mengasihi aku sebelum dunia yang dijadikan.” Yohanes 17 : 24
Sudah jelas bahwa yang disinggung sebagai menjadi satu itu tidak berhubungan dengan menjadi satunya pribadi, karena jika Yesus dan Bapa-nya adalah satu Pribadi, betapa tidak masuk akal untuk memikirkan bahwa Yesus akan berdoa kepada dirinya sendiri, atau bahwa ia akan mencintai dirinya sendiri sebelum dunia dijadikan. Ia berkata: “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka telah mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Yohanes 17 : 3. (LeGrand Richards, 1982: 30-31).
Bukti lain bahwa Yesus tidak satu hakikat (pribadi) dengan Allah, dapat kita pahami dengan seksama dari sabda Yesus berikut ini:
“Jikalau kamu mengasihi aku, kamu akan menuruti perintahku. Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima dia, sebab dunia tidak melihat dia dan tidak mengenal dia. tetapi kamu mengenal dia, sebab ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu… Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam namaku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepada-mu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah kukatakan kepadamu.” Yohanes 14 : 15-17, 26
Namun benar yang kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika aku pergi. Sebab jikalau aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau aku pergi, aku akan mengutus dia kepadamu… Masih banyak hal yang harus kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila ia datang, yaitu Roh Kebenaran. Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab ia tidak akan berkata-kata dari dirinya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang akan dikatakannya dan ia akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan aku, sebab ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari padaku.” Yohanes 16 : 7, 12-14
Ada beberapa kebenaran dasar yang dapat kita pelajari dari sabda Yesus Kristus tersebut, sebagai berikut:
1.   Yesus Kristus, Allah Bapa, dan Roh Kudus adalah tiga Pribadi yang berbeda, bahwa kesatuan mereka yang disebutkan di dalam ayat-ayat suci hanyalah kesatuan dalam tujuan dan keinginan, karena kalau tidak demikian, mengapa Yesus berdoa kepada Bapa-nya dan menjanjikan bahwa Bapa-nya akan mengutus seorang Penghibur yang lain? Tidak dapat ada seorang yang lain kecuali ada yang seorang. Yesus adalah Penghibur yang satu, dan sudah tentu ia tidak akan berdoa kepada dirinya sendiri, memohon agar dia sendiri mengutus dirinya sendiri sebagai seorang “Penghibur yang lain.”
2.   Yesus mengatakan, “Sebab jikalau aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu.” Yesus tidak menjelaskan mengapa dia bersama Roh Kudus tidak dapat tinggal di atas bumi dan melayani bersama-sama, tetapi sekalipun demikian, ia menjadikan kenyataan ini terang. Jika Yesus Kristus, Allah Bapa, dan Roh Kudus adalah satu Pribadi, seharusnya Yesus dan Roh Kudus dapat tinggal bersama-sama di atas bumi untuk melayani umat manusia. Tetapi dikarenakan Roh Kudus adalah seorang Penolong lain yang diutus oleh Allah setelah kepergian Yesus, maka Yesus harus pergi dari dunia terlebih dahulu, barulah Penolong lain itu datang ke atas bumi.
3.   Roh Kebenaran, tidak hanya bersemanyam dalam diri Yesus, melainkan juga dapat bersemanyam dalam diri murid-muridnya sehingga mereka bisa melihat dan menerimanya, sedangkan dunia tidak dapat menerima karena tidak dapat melihat dan tidak mengenal dia.
Yesus Kristus, Allah Bapa, dan Roh Kudus adalah Tiga Pribadi yang berbeda. Tiga Pribadi yang memiliki tugas dan peran masing-masing, tetapi memiliki tujuan dan keinginan yang satu. Kisah pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis semakin menegaskan kebenaran tersebut.
Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atasnya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anakku yang Kukasihi, kepadanyalah Aku berkenan.” Matius 3 : 16-17
Kisah pembaptisan Yesus Kristus oleh Yohanes Pembaptis tersebut telah membuktikan kepada kita bahwa Yesus Kristus, Allah Bapa, dan Roh Kudus adalah benar-benar tiga Pribadi yang berbeda. Dari kisah tersebut dapat dijelaskan:
1.   Pribadi Yesus  disebutkan dalam ayat, “Yesus Kristus segera keluar dari air.”
2.   Pribadi Roh Kudus disebutkan dalam ayat, “Roh Allah seperti burung merpati.”
3.   Pribadi Allah Bapa disebutkan dalam ayat, …terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anakku yang Kukasihi, kepadanyalah Aku berkenan.”
Yang dimaksud dengan “Aku dan Bapa adalah satu” dalam Yohanes 10:30 adalah Yesus Kristus bersatu dengan Allah Bapa, bukan bersatu dalam satu hakikat, tetapi bersatu dalam satu pekerjaan (baca Yohanes 10:25, Yesus melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam nama Allah Bapa), satu kehendak, satu tujuan.
Jika kita merenungkan permohonan Yesus kepada Allah dalam Yohanes 17:11, 21-23 maka dapat diketahui bahwa tidak hanya Yesus yang bisa menjadi ’satu’ dengan Allah; tapi 12 muridnya, bahkan orang-orang yang percaya kepada ajaran Yesus pun bisa menjadi ’satu’ dengan Allah. Tetapi ’satu’ di sini tidak berarti mereka menjadi satu hakikat dengan Allah. Sebab, kalau diartikan satu hakikat, ini berarti orang-orang yang percaya yang juga hidup bersatu ”di dalam Yesus dan di dalam Bapa” mereka menjadi satu hakikat pula dengan Allah dan mereka menjadi Allah semua!! Tentu tidak.
”Dan aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita. Yohanes 17 : 11
”Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam aku dan aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang mengutus Aku. Dan aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah meng-utus aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi aku.” Yohanes 17:21-23
Jika kata ’satu’ dalam Yohanes 17 : 11, 21-23 diartikan satu hakikat, mengapa Yesus dapat berpisah dengan murid-muridnya, kemudian datang kepada Allah? Jika Allah dan Yesus satu hakikat, mengapa Yesus memohon kepada Allah supaya dunia tahu dan percaya kalau Allah-lah yang mengutusnya? Bukankah kata ”Engkaulah yang telah mengutus aku” telah menunjukkan kepada kita bahwa Yesus itu adalah utusan Allah? Ini bukti bahwa yang dimaksud ’satu’ dalam ayat tersebut adalah satu iman, satu kepercayaan, satu Allah, satu baptisan. Oleh karena itu, Paulus menasehati jemaat Efesus untuk tetap memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.
“Berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua. Efesus 4 : 3-7


[1] (Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi, hlm. 592). Tasman Mahmud Syukri, Galileo Menyingkap Kebenaran, Depok: Gema Insani; cet.1, 2005; hlm. 87-88.
[2] Alexander Edbert C. Show Us The Straight Path: Menemukan Kebenaran Iman Yang Sejati. Jakarta: Pustaka Intermasa. Cet.1, Oktober 2008.   hlm. 134.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda sangat berarti bagi kami,,,,Terimakasih sebelumnya,