Biografi Ignaz Goldziher
4. Goldziher menyatakan bahwa hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan dan anjuran penulisan hadis itu berstatus maudhu‘. Semua hadis ini telah dibuat-buat oleh kelompok muhaddits dan ahl al-ra'y (ahli fikih) untuk mendukung pendapatnya masing-masing. Hadis-hadis tersebut adalah
Ignaz
Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Székesfehérvar, Hungaria pada
tanggal 22 Juni 1850. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia
dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel "asli" dalam
bahasa Ibrani. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari Talmud pada saat
berusia delapan tahun. Dalam usianya yang ke dua belas, ia seorang siswa
sekolah yang telah memulai membuat karya tulisnya yang pertama tentang
nenek moyang Yahudi serta pengelompokannya. Pendidikan S1-nya bermula
pada usia 15 tahun, Universitas Budapest menjadi pilihannya setelah ia
lulus dari sekolah, untuk mempelajari sastra Yunani dan Romawi kuno,
bahasa-bahasa Asia, temasuk bahasa Turki dan Persia.
Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery
(1803-1913),seorang pakar tentang Turki. Arminius Vambery lah yang
banyak mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Arminius Vambery
adalah keturunan Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904)
pendiri Zionisme, untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian Negara
Israel di Palestina.
Setelah
menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher melanjutkan studinya di
Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor dari universitas
tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya setelah
dibimbing selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman
terkemuka. Setelah dari Leipzig, Goldziher melanjutkan penelitiannya di
Universitas Leiden, Belanda, selama setahun. Selanjutnya, pada usianya
yang ke-21, ia pulang ke kampung halamannya dan menjadi dosen privat (Privatdozent)
di Universitas Budapest, Hunagria. Dosen privat pada saat itu adalah
sebuah jabatan yang dianugerahkan kepada para intelektual muda sebagai
sebuah keistimewaan untuk mengajar di universitas, namun tanpa gaji.
Saat yang sama, Goldziher juga dipilih sebagai anggota " Akademi Sains
Hungaria," sebuah penghargaan yang diberikan pada dirinya.
Sebagai
"adat" para orientalis untuk mengunjungi dan menetap di negara-negara
Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi dengan para ulama,
Goldziher juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir,
ia dikenalkan oleh Dor Bey,seorang pejebat keturunan Swiss yang bekerja
di Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey,Goldziher diperkenalkan
kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir. Setelah berkenalan
beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher mengemukakan
hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi Riyad
Pasha lah, Syakhul al-Azhar, 'Abbasi,Mufti Masjid al-azhar terbujuk.
Setelah bertemu dengan Goldziher yang saat itu mengaku bernama Ignaz
al-Majari(Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya "Muslim" (namun dalam
makna percaya kepada Tuhan yang satu, bukan seorang musyrik) , serta
dengan kelihaiannya berdiplomasi, maka Goldziher bisa "menembus"
al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar,seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya.
Setelah
sukses "bersandiwara," Goldziher kembali ke Budapest. Ia menjabat
sebagai Sekretaris Zionis Hungaria. Bagaimanapun, kajian tentang Islam
lebih mewarnai kehidupannya dibanding keterlibatannya di bidang politik.
Goldziher menulis banyak karya tentang studi Islam. Ia menulis
misalnya, Muhammedanisnche Studien (Studi Pengikut Muhammad, 2 jilid,1889-1890); Die Riechtungen der islamischen Koranauslegung (Mazhab-Mazhab Tafsir dalam Islam,Leiden,1920) dan masih banyak lagi karya lainnya.
Setelah
kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis
yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan justru karena
tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negatif dan distortif,
mengelirukan dan menyesatkan.
Menurut
perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Dia adalah sarjana Barat yang pertama
kali melakukan kajian terntang hadits. Yang melambungkan namanya adalah
karyanya yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebagai “kitab suci”nya para orientalis hingga kini.
Pemikiran Hadis Ignaz Goldziher
Goldziher
mengatakan sunnah adalah istilah animis yang kemudian dipakai oleh
orang-orang islam. Hal ini dibantah oleh Prof. Azami, menurut beliau
kata-kata sunnah sudah dipakai dalam sya’ir-sya’ir jahiliyah, Al-Quran,
dan kitab-kitab hadis untuk menunjuk kepada arti tata cara, jalan,
perilaku hidup, syari’ah, dan jalan hidup. Kalaupun orang – orang
jahiliyah atau penganut animisme menggunakan sebuah kata dalam bahasa
arab untuk arti yang etismologis, maka hal itu tidak menjadi istilah
jahiliyah atau animis. Kalau hal ini dibenarkan, maka bahasa arab pun
seluruhnya juga istilah jahiliyah dan ini tentunya tidak akan diterima
oleh akal sehat.
Ignaz
Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama
klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan
metodenya. Hal itu dikarenakan para ulama lebih banyak menggunakan
metode kritik sanad, dan kurang menggunakan metode kritik matan.
Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik
matan saja.
Sebenarnya
para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan. Hanya saja apa
yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda dengan
metod kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik
matan hadits itu mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosio
kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan hadits-hadits yang terdapat
dalam kitab shahih Bukhari, dimana menurutnya, Bukhari hanya melakukan
kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga tidak menutup
kemungkinan dalam kitab shahih Bukhari tersebut terdapat hadits-hadits
palsu.
Dari
berbagai penelusuran dan penelitian para ulama terhadap tuduhan
Goldziher tersebut. Ternyata tuduhan Goldziher seringkali ahistoris,
irasional dan miskin data serta minimnya pengetahuan. Begitu pula hal
yang sama dilakukan oleh para orientalis lainnya termasuk Joseph
Schacht.
Beberapa contoh di antaranya :
1.
Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid
al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut Goldziher hadits
ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw
sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri
menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan penguasa dinasti
Umayyah waktu itu untuk membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah
bin Zubair (yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah)
menyuruh warga Syam yang sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya.
Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi
pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat
itu menjadi wilayah Syam. Para ulama menyatakan, tidak ada bukti
historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli
tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58
H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan
sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah
berada di Makkah pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada
saat itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis
seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai
intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri,
dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke
Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat dan
tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.
Sementara
teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat
dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada
Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di sisi lain,
hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang selain al-Zuhri.
Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan hadits tersebut?
Dari
sini nampaknya tidak terlalu sulit bahwa tujuan utama Goldziher adalah
untuk meruntuhkan kredibilitas Imam Bukhari. Apabila umat Islam sudah
tidak percaya lagi kepada shahih Bukhari, maka hadits-hadits Rasulullah
Saw di dalamnya tidak akan dipakai lagi. Pada gilirannya kemudian
Imam-Imam ahli hadits lainnya juga dikorbankan. Dengan demikian tamatlah
sudah apa yang disebut hadits, dan robohlah satu pilar Islam.
2.
Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk
orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan
bukan merupakan ucapan Nabi Saw., sebab hukum-hukum syariah tidak
dikenal umat Islam pada kurun pertama hijriah. Sehingga para ulama Islam
di abad ketiga banyak yang tidak mengetahui sejarah Rasul. Ia menukil
tulisan al-Darimy, seorang Arab muslim dalam bukunya hayat al-hayawan
(dunia hewan), dimana dinyatakan dalam tulisannya, bahwa Abu Hanifah
tidak mengetahui secara pasti terjadinya perang Badar, apakah sebelum
atau sesudah perang Uhud?
Tidak
diragukan lagi, bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap sejarah
akan menyatakan demikian. Abu Hanifah adalah ulama yang paling terkenal
yang banyak berbicara tentang hukum peperangan dalam Islam, bisa
dibuktikan melalui Fikihnya yang sangat fenomenal dan buku-buku karangan
murid-muridnya seperti Abu Yusuf dan Muhammad.
Dari
buku karangan Abu Yusuf Sirah Imam al-Auza’i dan buku karangan Muhammad
Sirah Kabir, jelas menunjukkan penguasaan para murid Imam Abu Hanifah
terhadap sejarah peperangan Islam yang menyiratkan keluasan pengetahuan
gurunya, Imam Abu Hanifah.
Goldziher
sebenarnya mengetahui kedua kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu
Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan Islam,
kecuali memang untuk merusak kredibilitas ulama besar tersebut.
Goldziher bersandar kepada buku al-Darimy yang membahas dunia hewan,
terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku sejarah atau fikih. Dengan
demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa terlebih dahulu
membuktikan kebenaran sumbernya.
3. Goldziher telah memfitnah Wakî‘ dengan mengubah pernyataan Wakî‘ tentang Ziyâd Ibn ‘Abdillah al-Bukkâ'î, هو أشرف أن يكذب "Beliau sangat jauh dari melakukan kebohongan"
Menjadi: إنه مع شرفه في الحديث كان كذوبا "Dia itu dibalik kemuliaannya dalam hadis adalah seorang pembohong"
Menjadi: إنه مع شرفه في الحديث كان كذوبا "Dia itu dibalik kemuliaannya dalam hadis adalah seorang pembohong"
Sepintas
saja, terlihat perbedaan makna yang sangat mencolok. Wakî‘ bermaksud
meniadakan sifat bohong pada diri Ziyâd secara mutlak, bukan hanya
kebohongan dalam hadis saja. Tetapi, Goldziher menyatakan yang
sebaliknya bahwa Ziyad adalah seorang pembohong.
4. Goldziher menyatakan bahwa hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan dan anjuran penulisan hadis itu berstatus maudhu‘. Semua hadis ini telah dibuat-buat oleh kelompok muhaddits dan ahl al-ra'y (ahli fikih) untuk mendukung pendapatnya masing-masing. Hadis-hadis tersebut adalah
a. Hadis tentang larangan menulis sabda Nabi Muhammad Saw dari Abu Sa‘îd al-Khudry: لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ...الحديث(رواه مسلم) "Jangan kalian tulis ucapan-ucapanku, dan barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur'an, hendaknya ia menghapusnya!"
2. Hadits tentang anjuran Nabi Saw untuk menulis sabdanya dari Abu Hurairah:
...اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ...الحديث (رواه الشيخان) "… Tuliskanlah untuk Abu Syah!...."
Menurutnya, hadis yang berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits.
2. Hadits tentang anjuran Nabi Saw untuk menulis sabdanya dari Abu Hurairah:
...اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ...الحديث (رواه الشيخان) "… Tuliskanlah untuk Abu Syah!...."
Menurutnya, hadis yang berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits.
Al-A‘zhamy
menjawab kritikan ini dengan pernyataannya bahwa jika melihat daftar
nama orang-orang yang menentang dan memperbolehkan penulisan hadis, akan
diketahui bahwa tuduhan tersebut tidak benar sama sekali. Sebab, orang
yang terkenal keras dalam menentang penulisan hadis seperti Ubaidah dan
Ibn Sirin adalah termasuk kelompok muhaddits. Sedangkan orang yang
memperbolehkan dan mendorong penulisan hadis seperti Hammad Ibn Abu
Sulaiman, al-Zuhri, al-A‘masy, Abu Hanifah, al-Tsaury, dan Malik adalah
termasuk ahl al-ra'y.
5.
Goldziher menuturkan bahwa "bimbingan resmi" dan kegiatan penguasa"
untuk memalsukan hadis sudah ada sejak dini dalam sejarah Islam.
Dampaknya tampak dalam pesan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah agar ia
mengucilkan ‘Ali dan pengikutnya, serta jangan menerima hadis-hadis
mereka. Di pihak lain, Utsman dan dan para pengikutnya supaya
disanjung-sanjung dan diterima hadisnya. Pesan ini merupakan "siaran
resmi" yang melegalisir pemalsuan hadis untuk memojokkan ‘Ali demi
membela kepentingan Utsman.
Glodziher
menyimpulkan hal itu berdasarkan keterangan yang terdapat dalam tarîkh
karangan al-Thabâry, di mana Mu‘awiyah berpesan kepada al-Mughirah,
"Jangan segan-segan mencaci dan mengecam ‘Ali, dan jangan bosan
menyayangi dan memohonkan ampunan untuk Usman. Aib berada pada
pengikut-pengikut ‘Ali, karenaya kucilkanlah mereka dan jangan didengar
ucapannya!"
Dr.
Al-A‘zhamy menjawab, "Orang yang membaca teks-teks tersebut berikut
kesimpulannya akan merasa heran. Sebab perang antara Sayyidina ‘Ali dan
Mu‘awiyah sudah menjadi saksi sejarah. Memang merupakan suatu kewajaran,
jika dalam suatu negara, pemerintah selalu mengangkat pegawai dan
pejabat yang loyal kepadanya, bukan pembangkang. Inilah yang dilakukan
Dinasti Umayyah pada saat itu.
Di samping itu, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka memalsukan hadis, baik secara resmi maupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah. Tidak ada kritikan atas Mu‘awiyah kecuali hanya karena ucapannya itu kalau benar ia mengucapkan demkian. Dan sejauh Itu, tidak ada tanda-tanda bahwa Mu‘awiyah sebagai seorang pemalsu hadis."
Di samping itu, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka memalsukan hadis, baik secara resmi maupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah. Tidak ada kritikan atas Mu‘awiyah kecuali hanya karena ucapannya itu kalau benar ia mengucapkan demkian. Dan sejauh Itu, tidak ada tanda-tanda bahwa Mu‘awiyah sebagai seorang pemalsu hadis."
Diramu dari :
Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, karangan Prof. Dr. MM. AZAMI
Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, oleh Dr. Mahmud Ali Fayyad
Imam Bukhari Dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis, oleh H. Ali Mustafa Yaqub M.A
MM Azami Pembela Eksistensi Hadis, editor Nurul Huda Ma’arif