PANGLIMA
kaum paderi yang tegas dan penuh wibawa. Berhasil melaksanakan
pemurnian Islam ke setiap nagari di Ranah Minang, sampai-sampai
kewajiban menunaikan shalat dikontrol sangat ketat
Kejayaan Islam di Ranah Minang (Sumatera Barat) pernah mencapai puncaknya ketika kaumpaderi (ulama)
dipimpin oleh ‘Abdullah Tuanku Nan Renceh. Kekuasaannya menghunjam
sampai lembaga pemerintahan nagari yang diberi hak otonom oleh Kerajaan
Minangkabau. Kerajaan tersebut kala itu berpusat di Pagaruyung.
Pusat kekuasaan kaum paderi sendiri berada di teritorial Luhak (Kabupaten)
Nan Tuo, yakni Luhak Agam, Tanah Datar, dan Luhak Nan Limopuluah
Dikoto. Atau, seluas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Agam,
Tanah Datar, dan Kabupaten 50 Kota sekarang.
Pada masa itu, kaum paderi benar-benar
memegang kendali pemerintahan dan kemasyarakatan untuk mengamalkan
syariat Islam. Kondisinya tak jauh berbeda ketika jazirah Arab bangkit
dengan dakwah pemurnian yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab
(1703-1787).
Sejarah kelahiran pergerakan kaum paderi
di Ranah Minang memang tak dapat dilepas dari pergerakan Dakwah Syekh
Muhammad Bin Abdul Wahab di jazirah Arab. Pergerakannya berawal pada
tahun 1802 ketika “Tiga Serangkai” pulang dari Makkah, yakni Haji Miskin
dari Pandai Sikek (Pandai Sikat) Luhak Agam, Haji Muhammad Arief dari
Sumanik, Luhak Tanah Datar (dikenal dengan Haji Sumanik), dan Haji
Abdurrahman dari Piobang, Luhak Limopuluah Dikoto (dikenal dengan Haji
Piobang). Ketiganya dikenal dengan sebutan Haji Nan Tigo. Mereka
mendalami ajaran Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab saat belajar di tanah
suci Makkah hampir 10 tahun lamanya.
Panglima Paderi
‘Abdullah adalah putra dari Incik Rahmah,
pemuka suku Koto Nagari Kamang Mudik, yang lahir di Jorong Bansa,
Nagari Kamang Mudik, Luhak Agam, tahun 1762. Sejak kecil, Abdullah
senantiasa giat memperdalam ilmu agama.
Ia merasa tidak cukup hanya belajar pada
guru mengaji tingkat nagari sebagaimana tradisi anak muda seusianya kala
itu. Abdullah melakukan terobosan dengan belajar di kampung lain,
tepatnya di surau Tuanku Tuo di Cangkiang, Luhak Agam.
Tamat dari pendidikan model surau,
‘Abdullah masih belum merasa puas. Dia bukannya kambali ke kampung
halaman, tetapi meneruskan perjalanan ke Ulakan, Padang Pariaman.
Hampir lima tahun menuntut ilmu, barulah
‘Abdullah kembali ke Jorong Bansa. Begitu sampai di kampung, ‘Abdullah
mendengar kabar ada ulama besar di Pandai Sikek yang baru pulang dari
Makkah. Namanya Haji Miskin. ‘Abdullah yang saat itu baru tiba di rumah
langsung saja berangkat ke Pandai Sikek.
Sesampai di sana, betapa kecewanya
‘Abdullah karena Haji Miskin tak ditemukan. Dia lebih kecewa lagi ketika
mengetahui bawa Haji Miskin yang baru pulang itu hanya sebentar berada
di Pandai Sikek. Ternyata tokoh yang ia buru itu harus pergi lagi karena
dakwahnya tak diterima oleh masyarakat kampungnya sendiri.
Bagi ‘Abdullah, kabar “diusirnya” Haji
Miskin justru membuat penasaran. Pikirnya, kalaulah apa yang dibawa Haji
Miskin tak terlalu istimewa, tentulah perlawanan dari orang kampung
sendiri tidak sehebat itu.
Ternyata benar. Begitu ketemu Haji Miskin
di tempat pengungsiannya, Nagari Ampek Angkek (Empat Angkat), Abdullah
mendapat pelajaran tentang pemurnian gerakan Islam. Ajaran ini sama
dengan yang digerakan dakwah Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab di jazirah
Arab.
Haji Miskin memberikan pengajian secara
berkesinambungan, dibantu oleh dua karibnya yakni Haji Piobang dan Haji
Sumanik. Lalu, bergabung pula beberapa tokoh Islam lainnya, seperti
Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Lintau, Tuanku Ladang Laweh (Ladang Luas),
Tuanku Dikoto Padang Lua (Padang Luar), Tuanku Galung, Tuanku Dikoto
Ambalau, dan Tuanku Dilubuk Aua (Lubuk Aur). Mereka masing-masing adalah
ulama di kampungnya.
Para ulama itu kemudian berbai’at kepada
Haji Miskin untuk melancarkan gerakan penegakan syariat Islam yang
mereka beri nama gerakan kaum paderi. Mereka ini kemudian dikenal
sebagai Dewan Pimpinan Paderi dengan julukan “Harimau Nan Salapan”
(Harimau yang Delapan). ‘Abdullah ditunjuk sebagai pimpinan merangkap
panglima perang dengan gelar Tuanku Nan Renceh Al-Mujaddid. Sementara
Haji Miskin diangkat sebagai hakim.
Menurut Angga Parlindungan dalam bukunya
Tuanku Rao, gerakan Paderi pimpinan Nan Renceh adalah gerakan sistemik
dengan angkatan perang yang mirip angkatan perang Turki. Memang, Nan
Renceh beberapa kali mengirimkan beberapa prajurit terbaiknya untuk
belajar bertempur di Kesultanan Turki.
Kala itu ilmu peperangan Kesultanan Turki
sudah maju. Pasukan Jenitsar Cavalary Turki pernah menghalau dan
menghancurkan tentara Napoleon Bonaparte. Di antara tentara paderi yang
dikirim tersebut adalah Tuanku Kulawat. Ia malah sempat berperang
bersama tentara Turki melawan tentara Napoleon tahun 1809 sampai 1812.
Kemudian, Tuanku Gapuak (1809-183), Tuanku Rao (1812-1815), dan Tuanku
Tambusai (1817-1821).
Perjuangan kaum paderi, seperti dicatat
oleh Haji Piobang, memiliki tiga target fase. Pertama, jangka tujuh
tahun sudah harus merebut seluruh pulau Andalas dan Semenanjung Malaya.
Kedua, jangka tiga tahun kemudian sudah harus merebut kekuasaan di Pulau
Jawa dan pulau-pulau kecil di timurnya. Ketiga, merebut seluruh tanah
Jawi (Nusantara), kemudian bekerjasama dengan pasukan Dato’ Haji Onn.
Pasukan yang terakhir ini kabarnya sudah berhasil merebut kekuasaan di
Filipina Selatan, Kalimantan Utara, dan Kepulauan Sangihe.
Tegas Tegakkan Hukum Islam
Selama masa kepemimpinan ‘Abdullah Tuanku
Nan Renceh (1762-1825), menurut sejarawan Ampera Salim, kaum paderi
berhasil melaksanakan pemurnian Islam dan masuk ke setiap ruang lingkup
pemerintahan nagari. Sampai-sampai kewajiban menunaikan shalat dalam
kehidupan masyarakat setiap nagari dikontrol dengan sangat ketat.
Usai shalat Shubuh di surau-surau, Nan
Renceh menurunkan Laskar Paderi keliling kampung. Mereka bertugas
memeriksa batu tapakan yang sudah disediakan di setiap pintu masuk rumah
penduduk. Apabila batu itu basah, diketahuilah bahwa penghuni rumah
sudah melaksakan shalat Shubuh. Tapi bila tidak, penghuni rumah akan
langsung diinterogasi.
Andai belum shalat karena tertidur, maka
diperintahkan segera menunaikan shalat. Bila tiga kali didapati tidak
juga menunaikan shalat–ditandai dengan batu tapakan yang tidak
basah–maka penghuni rumah harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Akan tetapi bila kemudian terbukti meninggalkan shalat kembali,
maka penghuni rumah harus meninggalkan nagari.
Nan Renceh juga berhasil membudayakan
pakaian jubah putih bagi laki-laki dan kerudung bagi perempuan. Bagi
mereka yang akan dipilih menjadi wali nagari (kepala pemeritahan nagari)
harus mampu menjadi imam shalat berjamaah.
Hukum Islam yang ditegakkan kaum Paderi
dalam masa kepemimpinan Nan Renceh sangat tegas dan berwibawa. Ampera
Salim juga menyebutkan, pernah suatu kali etek (adik ibu/ayah) Nan
Renceh sendiri tak mengindahkan aturan yang diberlakukan Pemerintah Negara Darul Islam Minangkabau. Dia enak saja meneruskan kebiasaan minum tuak dan menghisap candu.
Memang, orang dekat Nan Renceh, yakni
Hassan Nasution, pernah menegur si etek agar menghentikan kebiasaannya.
Tapi dia tetap menolak. Bahkan ketika ditawarkan agar diungsikan ke
Kuantan, si etek tegas-tegas menolak.
Demi tegaknya wibawa hukum Islam, si etek
divonis hukuman mati. Eksekusi dilakukan dengan pedang oleh Haji Idris
dan Haji Hassan. Kejadian ini berlangsung dalam tatapan tenang seorang
Tuanku Nan Renceh. Baginya, penegakan wibawa hukum Islam lebih peting
daripada saudara sendiri yang mengingkarinya.Kemauan Belajar Agama dan Semangat Berjuang Sangat Tinggi
Diawali dengan mendidik agama para mualaf yang jumlahnya cukup banyak dengan sekaligus hapalan Al Qur’an, tidak menjadi masalah bagi Tuanku Nan Renceh dan Datuk Bandari Ganggo yang sama alumni Universitas Islam Ulakan Pariaman yang waktu itu beraliran Syiah. Walau kemudian Tuanku Nan Renceh dengan pengikutnya menjadi aliran Wahabi dengan Mazhab Hambali yang sekaligus menghilangkan popularitas Tuanku Nan Renceh di Minangkabau. Rupanya Tuanku Nan Renceh ini juga ahli dalam ilmu psychology, serta memahami naluri perang yang tinggi. Dalam rombongan besar yang ingin belajar di Markas Kamang tersebut ada beberapa calon panglima dan pemimpin kamu paderi yang akan muncul kemudian hari. Calon panglima yang dimaksud antara lain adalah Pongkinangolgolan Sinambela alias Tuanku Rao, Peto Syaris alias Tuanku Imam Bonjol (Pahlawan Nasional), Tuanku Tambusai dan lainnya. Dalam waktu singkat Tuanku Nan Renceh mempersiapkan tentara Islam di bawah komando Umar Bin Chatab alias Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bonjol di bawah latihan khusus Jetnisar Cavalry Islam Haji Piobang dan Haji Miskin yang mendapat perlindungan khusus Tuanku Nan Renceh di Markas Kamang. Karena kedua Haji ini kurang disenangi oleh masyarakat kampung asal mereka, karena sikap yang radikal dalam pemurnian Islam dari kebiasaan jahiliyah ( Judi, Sabung Ayam , Minuman Tuak dan perbuatan lainnya ) yang menandakan masyarakat yang relative baru menganut Islam. Dalam masa singkat sekitar 2 tahun.
Pada tahun 1806 Tuanku Rao diutus Tuanku Nan Renceh mendapat pendidikan lanjutan di Benteng Batusangkar dengan Tuanku Lintau. Di Benteng Batusangkar itulah Umar Bin Chatab alias Tuanku Rao di latih oleh Tuanku Lintau dan Zafrollah Aly (kemudian menjadi Tuanku Hitam). Dalam tahun 1807 Tuanku Rao dapat menamatkan pendidikan lanjutan Jatnisar Cavallry dengan predikat Summa Cum Laude di benteng Batu Sangkar dan siap dinobatkan Tuanku Nan Renceh menjadi Panglima Paderi.
Memang pintar Tuanku Nan Renceh dalam masa singkat sekitar 1804 – 1907 berhasil merekrut panglima panglima Perang seperti sebelumnya Peto Syarif sebagai Tuanku Imam Bonjol diusia 36 tahun, Ponkinanggolgolan sebagai Tuanku Rao di usia 24 tahun serta Hamonongan Harahap sebagai Tuanku Tambusan di usia 27 tahun . Kemudian ketiga panglima ini mendirikan benteng di Bonjol dan di Rao serta di belahan utara. Kemudian tokoh tokoh tersebut lah yang menjalankan penegakan Islam diberbagai daerah di Minangkabau, Sumatera Utara dan Riau sekitarnya.
Kebanggaan Minangkabau Yabg Terlupakan
Kalau boleh kita membanding dengan era kini dengan arus globalisasi, maka tokoh tokoh zaman dahulu seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Piobang , Haji Sumanik dan Haji Miskin cs. sebagai tokoh penggerah pemurnian Islam Minangkabau kita juga bisa menjadi “ bangga“ (dalam tanda kutib ; kebanggaan akan keuletan penegakan Islam). Pada abad ke XVIII dan XIX tersebut para tokoh tokoh bangsa sudah terbuka dengan informasi dengan dunia luar.
Apa yang terjadi dalam pergolakan Islam di Timur Tengah dan belahan dunia lain , telah menjadi bagian perjuangan di tanah air. Walau kemudian penjajahan secara sistematisir berhasil mengadu domba antar aliran dalam masyarakat serta menghancurkan warisan dan semua bekas kejayaan masa lalu. Melalui penjajahan yang di awali dengan perdagangan rempah rempah dengan menguasai daerah sentra tertentu berujung penjajahan etnis dan bangsa termasuk menghancurkan beberapa generasi selanjutnya dari berbagai bidang pendidikan, ekonomi, social dan termasuk aspek sejarah dan warisan budaya. Sehingga generasi kita belakangan menjadi tertutup akan pintu sejarah dan informasinya akan berbagai aspek masa silam yang positif termasuk asal usul dari nenek moyang mereka. Hal ini menjadi masalah dalam memotivasi generasi berikutnya dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana pengalaman penulis yang sulit mencari bahan informasi sejarah Tuanku nan renceh ditengah masyarakat, kecuali beberapa buku seperti Buku Tuanku Rao dan buku karangan lainnya.
Mohon DI koreksi lagi tentang sejarah Tuanku Rao , Karena Tuanku Rao seperti yang anda jelaskan di atas adalah Tuanku Rao versi MOP , dimana Hamka dan tokoh tokoh islam lain sudah mengkritik Habis karya MOP tersebut,..MOP sama sekali tidak punya dasar dan referensi yang jelas. Versi Tuanku Rao karya MOp hanya seperti Novel, yang lebih banyak Imajinasi si Pengarang dibanding Fakta sejarah...
BalasHapus