Nama lengkapnya adalah Muhammad Djamil Djambek, putra Muhammad Saleh Datuk Maleka. Ia lahir pada pertengahan tahun 1860 M.
Ayahnya waktu itu dikenal sebagai penghulu besar di Guguk Panjang, Bukittinggi. Selain itu, ayahnya juga dikenal berwatak disiplin dalam mendidik anak dan kuat menjalankan agama.
Kepribadian sang ayah sangat kontras dengan Djamil kecil. Dalam buku Perjalanan 29 Ulama Besar Ranah Minang, yang ditulis Ahmad Rifa'i, diterangkan, Djamil muda lebih suka bermain dan berhura-hura.
Disuruh sekolah, malah berhenti. Akhirnya, ia berhenti total sekolah sebelum fasih membaca, menulis latin, apalagi mengaji. Inilah yang membuat Datuk Maleka malu jika si buah hati tidak bisa dididik.
Sejak saat itu, Djamil tidak lagi berada di bawah perhatian ayahnya. Perangainya menjadi-jadi. Suka berpetualang dan akhirnya terjerumus ke dunia hitam. Ia juga makin kenal dengan ilmu sihir hingga menjadi ahli tenung.
Tindakan itu menjadi kebiasaannya. Jika dalam sebuah permainan dirinya kalah, seperti judi, uang yang ada di dalam saku orang yang menang bisa berpindah kembali ke sakunya. Karenanya, yang menang pun akan tak memiliki uang tadi.
Beragam nasihat dari Datuk Maleka tidak diindahkan. Djamil muda enggan meninggalkan dunia hitam hingga memaksa sang ayah mengusirnya dari rumah. Perlakuan ayahnya ini justru diterima Djamil dengan senang hati.
Sejarah hidupnya di dunia hitam kian terang. Tindakan perampokan sering dilakukannya. Tak heran, bila akhirnya masyarakat menjulukinya dengan sebutan Si Jago karena kepandaian dalam merampok, berjudi, dan sebagainya.
Berubah
Namun, semua itu berubah tatkala ia mengalami peristiwa yang hampir merenggut jiwanya. Ketika itu, ia baru saja merampok rumah orang kaya, tetapi ketahuan oleh orang banyak. Ia dihadang dan dikepung oleh puluhan orang yang membawa senjata tajam. Puluhan sayatan dan tusukan mendera di sekujur tubuhnya yang membuatnya hampir tewas.
Dalam kondisi kritis, tiba-tiba seseorang berseru meminta massa menghentikan aksi mereka. Dialah Tuanku Kayo Mandiangin, seorang ulama terkenal yang sangat dihormati dan disegani di Bukittinggi. Massa akhirnya menuruti permintaan Tuanku.
Ayahnya waktu itu dikenal sebagai penghulu besar di Guguk Panjang, Bukittinggi. Selain itu, ayahnya juga dikenal berwatak disiplin dalam mendidik anak dan kuat menjalankan agama.
Kepribadian sang ayah sangat kontras dengan Djamil kecil. Dalam buku Perjalanan 29 Ulama Besar Ranah Minang, yang ditulis Ahmad Rifa'i, diterangkan, Djamil muda lebih suka bermain dan berhura-hura.
Disuruh sekolah, malah berhenti. Akhirnya, ia berhenti total sekolah sebelum fasih membaca, menulis latin, apalagi mengaji. Inilah yang membuat Datuk Maleka malu jika si buah hati tidak bisa dididik.
Sejak saat itu, Djamil tidak lagi berada di bawah perhatian ayahnya. Perangainya menjadi-jadi. Suka berpetualang dan akhirnya terjerumus ke dunia hitam. Ia juga makin kenal dengan ilmu sihir hingga menjadi ahli tenung.
Tindakan itu menjadi kebiasaannya. Jika dalam sebuah permainan dirinya kalah, seperti judi, uang yang ada di dalam saku orang yang menang bisa berpindah kembali ke sakunya. Karenanya, yang menang pun akan tak memiliki uang tadi.
Beragam nasihat dari Datuk Maleka tidak diindahkan. Djamil muda enggan meninggalkan dunia hitam hingga memaksa sang ayah mengusirnya dari rumah. Perlakuan ayahnya ini justru diterima Djamil dengan senang hati.
Sejarah hidupnya di dunia hitam kian terang. Tindakan perampokan sering dilakukannya. Tak heran, bila akhirnya masyarakat menjulukinya dengan sebutan Si Jago karena kepandaian dalam merampok, berjudi, dan sebagainya.
Berubah
Namun, semua itu berubah tatkala ia mengalami peristiwa yang hampir merenggut jiwanya. Ketika itu, ia baru saja merampok rumah orang kaya, tetapi ketahuan oleh orang banyak. Ia dihadang dan dikepung oleh puluhan orang yang membawa senjata tajam. Puluhan sayatan dan tusukan mendera di sekujur tubuhnya yang membuatnya hampir tewas.
Dalam kondisi kritis, tiba-tiba seseorang berseru meminta massa menghentikan aksi mereka. Dialah Tuanku Kayo Mandiangin, seorang ulama terkenal yang sangat dihormati dan disegani di Bukittinggi. Massa akhirnya menuruti permintaan Tuanku.
Sejak saat itulah Djamil tertarik untuk belajar mengaji kepada beliau dan resmi diangkat menjadi murid Tuanku Kayo Mandiangin.
Saat menimba ilmu dari ulama ini, Djamil mengalami perubahan drastis pada dirinya. Bila dulunya ia dikenal sebagai jago rampok, jago judi, dan lainnya, setelah belajar ilmu agama dari Tuanku Kayo Mandiangin, Djamil dikenal sebagai anak yang cerdas. Semua ilmu agama yang diajarkan gurunya bisa diserapnya dengan cepat.
Tak hanya itu, untuk menambah pengetahuan agama, Ia pun disuruh untuk menimba ilmu kepada ulama lain. Tercatat di antaranya, ia pernah menuntut ilmu ke Pariaman di tempat Tuanku Mambang dan kemudian ke Batipuah Baruah, Padang Panjang, untuk mendalami ilmu fikih.
Ketika orang tuanya hendak pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Djamil memutuskan untuk ikut serta. Tak hanya naik haji, ia juga menyempatkan diri menuntut ilmu di Makkah kurang lebih selama 11 tahun di Madrasah Halaqah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Ahmad Taher Djalaluddin.
Ahli Falak
Dari kedua ulama ini, ia mempelajari berbagai macam ilmu agama. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalaminya, yang membuatnya terkenal adalah di bidang ilmu falak.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Makkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di Tanah Suci, Syekh Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari kampung halamannya yang belajar di Makkah. Di antara mereka adalah Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) dan Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Pada tahun 1903, ia kembali ke tanah air. Syekh Djamil Djambek mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat, yakni mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji.
Murid-murid sekaligus sahabat yang berguru kepada Syekh Djamil Djambek adalah Dr Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), dan Rahmah El-Yunusiyah (pendiri Diniyah Puteri Padang Panjang), serta ulama-ulama lainnya.
Saat menimba ilmu dari ulama ini, Djamil mengalami perubahan drastis pada dirinya. Bila dulunya ia dikenal sebagai jago rampok, jago judi, dan lainnya, setelah belajar ilmu agama dari Tuanku Kayo Mandiangin, Djamil dikenal sebagai anak yang cerdas. Semua ilmu agama yang diajarkan gurunya bisa diserapnya dengan cepat.
Tak hanya itu, untuk menambah pengetahuan agama, Ia pun disuruh untuk menimba ilmu kepada ulama lain. Tercatat di antaranya, ia pernah menuntut ilmu ke Pariaman di tempat Tuanku Mambang dan kemudian ke Batipuah Baruah, Padang Panjang, untuk mendalami ilmu fikih.
Ketika orang tuanya hendak pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Djamil memutuskan untuk ikut serta. Tak hanya naik haji, ia juga menyempatkan diri menuntut ilmu di Makkah kurang lebih selama 11 tahun di Madrasah Halaqah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Ahmad Taher Djalaluddin.
Ahli Falak
Dari kedua ulama ini, ia mempelajari berbagai macam ilmu agama. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalaminya, yang membuatnya terkenal adalah di bidang ilmu falak.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Makkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di Tanah Suci, Syekh Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari kampung halamannya yang belajar di Makkah. Di antara mereka adalah Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) dan Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Pada tahun 1903, ia kembali ke tanah air. Syekh Djamil Djambek mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat, yakni mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji.
Murid-murid sekaligus sahabat yang berguru kepada Syekh Djamil Djambek adalah Dr Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), dan Rahmah El-Yunusiyah (pendiri Diniyah Puteri Padang Panjang), serta ulama-ulama lainnya.
Dakwah melalui pidato
Kepandaian dan keahlian Syekh Djamil Djambek memang luas. Tak hanya bidang fikih dan ilmu falak, ia juga menguasai ilmu retorika atau pidato.
Menurut Akhria Nazwar dalam bukunya Syekh Ahmad Khatib, Muhammad Djamil Djambek adalah orang pertama yang mengajar dengan cara berpidato di muka umum, khususnya di Minangkabau.
Cara baru tersebut terbilang agak aneh, sebab cara pengajaran agama yang lazim dilakukan pada masa itu adalah dengan cara keterikatan pada kitab Jawi dan duduk melingkar (halaqah) bersama guru. Di samping, tradisi yang berlangsung saat itu adalah murid sengaja mendatangi guru ke surau.
Dibandingkan dengan pola pengajaran yang biasa digunakan pada masa itu, cara yang digunakan Syekh Djamil membuat para murid mudah untuk mempelajari dan memahami ilmu yang diajarkan.
Sebab, beliau memberi keterangan selengkap-lengkapnya saat berceramah, ditambah dengan pola dia yang justru mendatangi murid-muridnya ke kampung-kampung.
Pada tahun 1918, ia mendirikan surau di tengah sawah Bukittinggi. Di sinilah pusat pengajaran agama yang beliau dirikan bagi masyarakat Bukittinggi dan sekitarnya. Tak sedikit muridnya yang hadir di setiap pengajarannya.
Tak hanya masyarakat biasa, tokoh masyarakat dan terpandang saat itu juga turut belajar padanya. Di antara mereka ada yang berpangkat Tuanku, Labay, dan Fakih.
Materi yang diajarkan sangat beragam. Mulai dari telaah Alquran, ilmu falak, hingga ilmu pengetahuan umum. Terkait disiplin ilmu falak, Syekh Djamil pernah menyusun jadwal shalat dan imsakiyah Ramadhan.
Ia memadukan antara ilmu hisab dan rukyat. Jadwal shalat dan imsakiyah yang disusunnya ini diterbitkan pertama kali tahun 1911 atas nama sendiri, dan tak ada kesalahan dalam penghitungan atas almanak dan jadwal shalat itu.
Penyebaran dakwah lewat metode ceramah di muka umum tidak saja sebagai sarana utama, beliau juga mendirikan sebuah percetakan yang bernama Tsamaratul Ikhwan, pada tahun 1913. Percetakan ini khusus menerbitkan buku-buku kecil dan brosur-brosur tentang pelajaran agama untuk anggota, tanpa mencari keuntungan.
Semasa hidupnya, Syekh Djamil Djambek juga mempunyai peranan besar dalam membesarkan Muhammadiyah di Minangkabau, khususnya Bukittinggi. Bersama-sama dengan Abdul Karim Amrullah sebagai pelindung dan pemagar organaisasi Muhammadiyah, yang waktu itu masih berusia seumur jagung.
Bergabungnya Djamil Djambek, ulama yang sangat disegani di Minangkabau, membuat kaum muda pergerakan Islam kian bersemangat untuk melakukan pembaruan pemikiran dan pengembalian orisinalitas amal, sesuai yang diajarkan Rasulullah SAW.
Kepandaian dan keahlian Syekh Djamil Djambek memang luas. Tak hanya bidang fikih dan ilmu falak, ia juga menguasai ilmu retorika atau pidato.
Menurut Akhria Nazwar dalam bukunya Syekh Ahmad Khatib, Muhammad Djamil Djambek adalah orang pertama yang mengajar dengan cara berpidato di muka umum, khususnya di Minangkabau.
Cara baru tersebut terbilang agak aneh, sebab cara pengajaran agama yang lazim dilakukan pada masa itu adalah dengan cara keterikatan pada kitab Jawi dan duduk melingkar (halaqah) bersama guru. Di samping, tradisi yang berlangsung saat itu adalah murid sengaja mendatangi guru ke surau.
Dibandingkan dengan pola pengajaran yang biasa digunakan pada masa itu, cara yang digunakan Syekh Djamil membuat para murid mudah untuk mempelajari dan memahami ilmu yang diajarkan.
Sebab, beliau memberi keterangan selengkap-lengkapnya saat berceramah, ditambah dengan pola dia yang justru mendatangi murid-muridnya ke kampung-kampung.
Pada tahun 1918, ia mendirikan surau di tengah sawah Bukittinggi. Di sinilah pusat pengajaran agama yang beliau dirikan bagi masyarakat Bukittinggi dan sekitarnya. Tak sedikit muridnya yang hadir di setiap pengajarannya.
Tak hanya masyarakat biasa, tokoh masyarakat dan terpandang saat itu juga turut belajar padanya. Di antara mereka ada yang berpangkat Tuanku, Labay, dan Fakih.
Materi yang diajarkan sangat beragam. Mulai dari telaah Alquran, ilmu falak, hingga ilmu pengetahuan umum. Terkait disiplin ilmu falak, Syekh Djamil pernah menyusun jadwal shalat dan imsakiyah Ramadhan.
Ia memadukan antara ilmu hisab dan rukyat. Jadwal shalat dan imsakiyah yang disusunnya ini diterbitkan pertama kali tahun 1911 atas nama sendiri, dan tak ada kesalahan dalam penghitungan atas almanak dan jadwal shalat itu.
Penyebaran dakwah lewat metode ceramah di muka umum tidak saja sebagai sarana utama, beliau juga mendirikan sebuah percetakan yang bernama Tsamaratul Ikhwan, pada tahun 1913. Percetakan ini khusus menerbitkan buku-buku kecil dan brosur-brosur tentang pelajaran agama untuk anggota, tanpa mencari keuntungan.
Semasa hidupnya, Syekh Djamil Djambek juga mempunyai peranan besar dalam membesarkan Muhammadiyah di Minangkabau, khususnya Bukittinggi. Bersama-sama dengan Abdul Karim Amrullah sebagai pelindung dan pemagar organaisasi Muhammadiyah, yang waktu itu masih berusia seumur jagung.
Bergabungnya Djamil Djambek, ulama yang sangat disegani di Minangkabau, membuat kaum muda pergerakan Islam kian bersemangat untuk melakukan pembaruan pemikiran dan pengembalian orisinalitas amal, sesuai yang diajarkan Rasulullah SAW.
Syekh
Djamil Djambek wafat pada 30 Desember 1947, di Bukittinggi, dan
dimakamkan di halaman sebuah surau di Pasar Bawah, tepatnya di seberang
SMKN 2 Bukittinggi sekarang.
Pendidikan Islam ala Syekh Djamil Djambek
Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek tidak bisa dilepaskan dari sejarah sistem pendidikan Islam di Sumatra Barat.
Atas usahanya, pada tahun 1911, dilakukan usaha pendidikan terhadap masyarakat melalui tablig, pidato, dan khutbah. Ia menyadari bahwa tidak semua masyarakat Islam dapat masuk ke surau untuk belajar.
Terlebih lagi pada masa itu, pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam sangatlah minim. Ajaran Islam yang mereka praktikkan adalah sebagai hasil pengetahuan dari mulut ke mulut, tidak langsung mengambil dari sumbernya, yaitu Alquran. Akibatnya, banyak praktik agama yang dianggap bertentangan dengan Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW.
Menurut sejumlah sumber, penganut Islam yang seperti itu banyak terdapat di Sumatra Barat saat itu. Karenanya, kepada mereka itulah pendidikan Islam diajarkan oleh Syekh Djamil Djambek melalui tablig, pidato, dan khutbah.
Untuk melaksanakan ketiga hal ini, ia pergi mendatangi kampung sampai jauh ke daerah pedalaman Sumatra Barat. Di tempat tersebut, Syekh Djamil memberikan tablig dan pidato tentang ajaran Islam. Seperti cara berperilaku dan bergaul dalam kehidupan sehari-hari, melaksanakan rukun Islam dan rukun Iman, tidak mencampuradukkan antara yang halal dan haram, serta menjauhi segala yang dilarang Allah SWT.
Dan, melalui pidato dan tablig pula, Syekh Djamil Djambek melaksanakan pendidikan Islam dari luar jalur pendidikan formal. Sebab, wadah yang khusus untuk kegiatan itu memang belum ada. Usahanya ini mendapat perhatian dan dukungan dari tokoh Islam Sumatra Barat lainnya, dan mereka mengikuti jejaknya. Metode pendidikan luar sekolah yang diajarkan beliau ini pada akhirnya berkembang luas pada paruh pertama abad ke-20.
Politik
Selain dalam dunia pendidikan, semasa hidupnya Syek Djamil Djambek juga pernah terjun ke dunia politik. Keterlibatannya dalam dunia politik secara intens berawal dari diperkenalkannya kebijakan Goeroe Ordonantie.
Dalam makalah mengenai kehidupan Syekh Djamil Djambek, yang disusun oleh Tim Peneliti Fakultas Ilmu Budaya-Adab (FIBA) IAIN Padang, disebutkan bahwa Dr de Vries dari kantor Advisieur Inlandsche Zaken datang ke Minangkabau untuk menyusupkan kebijakan Goeroe Ordonantie ini.
Kebijakan ini dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru yang akan mengajar agama memiliki izin dari pemerintah. Kebijakan ini diberlakukan untuk mengawasi sistem pendidikan Islam di Indonesia. Peraturan ini sempat diubah pada tahun 1925 dengan hanya mewajibkan para guru agama memberitahu kepada pemerintah.
Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek tidak bisa dilepaskan dari sejarah sistem pendidikan Islam di Sumatra Barat.
Atas usahanya, pada tahun 1911, dilakukan usaha pendidikan terhadap masyarakat melalui tablig, pidato, dan khutbah. Ia menyadari bahwa tidak semua masyarakat Islam dapat masuk ke surau untuk belajar.
Terlebih lagi pada masa itu, pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam sangatlah minim. Ajaran Islam yang mereka praktikkan adalah sebagai hasil pengetahuan dari mulut ke mulut, tidak langsung mengambil dari sumbernya, yaitu Alquran. Akibatnya, banyak praktik agama yang dianggap bertentangan dengan Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW.
Menurut sejumlah sumber, penganut Islam yang seperti itu banyak terdapat di Sumatra Barat saat itu. Karenanya, kepada mereka itulah pendidikan Islam diajarkan oleh Syekh Djamil Djambek melalui tablig, pidato, dan khutbah.
Untuk melaksanakan ketiga hal ini, ia pergi mendatangi kampung sampai jauh ke daerah pedalaman Sumatra Barat. Di tempat tersebut, Syekh Djamil memberikan tablig dan pidato tentang ajaran Islam. Seperti cara berperilaku dan bergaul dalam kehidupan sehari-hari, melaksanakan rukun Islam dan rukun Iman, tidak mencampuradukkan antara yang halal dan haram, serta menjauhi segala yang dilarang Allah SWT.
Dan, melalui pidato dan tablig pula, Syekh Djamil Djambek melaksanakan pendidikan Islam dari luar jalur pendidikan formal. Sebab, wadah yang khusus untuk kegiatan itu memang belum ada. Usahanya ini mendapat perhatian dan dukungan dari tokoh Islam Sumatra Barat lainnya, dan mereka mengikuti jejaknya. Metode pendidikan luar sekolah yang diajarkan beliau ini pada akhirnya berkembang luas pada paruh pertama abad ke-20.
Politik
Selain dalam dunia pendidikan, semasa hidupnya Syek Djamil Djambek juga pernah terjun ke dunia politik. Keterlibatannya dalam dunia politik secara intens berawal dari diperkenalkannya kebijakan Goeroe Ordonantie.
Dalam makalah mengenai kehidupan Syekh Djamil Djambek, yang disusun oleh Tim Peneliti Fakultas Ilmu Budaya-Adab (FIBA) IAIN Padang, disebutkan bahwa Dr de Vries dari kantor Advisieur Inlandsche Zaken datang ke Minangkabau untuk menyusupkan kebijakan Goeroe Ordonantie ini.
Kebijakan ini dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru yang akan mengajar agama memiliki izin dari pemerintah. Kebijakan ini diberlakukan untuk mengawasi sistem pendidikan Islam di Indonesia. Peraturan ini sempat diubah pada tahun 1925 dengan hanya mewajibkan para guru agama memberitahu kepada pemerintah.
Misi
yang dibawa Vries ini mendapat tantangan yang sangat keras dari
tokoh-tokoh terkemuka Minangkabau masa itu, terutama dari kalangan
ulama.
Orang terdepan dalam soal ini adalah H Abdul Karim Amrullah. Dalam hal ini, sikap ayah Buya Hamka ini berseberangan dengan Syekh Djamil Djambek yang dinilainya kurang berani menyatakan ketegasannya dalam menolak kebijakan tersebut.
Tentang sikap Syekh Djamil ini, lebih jauh Hamka menjelaskan, ''Kalau yang akan dibicarakan di surau beliau itu agak 'hangat', beliau akan 'demam' pada hari itu'' (Hamka, 1982).
Ketidaktegasan Syekh Muhammad Djamil Djambek menyikapi kebijakan Goeroe Ordonansi ini karena posisinya yang cukup dilematis. Sebab, dirinya memiliki hubungan yang cukup baik dengan pemerintah kolonial Belanda.
Lebih lanjut Hamka berkata, ''Lebih baik dan lebih untung baginya, sebab dia sakit di hari itu, sebab baginya serba sulit. Hubungannya dengan pemerintah Belanda amat baik. Dia beroleh bintang.”
Sikap yang ditunjukkan oleh Syekh Djamil ini bukanlah diartikan sebagai sikap 'mendua'. Akan tetapi merupakan taktik dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Sebagai seorang ulama yang berpengaruh pada masa itu, setidaknya melalui Syekh Djamil akan tercipta komunikasi dengan pihak pemerintah kolonial Belanda.
Di tengah gejolak semangat pembaruan Islam pada bidang pendidikan, dan saat perhatian ulama terfokus untuk membenahi lembaga pendidikan, Syekh Djamil mengambil konsep lain dalam bidang ini. Ia ingin menunjukkan bahwa semua orang berhak mendapatkan pendidikan tanpa terbatas pada tempat dan usia.
Selain itu, ia memiliki konsep pendidikan yang dijalankan dalam bentuk dakwah, tablig, dan ceramah. Konsep ini menurutnya merupakan cara yang tepat untuk pemerataan pendidikan agama terhadap masyarakat untuk semua tingkatan. Mulai dari yang tidak tahu tulis baca, hingga kepada kalangan masyarakat berpendidikan dan juga dari berbagai tingkatan sosial ekonomi.
Konsep pendidikan agama Syek Djamil Djambek ini merupakan suatu alternatif terbaik, setidaknya bagi masyarakat lokal hingga sekarang. Hal ini, bisa dilihat dari perkembangan terakhir, walaupun di daerah ini lembaga-lembaga pendidikan telah berkembang dengan baik, namun sistem pengajian dan ceramah model Syekh Djamil ini tetap bertahan.
Orang terdepan dalam soal ini adalah H Abdul Karim Amrullah. Dalam hal ini, sikap ayah Buya Hamka ini berseberangan dengan Syekh Djamil Djambek yang dinilainya kurang berani menyatakan ketegasannya dalam menolak kebijakan tersebut.
Tentang sikap Syekh Djamil ini, lebih jauh Hamka menjelaskan, ''Kalau yang akan dibicarakan di surau beliau itu agak 'hangat', beliau akan 'demam' pada hari itu'' (Hamka, 1982).
Ketidaktegasan Syekh Muhammad Djamil Djambek menyikapi kebijakan Goeroe Ordonansi ini karena posisinya yang cukup dilematis. Sebab, dirinya memiliki hubungan yang cukup baik dengan pemerintah kolonial Belanda.
Lebih lanjut Hamka berkata, ''Lebih baik dan lebih untung baginya, sebab dia sakit di hari itu, sebab baginya serba sulit. Hubungannya dengan pemerintah Belanda amat baik. Dia beroleh bintang.”
Sikap yang ditunjukkan oleh Syekh Djamil ini bukanlah diartikan sebagai sikap 'mendua'. Akan tetapi merupakan taktik dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Sebagai seorang ulama yang berpengaruh pada masa itu, setidaknya melalui Syekh Djamil akan tercipta komunikasi dengan pihak pemerintah kolonial Belanda.
Di tengah gejolak semangat pembaruan Islam pada bidang pendidikan, dan saat perhatian ulama terfokus untuk membenahi lembaga pendidikan, Syekh Djamil mengambil konsep lain dalam bidang ini. Ia ingin menunjukkan bahwa semua orang berhak mendapatkan pendidikan tanpa terbatas pada tempat dan usia.
Selain itu, ia memiliki konsep pendidikan yang dijalankan dalam bentuk dakwah, tablig, dan ceramah. Konsep ini menurutnya merupakan cara yang tepat untuk pemerataan pendidikan agama terhadap masyarakat untuk semua tingkatan. Mulai dari yang tidak tahu tulis baca, hingga kepada kalangan masyarakat berpendidikan dan juga dari berbagai tingkatan sosial ekonomi.
Konsep pendidikan agama Syek Djamil Djambek ini merupakan suatu alternatif terbaik, setidaknya bagi masyarakat lokal hingga sekarang. Hal ini, bisa dilihat dari perkembangan terakhir, walaupun di daerah ini lembaga-lembaga pendidikan telah berkembang dengan baik, namun sistem pengajian dan ceramah model Syekh Djamil ini tetap bertahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat berarti bagi kami,,,,Terimakasih sebelumnya,