Ketiga
haji itu menerangkan pengalaman mereka masing-masing selama di Mekah
kepada tuanku-tuanku dan alim ulama di Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima
Puluh. Pada setiap kesempatan, Haji Miskin menjelaskan aliran Wahabi di
Mekah dalam melaksanakan pembaruan agama. Ia bersama Tuanku Nan Tuo
menganjurkan kembali ke syariat berdasarkan al Quran. Mereka menentang
menafsirkan fikih untuk kepentingan dunia. Menentang bid'ah dan khurafat
yang dimasukkan ke dalam Islam. Kembali ke ajaran yang murni, menurut
ajaran Wahabi, ialah menentang fatwa-fatwa ulama yang mendasarkannya
pada Qur an dan Hadis. Di dalam fikih, kaum Wahabi menentang segala
macam qiyas. Di dalam kehidupan sehari-hari, mereka menentang pemujaan
orang keramat. Hukumnya disamakan dengan menyembah berhala. Mereka
menentang minum khamar, memakai pakaian dari sutra dan memakai perhiasan
emas.
Sekembali
dari Mekah, Haji Miskin melengkapi gagasan-gagasan pembaruan untuk
masyarakat Minangkabau dengan ajaran-ajaran Al Quran sebagai sumber
hukumnya. Ia pindah ke daerah IV Koto yang berbatasan dengan Agam
bagian selatan, suatu desa makmur di lereng Gunung Singgalang. Ia
menerapkan tuntunan hidup berlandaskan kaidah agama dalam setiap sikap
hidup.
Haji
Miskin meninggalkan Pandai Sikek dan pindah ke Koto Laweh, suatu desa
yang bersih, di lereng Gunung Singgalang( 1805). Di desa ini tinggal
Fakih Saghir. Bersama Haji Miskin, Fakih Saghir menerapkan hukum syariat
pendamping adat Minangkabau. Koto Laweh, sebuah desa yang terletak di
persimpangan jalan dagang ke pantai melalui Malalak terus ke Naras,
tempat kedudukan Tuanku nan Cadiak. Tuanku Nan Cadiak, seorang ulama
pelindung pedagang yang menanak garam dan berdagang di Naras.
Dari
Koto Laweh, Haji Miskin berangkat ke Bukit Kamang. Kemudian ia
tinggal bersama Tuanku Nan Renceh di Surau Bansa (1807-1811 Haji
Miskin dan Tuanku Nan Renceh mulai mengatur rencana pembaruan secara
menyeluruh untuk menerapkan hukum perdagangan Islam dalam melengkapi
hukum adat Minangkabau. Para pedagang dapat menerimanya, baik yang
tinggal di Kamang atau maupun yang datang ke sana. Mereka berjanji
saling membantu dalam transaksi antar pedagang. Selama berada di Surau
Bansa, Kamang, Datuk Bandaro dan Malin Mudo dari Alahan Panjang
mendengar langsung ide pembaruan dari pencetusnya, Haji Miskin.
Sekembali dari Kamang, Malin Mudo membangun Bonjol sebagai tempat kaum
pembaru. Tidak lama kemudian Malin Mudo dilantik menjadi Tuanku Imam
Bonjol* (1807). Ia berhasil mengembangkan pembaruan ke Rao sampai ke
Tapanuli Selatan, Sosa dan Tambusai. Ke timur Mahek, Kuok
Bangkingkinang, Salo, dan Air Tiris.
Daerah
Tuanku Nan Salapan dibentuk bersama Tuanku nan Renceh terdiri dari
Kamang, Candung, Ampek Angkek, Kubu Sanang, Banuhampu, Sungai Puar, dan
Padang Laweh. Di daerah ini memancarkan kesejahteraan penduduknya.
Kekerasan dan perkelahian yang terjadi akibat pengembangan pembaruan
untuk mengembalikan desa-desa melaksanakan syariat Islam.
Kemudian
Haji Miskin berunding dengan Tuanku Nan Salapan. Mereka sepakat
menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin Gerakan Pembaruan, dan
mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha pembaruan.
Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo
Tuanku
Nan Tuo menyetujui maksud mereka, tetapi tidak menyetujui kekerasan
yang dilakukan dalam pelaksanaannya. Kalau pekerjaan mulia dilakukan
dengan kekerasan, akan menimbulkan kekacauan. Cara ini dianggap
menyimpang dari roh Muhammad yang bijaksana. Inilah ajaran yang tertera
dalam 'Taufah mursala ila ruhun nabi.' Sedangkan Tuanku Nan Renceh
ingin menerapkan gagasan-gagasan pembaruan yang berbeda dengan cara
yang dilakukannya dahulu bersama Tuanku Nan Tuo.
Haji
Miskin melanjutkan usaha pembaruan di Luhak Lima Puluh. Pada tahun
1811, ia berangkat ke ranah ini untuk menggugah ulama muda, Malin Putih
di Air Tabik, untuk melakukan pembaruan. Ia berhasil baik. AiaTabit,
suatu daerah subur di kaki Gunung Sago. Fakih Saghir datang ke daerah
ini membantu Malin Putih yang kemudian bergelar Tuanku Nan Pahit. Mereka
mendirikan sebuah benteng Bukit Kawi. Haji. Miskin pindah ke Mesjid
Sungai Lundi di nagari Aia Tabik. khutbahnya berhasil menjadi sebab
lahirnya rencana perubahan.
Pembaruan
yang dilancarkan Haji Miskin di Aia Tabik bergema ke Halaban. Seorang
ulama yang mengikuti ajaran baru ini ialah Tuanku Luak di Halaban..
Haji Miskin penyebar cita-cita dan ide pembaruan masyarakat Minangkabau
yang terhunjam kuat dalam hati setiap tuanku-tuanku atau ulama Muda
di Tanah Minangkabau. Dalam suasana ribut Haji Miskin mati terbunuh dan
dikuburkan di atas Bukit Kawi. (1830). Tuanku Haji Miskin dianggap
seorang penebar benih pembaruan masyarakat Minangkabau. Hukum Islam
melengkapi adat Minangkabau, seperti jual beli (an traddin), harta
pencarian, hukum waris.
Palakat Panjang
Lalu dakwah ini disambut oleh ulama yang
lain diseluruh alam Minangkabau, sampai dapat dilaksanakan dalam sebuah nagari
dengan kesepakatan ahli agama dan ahli adat, sebagaimana yang terjadi dalam
negeri Bonjol. Dibawah raja nan tiga sela yaitu, 1.Tuanku Imam 2.Datuk
bandaharo 3.Datuk sati. Pada masa ini terdapat kesepakatan antara ulama dan
kaum adat mengenai kedudukan masing-masing dalam masyarakat pada umumnya.
Kesepakatan yang diakui tidak akan diubah sampai kiamat.
Isi dari kesepakatan itu antara lain:
Penghulu tetap menjadi raja, katanya
didengar perintahnya diturut
Alim ulama menjadi suluh bendang dalam
negeri, hidup tempat bertanya.
Adat yang tidak disukai agama akan
dimasukkan kedalam tanah yang lekang, dihanyutkan ke hilir air.
Hukum yang harus (boleh-red) dalam agama,
tetapi adat tidak mengizinkan, tidak akan dipakai. Seperti kawin sepersukuan
dan sepayung.
Hukum adat yang disukai agama dinamakan
hukum kawi, dan adat yang tidak disukai agama dinamakan adat jahiliyah.
Hukum agama yang telah diakui oleh adat
akan menguatkannya, dinamakan syara yang lazim yaitu mazhab Syafii, umpamanya
nikah berwali, anak seperintah bapak.
Alim ulama tidak berhak melakukan hukum ,
tetapi berhak memberikan keterangan pada penghulu.
Penghulu tidak berhak menjalankan hukum
sebelum menerima penerangan dari alim ulama, yang dinamakan Minangkabau yang
bermufti.
Menetapkan bunyi
pepatah:
Syara mengata, adat
memakai.
Minangkabau bertubuh
adat berjiwa Syara’
Penghulu selaku juru
batu dan alim ulama selaku kemudi
Adat bersendi
syara’, syara’ bersendi kitabullah
assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh..,
BalasHapusbang hendra.., mksi makalah ko da,, tpi buliah wak tnyo sumber dri makalah ko dri ma t da...,