LENYAPNYA IMAN TAUHID DALAM KRISTEN
Agama Kristen pada awalnya menganut ajaran monoteisme, kepercayaan kepada satu Allah yang benar, seperti yang diajarkan oleh agama Yahudi. Sebab Yesus tidak membawa syariat baru. Dia datang ke dunia untuk menegakkan hukum Taurat.
“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” Matius 4:17-18
E. F. Scott dalam Encyclopedia of Religion (Frem, 1964:170) mengungkapkan bahwa Gereja Kristen purba meniru tradisi Yudaisme dalam hampir semua segi. Mereka menganggap diri mereka sebagai “Israel baru” dan mengenakan nama ecclesia, salah satu nama yang dipakai dalam kitab-kitab Perjanjian Lama untuk menyebut himpunan orang Israel. Angota-anggota gereja Kristen purba mayoritas, bahkan mungkin seluruhnya, orang Yahudi.
Yesus sendiri menyatakan dirinya diutus Allah hanya kepada bangsa Israel, bukan kepada seluruh umat manusia.
“Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” Matius 15 : 24
Bahkan ketika mengutus dua belas muridnya untuk mewartakan Injil di tanah Palestina, Yesus bersabda:
”Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Matius 10 : 5-6
Yesus secara khusus memerintahkan murid-muridnya untuk tidak mewartakan injilnya kepada orang-orang non-Yahudi, tetapi membatasi ajarannya untuk ”domba-domba yang tersesat dari tanah Israel”. Lebih jauh, Yesus juga memerintahkan murid-murid itu untuk tidak memasuki kota-kota kaum Samaritan, yaitu, orang-orang campuran Assiria dan keturunan Israel, yang melaksanakan jenis agama Yahudi mereka sendiri, lengkap dengan versi Taurat mereka. Dengan pembatasan ini, Yesus konon membatasi misinya dan misi murid-muridnya, bukan hanya untuk ”domba-domba yang tersesat dari tanah Israel”, tetapi juga hanya untuk salah satu segmen dari ”domba-domba yang tersesat itu”, yaitu mereka yang nenek-moyangnya tidak ”tercemar” dengan darah Assiria.[2]
Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena ketika abad ke-2 M pekabaran Injil semakin meluas dan menjangkau bangsa non-Yahudi, yakni bangsa Yunani yang ber-kebudayaan Hellenistik. Tokoh kuncinya adalah Paulus. Paulus menganggap bahwa arti Yesus tidak hanya diperuntukkan bagi bangsa Yahudi, tetapi bersifat universal, sehingga dengan giat ia membawa risalah Yesus kepada bangsa non-Yahudi. Keputusan ini mungkin sebab utama keretakan yang pertama di kalangan pengikut Yesus.
Apakah keputusan Paulus itu benar atau tidak? telah diputuskan oleh para pendeta Kristen pada konsili di Jerusalem, di mana mereka setuju bahwa keputusan Paulus adalah benar. Pertimbangan dari keputusan itu tercatat dalam Kisah Rasul 15. Maka, gerakan Kristen berubah dari sekelompok kecil yang berakar pada agama Yahudi menjadi sekelompok besar dengan risalah yang bersifat universal.[3]
Konsili Yerusalem 49 M juga membebaskan umat Kristen non-Yahudi dari ritual sunat (khitan) dan upacara-upacara Yahudi. Banyak orang Yudeo-Christian yang menentang perlakuan khusus ini. Kelompok ini memisahkan diri dari Paulus karena menganggap Paulus telah berkhianat dan menyimpang dari ajaran Yesus.
Hingga 70 M, kelompok Yudeo-Christian merupakan mayoritas dalam gereja. Ketua kelompok Yudeo-Christian adalah Jacques seorang kerabat Yesus. Ia didampingi oleh Pe-trus dan Yohanes. Keluarga Yesus memegang peranan penting dalam kelompok Yudeo-Christian. Namun sejak pemberontakan Yahudi terhadap Romawi dan jatuhnya Yerusalem pada 70 M, keadaan menjadi terbalik. Aliran Yudeo-Christian dimusuhi dan dijauhi di seluruh wilayah kekuasaan Romawi. Sebaliknya, ajaran Paulus makin populer. Ajaran ini makin lama makin jauh dari sumber aslinya dan cenderung merupakan agama baru. Bahkan bentuk pemberitaan Injil pun mengalami pergeseran dari alam pikir Yahudi ke Yunani.
Ketika dalam abad ke-2 M titik berat gereja dan begitu juga teologinya bergeser secara definitif dari lingkungan Palestina ke dunia pemikiran Yunani, maka gereja menghadapi keperluan mendesak untuk mengungkapkan imannya dalam suatu bentuk yang dapat dipahami secara atau mengikuti cara berpikir Yunani. Akibatnya adalah masuknya cara berpikir metafisik menggantikan bentuk-bentuk berbicara AlKitab yang bersifat konkret. Sebagaimana kita ketahui, pemikiran Yunani berbeda dari pemikiran AlKitab terutama dalam hal ini yaitu, bahwa bagi AlKitab Allah menyatakan diri-Nya dalam sejarah, sedangkan bagi pemikiran Yunani Allah dilihat sebagai yang didasarkan atas keberadaan yang metafisika. (Lohse, 1994:51)
AlKitab mengajarkan bahwa Allah itu adalah suatu Roh, kekal, tidak terikat, tidak terbatas dan tidak berubah. Allah itu transenden, sangat jauh, tetapi Dia imanen, hadir. Dia sangat berkuasa dan hadir di mana-mana, yang melihat segala sesuatu dan memerintah alam semesta. Karena Ia adalah suatu intelegensia yang mahatinggi, yang tidak memiliki tubuh, atau bentuk, atau warna, dan yang tidak dapat ditangkap panca indera. Hanya ada satu Allah yang hidup dan benar, kekal, tanpa tubuh atau anggota badan, dengan kekuatan, kebijaksanaan dan kebaikan yang tak terbatas, pencipta dan pelindung segala sesuatu. Karena itu, bangsa Yahudi yang taat pada hukum Taurat Musa menyakini bahwa keberadaan Allah sudah tidak perlu dipertanyakan, apalagi dibuktikan, sebab Ia sudah nyata-nyata berkarya menciptakan alam semesta.
Yahweh selalu merupakan allah yang transenden, yang mengarahkan umat manusia dari atas dan dari luar… Doktrin resmi apa pun akan membatasi misteri terdalam Allah. Para Rabi menunjukkan bahwa Dia sama sekali tak terpahami. Bahkan Musa pun tidak mampu menembus misteri Allah. Setelah pencarian panjang, Raja Daud telah mengaku bahwa sia-sia belaka mencoba untuk memahami-Nya, karena Dia terlalu tinggi untuk pikiran manusia. Orang-orang Yahudi bahkan dilarang untuk menyebut nama-Nya, sebuah amaran yang keras bahwa setiap upaya untuk mengungkapkan Dia tidaklah memadai: nama ilahi itu dituliskan YHWH dan tidak diujarkan dalam pembacaan kitab suci yang manapun. (Armstrong, 1993:73-74)
Dzat Allah SWT lebih besar dari apa yang dikuasai oleh akal manusia, dari apa yang terjangkau oleh pikiran-pikiran manusia atau yang mungkin diduga oleh akal dan pikiran manusia. Akal dan pikiran manusia terbatas; Allah SWT menguasai segala batas yang membatasi akal pikiran manusia. Karena itu, akal pikiran manusia tidak akan pernah mampu mengetahui Dzat Allah SWT.
Ajaran agama melarang manusia untuk memikirkan Dzat Allah, tetapi lebih baik memikirkan ciptaan-Nya. Sikap tersebut sama sekali bukan pengekangan terhadap kebebasan berpikir atau dukungan bagi kebekuan wawasan, melainkan sikap yang menyadari keterbatasan diri manusia, yang akan menolong manusia agar tidak terperosok dan tersesat oleh pemaksaan di luar batas kemampuannya. Akal pikiran dilindungi dari usaha mencoba-coba yang tidak mempunyai kelengkapan sarana. Mengenai hal ini, Allah berfirman:
“Allah mempunyai sifat Yang Maha Tinggi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Qs. An-Nahl (16) ayat 60
Sikap seperti itu sama sekali tidak mengurangi wujud-Nya. Wujud-Nya nyata bersemayam di dalam setiap jiwa, tercermin dengan jelas pada keajaiban dan keindahan segenap ciptaan serta keagungan tanda-tanda-Nya. Bahkan, orang-orang kafir pun bila ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka tentu akan menjawab: “Allah.”
Dan jika engkau bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Pasti mereka akan menjawab, “Allah.” Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran). Dan jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu dengan (air) itu dihidupkannya bumi yang sudah mati?” Pasti mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,” tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti. Qs. Al Ankabut (29) : 61, 63
Pencipta alam tidak berwujud fisikal, karena wujud fisikal, dapat disentuh dan dirasa, dan memerlukan tempat dan ruang. Seperti matahari, bulan, planet-planet, pohon, laut, manusia, hewan, tumbuhan, dan sebagainya. Dzat Tuhan tidak terbatas. Dia bukan fisik, tidak berbentuk dan tidak akan memerlukan tempat dan ruang. Dia menguasai dan memerintah di semua tempat.
(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Milik-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Qs. Asy Syuura (42) : 11-12
Tapi alam pikir Yunani jelas tidak puas dengan keimanan bangsa Yahudi yang menyakini bahwa keberadaan Allah tidak perlu dipertanyakan lagi. Yunani sudah terkenal sebagai tempat lahirnya para filsuf purba: Thales, Socrates, Heraklitos, Parmenides, juga dua filsuf besar Plato dan Aristoteles. Metafisika adalah jantung dari filsafat karena metafisika menyediakan dasar yang terakhir dan prinsip-prinsip yang tertinggi bagi masing-masing bidang tertentu dari penelitian filosofis (Bagus, 2000:630). Pendek kata, alam pikir Yunani senang berpikir abstrak dan berspekulasi, membuat teori tentang hakikat (yang tak terlihat) dari kenyataan yang terlihat (Kristi, 2009:77).
Ketika orang-orang Yunani menjadi Kristen, mereka mencerna AlKitab dalam alam pikir mereka. Mereka mencoba untuk menciptakan gagasannya sendiri tentang keberadaan Allah sehingga banyak bermunculan berbagai aliran teologis. Zaman itu dikenal sebagai zaman patristik (abad pertama hingga abad keempat Masehi). Disebut zaman patristik karena pada zaman ini, umat kristiani terbelah dalam berbagai aliran teologis yang dianut oleh para patris (imam atau pendeta tinggi).
Basilides (90-150 M) menjelaskan bahwa Tuhan Perjanjian Baru yang digambarkan Paulus adalah Tuhan Bapak Yang Tertinggi yang menjadi sumber cinta kasih. Kristus adalah Anak dari Tuhan Bapak. Kristus dikirim oleh Tuhan Bapak untuk menolong manusia dari cengkeraman hukum keadilan Tuhan versi Perjanjian Lama.
Markion (100-160 M), sepaham dengan Basilides tentang adanya dua macam Tuhan. Markion berpendapat Yesus bertubuh maya bukan sebagai manusia kongkret. Namun, aliran ini hanya mengakui injil Lukas dan 10 surat kiriman Paulus. Aliran ini juga sangat membenci Tuhan versi Perjanjian Lama, yang dianggap berperan dalam penyaliban Yesus.
Ireneus (150-202 M). Patris ini tidak menerima konsep dua Tuhan. Menurutnya, Tuhan Perjanjian Baru dan Tuhan Perjanjian Lama adalah satu. Ireneus juga menolak konsep Yesus bertubuh maya. Menurutnya, Yesus adalah benar-benar jelmaan Tuhan.
Tertullianus (155-220 M). Aliran ini sejalan dengan ajar-an Paulus, terutama tentang dosa warisan. Ia mencoba menyempurnakan konsep dosa warisan secara filosofis menurut hukum sebab akibat. Tentang ketuhanan Yesus, Tertullianus menganggap Yesus sebagai Tuhan yang lebih rendah daripada Tuhan Yang Tertinggi.
Arius (270-350 M) adalah seorang pendeta dari Alexandria yang teguh memegang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Konsep Arius tentang Ketuhanan menimbulkan kontroversi besar. Karena berbeda dengan kebanyakan patris, Arius menolak konsep ketuhanan Yesus.
Menurut Arius, Yesus itu makhluk, tak sehakikat dengan Allah. Sifat-sifat ketuhanan pada Yesus bukan sifat yang hakiki, melainkan anugerah dari Allah. Ketika pertama kali melontarkan konsepnya, Arius adalah seorang prebister (imam kecil). Karena ajarannya, Arius diusir dari Alexandria. Namun pendapatnya mendapat dukungan dari uskup-uskup Nicomedia, Maradonia, Palestina, Assiut, dan bahkan Konstantinopel. Faham Arius itu dengan cepat mendapat pengaruh di Mesir, Palestina, dan Konstantinopel.
Arius ingin menekankan perbedaan esensial antara Allah yang unik dengan semua ciptaan-Nya. Pengakuan iman Arius berbunyi: “Kami mengaku satu Allah yang satu-satunya tidak diperanakkan, yang satu-satunya kekal, yang satu-satunya tanpa awal, yang satu-satunya benar, yang satu-satunya tidak dapat mati, yang satu-satunya bijaksana, yang satu-satunya baik, yang satu-satunya Tuhan, yang satu-satunya hakim bagi semua”. (Armstrong, 1993:109)
Ajaran Arius sesuai dengan sabda Yesus, “…mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Yohanes 17:3
Athanasius (uskup Alexandria) adalah patris yang paling keras menentang Arius. Athanasius[4] (298-373 M) sangat teguh berpendapat bahwa Yesus itu satu hakikat (homo ousius) dengan Allah. Ia mengajarkan bahwa Anak (Yesus) bukan makhluk dan setengah Tuhan atau Tuhan yang kedua. Dia satu zat dengan Tuhan Bapak dalam segala-galanya. Ketika Anak itu datang ke dunia, itu berarti Tuhan sendiri yang datang menyelamatkan manusia.
Menurut Athanasius, Anak mempunyai hakikat, sifat, dan kekekalan esensi yang sama dengan Bapa. Di antara keduanya tak ada pemisahan yang esensial. Hal ini tak berarti bahwa Anak satu pribadi dengan Bapa, karena mereka itu benar-benar “dua”.
[Athanasius] secara teguh berpegang pada pendapat bahwa Bapa dan Anak adalah “dua”. Ia menulis, “Kalau dikatakan bahwa Bapa dan Anak adalah satu, tidak dalam arti sebagai satu hal yang dibagi atas dua bagian, dan kedua-duanya ini tidak lain hanya satu, juga bukan sebagai sesuatu yang disebut dua kali, sehingga Yang Sama itu pada satu saat jadi Bapa, dan pada saat yang lain jadi Anak-Nya sendiri. Justru karena berpegang pada pandangan inilah maka Sabelius dipersalahkan sebagai bidat. Tetapi Mereka adalah dua, oleh karena Bapa adalah Bapa, dan sebagai Bapa Ia juga bukan Anak; dan Anak adalah Anak, dan sebagai Anak Ia tidak juga dapat dilihat sebagai Bapa; tetapi hakikat adalah satu…” (Lohse, 1994:73)
Konflik antara Arius dan Athanasius seakan tiada akhir. Banyak orang di wilayah Yunani Timur menerima ajaran Arius, banyak juga yang menolaknya. Sebagian setuju dengan Athanasius, tetapi banyak juga yang tidak setuju. Gereja sendiri juga masih bingung, belum menentukan sikap, apakah menentang atau membela ajaran Arius?
Hari ini Arius adalah pemeo untuk bidat, tetapi ketika konflik ini pecah, belum ada posisi ortodoks yang resmi, dan sama sekali tidak ada kepastian mengapa atau bah-kan apakah Arius itu salah. Tidak ada hal yang baru dalam ajarannya: Origen, yang kedua belah pihak sangat hormati, telah mengajarkan doktrin yang serupa. Namun iklim intelektual di Aleksandria sudah berubah sejak masa Origen, dan masyarakat kini tidak lagi yakin bahwa Allahnya Plato dapat dikawinkan secara berhasil dengan Allahnya AlKitab. (Armstrong, 1993 : 108)
Agama Tauhid Yang Diubah Menjadi Agama Pagan
Perselisihan antara Arius dan Athanasius membuat kaisar Konstantin khawatir. Gaius Flavius Valerius Aurelius Constantinus adalah kaisar Romawi yang memerintah dari tanggal 27 Februari 272 hingga 22 Mei 337 M. Ia sangat ambisius. Ia mampu membunuh anak kandungnya, Cisprus, hanya karena sang putra mahkota lebih termashyur di mata bangsa Romawi dibandingkan dengan dirinya. Kejadian ini ke-mudian menjadi salah satu sebab mengapa ibukota kerajaan Romawi dipindahkan ke Byzantium (Konstantinopel), Turki.
Kaisar Konstantin juga dikenal dengan Dekrit Milannya (tahun 313 M), yang meresmikan secara penuh kristianitas di dalam kerajaan untuk pertama kalinya. Tercatat di dalam sejarah, bahwa ia sendiri sebelum meninggal telah menjadi pemeluk agama Kristen Unitarian. Ia dibaptis oleh Eusibius dari Nicomedia. Kaisar Konstantin meninggal dalam keimanan bahwa Yesus bukanlah Tuhan, seperti keimanan orang-orang yang pernah dimusuhi dan dibunuhinya.[5]
Di masa kaisar Konstantin, agama resmi Romawi adalah pemujaan matahari – kelompok pemujaan Sol Invictus, atau Matahari Tak Tertandingi – dan Konstantin adalah pendeta kepalanya. Celaka baginya, sebuah guncangan religius tumbuh dan men-cengkeram Roma. Dia dapat melihat bahwa agama Kristen sedang bangkit, dan tiga abad setelah ‘penyaliban Yesus Kristus’, para pengikut Kristus tumbuh berlipat-lipat. Kaum Kristen dan pagan mulai berperang, dan konflik itu tumbuh sedemikian besar sehingga mengancam akan membelah Roma menjadi dua.
Di sisi lain, Konstantin khawatir percekcokan tiada akhir dalam agama Kristen antara pengikut Arius dan Athanasius akan menjadi potensi perpecahan kerajaannya. Konstantin memutuskan bahwa sesuatu harus dilakukan, maka dikumpulkannya para Patriarch dan Uskup di seluruh negeri sebanyak 2.018 orang untuk bersidang di Nicea pada tahun 325 M. Ini adalah konsili Oikumenis pertama dalam sejarah kekristenan, untuk membicarakan Yesus itu Tuhan atau bukan.
Apa yang akan terjadi ketika penguasa memutuskan turun tangan untuk menyelesaikan konflik teologis? Lohse (1994:64) mengungkapkan:
“Agar dapat mengikuti arah diskusi pada Konsili Nicea itu, maka perlulah diingat situasi yang sama sekali baru, di mana gereja hidup pada titik ini dalam sejarahnya. Sesudah dihambat selama 300 tahun, maka gereja sekarang tatap muka dengan seorang Kaisar yang mengakui iman Kristen.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Kekristenan di Kerajaan Romawi tidak lagi menjadi agama yang dihambat, tetapi secara resmi ditolerir dan diakui, bahkan dalam hal-hal tertentu perkembangannya dibantu oleh kekaisaran. Dari titik pandangan yang murni lahiriah, perubahan dalam situasi ini juga jelas pada uskup-uskup, yaitu bahwa mereka sejak itu tidak perlu lagi bergerak ke sana ke mari secara rahasia. Sekarang mereka mempunyai hak istimewa untuk datang ke konsili dengan menggunakan fasilitas-fasilitas yang disediakan negara, yang juga biasa dipakai oleh pejabat-pejabat tinggi negara.
Di Nicea, Kaisar menyediakan tempat penginapan bagi para uskup dalam istananya. Di sanalah diskusi-diskusi berlangsung, dan dihadiri pula oleh Kaisar. Sebagai orang yang baru saja ditobatkan, pengetahuan teologis Kaisar Konstantin tidak mendalam, tapi ia tetap berminat dalam pembahasan konsili. Perubahan situasi itu telah menyebabkan para uskup berlomba-lomba memperlihatkan ketaatan mereka kepada Kaisar.”
Ketika uskup berkumpul di Nicea pada tanggal 20 Mei 325 untuk menuntaskan krisis itu, sangat sedikit yang berpandangan sama dengan Athanasius soal Yesus. Kebanyakan berposisi di antara Athanasius dan Arius.
Dalam konsili Nicea, perdebatan berlangsung sengit, tanpa ada keputusan. 1.700 uskup sepaham dengan Arius. Sisanya sejalan dengan Athanasius. Namun Kaisar mengumpulkan para uskup yang dianggap sepaham dengan Athanasius. Melalui pemungutan suara, Kaisar Konstantin menyatakan ajaran Athanasius yang benar dan menjadi ajaran resmi di kekaisaran Romawi. Kemudian Konsili Nicea merumuskan bahwa Yesus Kristus itu satu hakikat (homo ousius) dengan Allah Bapa (Dwinitas). Bahkan Kaisar Konstantin mengusul-kan kata penting yang nantinya diabadikan dalam pengakuan iman Nicea. Isi pengakuan iman Nicea secara lengkap:
“Kami percaya dalam satu Allah, Bapa yang Maha-kuasa, Pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan; dan di dalam satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, dilahirkan dari Bapa, hanya diperanakkan, yaitu, dari substansi Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, dila-hirkan bukan diciptakan, berasal dari satu substansi dengan Bapa, melalui Siapa segala sesuatu ada, segala sesuatu baik yang di surga maupun yang di bumi, yang oleh sebab kita menjadi manusia dan demi keselamatan kita, turun dan menjelma menjadi manusia, menderita, dan bangkit lagi pada hari yang ketiga, naik ke surga, dan akan datang lagi untuk meng-hakimi yang hidup dan yang mati; dan di dalam Roh Kudus.” (Lohse, 1994:65)
Dalam Konsili Nicea itulah Yesus diangkat dan ditetapkan sebagai ‘Putra Tuhan’ secara resmi melalui voting. Dalam voting itu, kelompok Athanasius unggul dengan perbandingan 315 lawan 3. Sedangkan Arius dan dua sahabatnya yang menolak menandatangi Kredo Nicea dikucilkan. Sejak saat itu ajaran-ajaran yang bertentangan dengan iman Nicea, khususnya ajaran Arianisme yang dipelopori oleh Arius, dianggap sebagai ajaran-ajaran sesat. Tidak cukup sampai di situ, untuk menguatkan Kredo Nicea, maka dirumuskan kutukan-kutukan terhadap ajaran-ajaran yang dianggap sesat. Bunyi kutukan tersebut adalah:
“…Mereka yang berkata bahwa ada saatnya [Kristus] tidak ada, dan sebelum Ia dilahirkan Ia tidak ada, dan bahwa Ia ada (sebagai yang berasal dari tidak ada), atau yang berkata bahwa Anak Allah berasal dari hypostasis atau substansi yang berbeda, atau diciptakan, atau tunduk kepada perubahan (semuanya) ini. Gereja Katolik mengutuknya.” (Lohse, 1994:66)
Namun konsili Nicea tidak mengakhiri kontroversi Arius. Malah dengan Konsili Nicea itu kontroversi mulai mencapai keseriusannya. Memang kebanyakan uskup yang hadir dalam Konsili Nicea itu menandatangi pengakuan iman yang dihasilkan. Tetapi terdapat perbedaan yang meluas di antara mereka mengenai cara memahaminya. (Lohse, 1994:70) Dari segi doktrin pun, persoalannya belum selesai. Umat Kristen masih bingung: jika hanya ada satu Allah, bagaimana mungkin Logos juga Allah?
Tahun 381 diselenggarakan konsili Konstantinopel. Sebagian besar isi pengakuan iman Nicea dirumuskan kembali dalam pengakuan iman Konstantinopel. Bunyinya mengakui Roh Kudus sebagai Allah. Karena dirasa belum cukup, tahun 382 diadakan konsili lagi di Konstantinopel. Di sini keilahian penuh Roh Kudus diteguhkan dengan rumusan: “Ada satu Ke-allahan, Kuasa, dan Substansi dari Bapa dan dari Anak dan dari Roh Kudus; martabat mereka adalah sama, dan kemulia-an mereka sama dalam tiga esensi yang sempurna (hypos-tasis) dan tiga pribadi yang sempurna.” (Lohse 1994:82)
Namun perdebatan di antara para teolog masih tetap bermunculan. Perdebatan paling serius, apakah Yesus itu sepenuhnya manusia atau sepenuhnya Allah? Perdebatan seputar pribadi Yesus muncul dikarenakan dogma Trinitas selalu berkaitan dengan dogma Kristologi (ilmu tentang Kristus).
Perdebatan seputar pribadi Yesus didominasi oleh pertentangan antara Kubu Antiokhia dengan Kubu Aleksandria. Kubu Antiokhia menekankan perhatian pada “tabiat (haki-kat) kemanusiaan Yesus yang penuh, yang tidak dikurangi”. Itu sebabnya, Nestorius – teolog Antiokhia – menolak me-nyebut Maria sebagai “yang melahirkan Allah” (Theotokos), karena Maria mestinya juga disebut “yang melahirkan manusia” (Anthropotokos).
Kubu Aleksandria yang digawangi oleh Cyrillus bertentangan dengan Kristologi Nestorius. Cyrillus berkali-kali menekankan bahwa Logos ilahi itu sendiri yang menjadi manusia dalam Yesus. Yesus adalah “campuran” antara yang ilahi dan yang insani. Jadi, tidak mungkin memisahkan tabiat keallahan dan tabiat kemanusiaan Logos yang berinkarnasi itu (Lohse, 1994:112-114).
Perselisihan ini pada akhirnya diputuskan dalam Konsili Khalkedon tahun 451 M. Sebelum konsili dimulai, Paus Leo sudah menulis surat yang mendorong ditegaskannya kesatuan dari dua tabiat Yesus. Surat itu “mempersiapkan jalan ke arah keputusan Chalcedon” (Lohse, 1994:116). Kredo Khalkedon secara resmi menetapkan doktrin “Yesus Kristus 100% Allah dan 100% manusia” sebagai ajaran resmi gereja. Bunyi yang lebih lengkap, sebagai berikut:
“…sesuai dengan (pandangan) bapa-bapa suci, kami sepakat untuk mengajarkan bahwa kami mengakui Tuhan kita, Yesus Kristus, sebagai Putera yang satu dan sama, yang sama sempurnanya dalam Keallahan dan yang sama sempurnanya dalam kemanusiaan, Allah yang sejati dan manusia yang sejati, yang mempunyai jiwa dan tubuh rasional yang sama (dengan manusia), berkonsubstansi dengan Bapa dalam Keilahian, dan ber-konsubstansi dengan kita dalam kemanusiaan, sama seperti kita dalam segala sesuatu kecuali dosa; dilahirkan dari Bapa sebelum (ada) segala zaman (apabila itu) menyangkut Keilahian-Nya, dan pada hari-hari yang terakhir, Ia dilahirkan dari perawan Maria, Theotokos, oleh karena kita dan demi keselamatan kita, (apabila itu dipandang dari) kemanusiaan-Nya; Kristus yang satu dan yang sama, Putera, Tuhan, yang hanya dilahirkan, dikenal dalam dua tabiat tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pemisahan, tanpa pembagian (di antara kedua tabiat itu), perbedaan di antara dua tabiat itu sama sekali tidak ditiadakan oleh adanya kesatuan, tetapi sifat dari masing-masing tabiat itu dipeliharakan dan digabungkan dalam satu prosopon dan satu hyposprosopa, tetapi Putera yang sama dan satu-satunya, yang hanya dilahirkan, Kalam ilahi, Tuhan Yesus Kristus, sebagaimana nabi-nabi Perjanjian Lama dan Yesus Kristus sendiri mengajarkannya kepada kita mengenai Dia dan pengakuan iman bapa-bapa (suci) diturunkan (kepada kita). (Lohse, 1994:117)
Tahun 335 M diadakan lagi Konsili di Tyre (sekarang masuk Lebanon). Di sini terjadi anti-klimaks. Athanasius dikutuk, dan kemudian disingkirkan ke Gaul. Arius bahkan diangkat menjadi Uskup Konstantinopel. Dua tahun setelah Konsili Tyre, Konstantin meninggal. Sepeninggal Konstantin, dua konsili lagi diselenggarakan: Konsili Antiokia di tahun 351 M dan Konsili Sirmium tahun 359 M. Kedua konsili ini menetapkan bahwa keesaan Tuhan merupakan dasar kekristenan dan tak mengakui konsep trinitas. Walau demikian, Gereja Paulus (Katolik Roma) sudah berkembang dengan cepat di Eropa sehingga rakyatnya tidak menghiraukan hasil dua konsili ini.[6]
Kaisar Konstantin berhasil menyelamatkan kerajaannya dari jurang kehancuran. Dia telah berhasil mengakhiri konflik tiada akhir di antara umat Kristen tentang pribadi Yesus. Tetapi Konstantin merasa keberhasilannya dalam ‘memprakarsai’ penetapan Yesus sebagai Putra Tuhan dan perumusan doktrin Tritunggal belumlah cukup. Dia melangkah lebih jauh lagi. Konstantin memutuskan untuk menyatukan Romawi dalam sebuah agama tunggal, Kristen. Caranya, mengalihkan para penganut pagan pemuja matahari menjadi Kristen, dengan meleburkan simbol-simbol, tanggal-tanggal, serta ritus-ritus pagan ke dalam tradisi Kristen yang sedang tumbuh. Melalui Konsili Nicaea, Konstantin berhasil menciptakan agama hybrid yang dapat diterima kedua belah pihak, yakni agama Kristen yang berbudaya paganisme, bukan agama Kristen yang mewarisi monoteisme dari tradisi Yudaisme – seperti yang diajarkan dan dijalani oleh Yesus dan murid-muridnya.
Kaisar Konstantin dalam Konsili Nicea mengeluarkan empat keputusan resmi. Keputusan itu adalah:
1. Menetapkan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Sebenarnya hari kelahiran Yesus sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti. Yesus dilahirkan antara tahun 7-2 SM di Betlehem dan dibesarkan di Nazareth. Namun, oleh kalangan di Barat, Yesus dinyatakan dilahir-kan pada tahun 1 Masehi. Oleh karena itu, tahun sebelum kelahiran Yesus pun kemudian dikatakan sebagai tahun Sebelum Masehi (Before Christ). Padahal dia tidak dilahirkan pada tahun 1 Masehi! Tanggal 25 Desember itu sendiri sebenarnya adalah tanggal untuk memperingati hari kelahiran anak dewa matahari bangsa Yunani (Romawi) yang bernama Apollo, Dionysus, atau dewa Mithra. Dewa-dewa tersebut meskipun mempuyai nama-nama yang berbeda, tetapi sebenarnya sama saja. Dewa tersebut merupakan dewa yang dipercayai juga sebagai dewa penebus dosa (juru selamat) umat manusia.
2. Hari Matahari Roma menjadi hari Sabbath bagi umat Kristen, dengan nama Sun-Day, Hari Matahari (Sunday).
3. Mengadopsi lambang silang cahaya yang kebetulan berbentuk salib menjadi lambang kekristenan, dan
4. Mengambil semua ritual ajaran paganisme Roma ke dalam ritual atau upacara-upacara kekristenan.
Dan Brown mengungkapkan proses transmogrifikasi dari Kristen ke agama pagan tersebut, dalam novelnya The Da Vinci Code, melalui percakapan tokoh-tokohnya:
“Transmogrifikasi,” ujar Langdon. “Jejak-jejak agama pagan dalam simbologi Kristen tak terbantahkan. Cakram matahari kaum Mesir kuno menjadi lingkaran halo para santo Katolik. Berbagai piktogram Isis yang sedang menyusui putranya yang lahir karena mukjizat, Horus, menjadi cetak biru bagi berbagai penggambaran modern kita akan Perawan Maria yang sedang menyusui Bayi Yesus. Dan, nyaris semua unsur dalam ritus Katolik – mitra, altar, doksologi, dan komuni, atau tindakan “makan Tuhan”- diambil langsung dari agama-agama misteri pagan di masa awal.”
Teabing mengerang. “Jangan biarkan seorang simbolog mulai bicara tentang ikon-ikon Kristen. Tak ada yang asli dalam Kristen. Mithra, Tuhan pra-Kristen-disebut Putra Tuhan dan Cahaya Dunia-lahir dan mati pada 25 Desember, dikubur dalam sebuah makam batu, dan kemudian dibangkitkan dalam tiga hari. Omong-omong, 25 Desember juga hari lahir Osiris, Adonis, dan Dionysus. Krishna yang baru lahir dihadiahi emas, dupa, dan kemenyan. Bahkan hari suci mingguan orang Kristen dicuri dari kaum pagan.”
“Aslinya,” kata Langdon, “Kristen menghormati Sabat Yahudi pada hari Sabtu, tapi Konstantin menggesernya agar bertemu dengan hari kaum pagan me-muliakan matahari.” Dia mengambil jeda, menyeringai. “Hingga hari ini, kebanyakan jemaat gereja menghadiri layanan Gereja pada Minggu pagi tanpa sadar sama sekali bahwa mereka sedang melakukan penghormatan mingguan pada dewa matahari kaum pagan – Sun-day, hari matahari.” (Dan Brown The Da Vinci Code, 2003)
Uraian di atas bukanlah suatu tuduhan yang tak berdasar. Gereja Katolik sendiri secara terus terang telah mengaku ‘mengubah waktu’ peribadatan agama Kristen dari Sabtu (Sabat) ke Minggu di konsili Laodekia (336 M). James Cardinal Gibbons, pendidik dan uskup Katolik di Baltimore pada akhir 1800-an dan awal 1900-an, mengaku pada dasarnya penyucian hari Minggu tidak punya dasar Alkitabiah yang memadai, dia bersaksi:
“Anda bisa membaca AlKitab dari Kejadian sampai Wahyu, dan Anda tidak akan menemukan satu baris pun yang memerintahkan penyucian hari Minggu. AlKitab menyuruh peribadatan agama di hari Sabtu, hari yang tidak pernah kita kuduskan.” Tetapi bagi Gibbons kurangnya dasar AlKitabiah ini bukan masalah besar karena memang Gereja Katolik Roma tidak bergantung semata-mata kepada pendapat AlKitab. Lanjutnya, “Gereja Katolik dengan tepat mengajarkan bahwa Tuhan kita dan para rasulnya berulang-ulang mengajarkan kewajiban-kewajiban agama tertentu yang penting yang tidak tercatat oleh para penulis (AlKitab) terilham… dengan demikian, kita harus menyimpulkan bahwa AlKitab saja tidak bisa menjadi petunjuk dan aturan iman yang memadai.” (The Faith of Our Father, John Murphy Company, Baltimore, 1917, p. 89).
Gereja Katolik Roma menganggap wewenang tertinggi tidak terletak pada AlKitab, melainkan pada paus dan gereja sebagai wakil Allah di bumi[7]. Dalam kedudukan itu, gereja dianggap punya kekuasaan untuk memindahkan kekudusan Sabat dari hari Sabtu ke Minggu, meskipun pemindahan hari kudus tersebut melanggar hukum Taurat dan Injil (AlKitab).
[1] Rizki Ridyasmara, Knights Templar Knights Of Christ: Konspirasi Berbahaya Biarawan Sion Menjelang Armageddon, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar; cet. 1, Oktober 2005; hlm. 340.
[2] Jerald F. Dirks. Salib Di Bulan Sabit: Dialog Antariman Islam – Kristen. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, cet. 2, Maret 2004. hlm.156.
[3] Hugh Goddard. Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian Muslim-Kristen. Yogyakarta: ADIPURA. Cet. 1, Nopember 2000. hlm. 32.
[4]
Kisah yang banyak orang tidak tahu adalah bahwa Athanasius sendiri
sebenarnya juga meragukan konsep Trinitas. Ia dengan tegas menyatakan,
“Setiap berusaha memaksakan diri untuk memahami dan merenungkan konsep
ketuhanan Yesus, saya merasa keberatan dan sia-sia. Hingga makin banyak
menulis untuk mengungkapkan hal itu, ternyata hal ini tidak mampu
dilakukan. Saya sampai pada kata akhir, Tuhan itu bukanlah tiga oknum
melainkan satu. Kepercayaan kepada doktrin Trinitas itu sebenarnya bukan
suatu keyakinan, tetapi hanya disebabkan oleh kepentingan politik dan
penyesuaian keadaan di waktu itu.” Rizki Ridyasmara, Knights Templar Knights Of Christ: Konspirasi Berbahaya Biarawan Sion Menjelang Armageddon, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar; cet. 1, Oktober 2005; hlm. 342.
[5] Alexander Edbert C. Show Us The Straight Path: Menemukan Kebenaran Iman Yang Sejati. Jakarta: Pustaka Intermasa. Cet.1, Oktober 2008. hlm. 39
[6] Rizki Ridyasmara, Knights Templar Knights Of Christ: Konspirasi Berbahaya Biarawan Sion Menjelang Armageddon, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar; cet. 1, Oktober 2005; hlm. 342-343.
[7]
Dalam ajaran Katolik Roma dikenal istilah infallibilitas, yaitu suatu
ajaran yang menyatakan bahwa pemimpin gereja Roma (Paus) apabila sedang
berpendapat mengenai iman dan moral Kristen Katolik, ia tidak mungkin
salah karena mendapat perlindungan Tuhan. Itu sebabnya, pendapatnya
tersebut harus dipercayai dan diikuti oleh seluruh gereja. Ajaran ini
mulai ditetapkan saat Konsili Vatikan I pada tahun 1870. Alexander
Edbert C. Show Us The Straight Path: Menemukan Kebenaran Iman Yang Sejati. Jakarta: Pustaka Intermasa. Cet.1, Oktober 2008. hlm. 124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat berarti bagi kami,,,,Terimakasih sebelumnya,