Para misionaris tidak bisa dipisahkan dari korban bencana dan musibah. Di mana ada bencana, di situ misionaris beraksi. Para korban bencana yang sedang dirundung duka, sangat memerlukan uluran bantuan untuk meringankan beban deritanya. Sementara para misionaris yang mengamalkan prinsip cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Matius 10:16), memiliki modal untuk memberikan bantuan sembari mengusung misi penginjilan kepada segala makhluk (Markus 16:15).
Kegigihan para misionaris dalam menjala aqidah umat Islam, bisa kita lihat dalam teori penginjilan yang diajarkan Dr HL Senduk dari Gereja Bethel: “Kita harus memimpin jiwa itu sehingga ia mengambuil keputusan. Ada waktu menabur dan ada waktu menuai. Setelah sudah kita menginjili, maka kita akan menuai... yakinkan dia bahwa sekarang dia bisa jadi anak Allah, jika ia suka terima Tuhan Yesus di dalam hidupnya. Jangan lepaskan jiwa itu sebelum saudara mengajak dia menerima Kristus, sehingga ia berkata: “Saya terima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku.” (Penginjil yang Sukses, hal. 11).
Setelah diguncang gempa tektonik berkekuatan 7,6 Skala Richter (SR), kaum muslimin di wilayah Sumatra Barat (Sumbar) menderita lahir-batin. Mereka sangat memerlukan bantuan dari pihak luar Sumbar. Meski pemerintah dan kaum muslimin sudah bahu-membahu meringankan beban ini, namun pihak misionaris tak mau ketinggalan. Mereka berduyun-duyun mendatangi Sumbar dengan bantuan materi di tangan kanan, dan segenggam misi salibis di tangan kiri.
Fakta gerakan kristenisasi terhadap korban gempa Sumbar ini, sebagian telah dilaporkan muslimdaily.net (28/10/2009), antara lain terjadi di daerah Korong Koto Tinggi, Kenagarian Gunung Padang Alai, Kecamatan Koto Timur, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Koto Tinggi terletak di kawasan pegunungan dan perbukitan yang cukup berat diakses dari darat mengingat lalu lintas jalan terputus total. Bangunan-bangunan yang ada hampir semua rubuh dan rusak parah.
Menurut keterangan warga setempat, upaya pemurtadan ini tidak dilakukan secara terang-terangan, tapi secara halus dan tersembunyi, oleh sebuah LSM Samaritan yang mendapat bantuan dari Amerika Serikat. Modus pemurtadan LSM Samaritan adalah indoktrinasi berkedok terapi mental terhadap anak-anak korban gempa. Di kamp pengungsian, anak-anak itu tidak hanya diterapi mental, tapi juga didoktrin dengan ajaran kekristenan. Seorang warga, sebut saja Asril, menirukan trik-trik indoktrinasi relawan sbb:
“Siapa tuhanmu?” tanya sang relawan.
“Alloh SWT,” jawab anak-anak itu.
“Bukan Alloh SWT, tetapi Allah,” kata sang relawan. Ia tidak mau anak-anak itu menyebut Alloh (sesuai dengan aksen lafzhul jalalah yang benar), dan merubah dengan Allah (yang dibaca “alah” seperti tradisi umat Kristiani.
“Kalian tahu Isa? Siapakah beliau?” tanya sang relawan lagi.
“Isa adalah Rasul utusan Allah,” jawab anak-anak.
“Bukan, Isa adalah Anak Allah yang suci,” tukas sang relawan.
Demikian cuplikan terapi mental yang disampaikan kepada anak-anak Muslim di kamp pengungsian. Terapi mental ini sama sekali tidak efektif untuk memulihkan mental-spiritual anak-anak korban gempa, justru menambah beban mental anak-anak itu.
Sementara mental mereka belum pulih dari kesedihan, putus asa dan trauma, malah diberi beban mental baru oleh para misionaris untuk mempercayai doktrin yang bertolak belakang dengan keyakinan Islam yang mereka imani.
Modus pemurtadan lainnya adalah iming-iming bantuan logistik selama tiga tahun penuh dengan kehadiran 5 helikopter setiap hari non stop, minimal 2 helikopter kepada warga setempat. Tentunya, tawaran ini sungguh sangat menggiurkan di tengah badai musibah gempa.
Sayangnya, kata warga, persyaratan yang diajukan LSM itu terlalu berat: warga harus berganti agama Kristen, wajib menghadiri acara-acara kerohanian Kristen, dilarang lagi pergi ke masjid dan menghadiri acara-acara keislaman. Warga pun menolak proposal bantuan LSM ini dengan alasan keimanan. Warga mau menerima bantuan itu jika diberikan secara tulus dan cuma-cuma tanpa ada embel-embel keharusan pindah iman. Ratusan warga sepakat menandatangani nota bersama untuk mengusir paksa LSM itu karena dianggap memaksakan keyakinan dan melanggar hukum.
Penyebaran Kristen berkedok bantuan kemanusiaan itu bukanlah membantu orang susah, tapi malah membuat suasana semakin resah. Seharusnya para misionaris bisa membedakan antara bantuan tulus dengan misi akal bulus. Bantulah sesama manusia setulus hati, sesuai wasiat Yesus: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Markus 12:31). Misi kemanusiaan di Sumbar adalah keterpujian, tapi jika disusupi dengan misi pengkristenan, maka itu adalah pelanggaran terhadap amanat Yesus: “Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Matius 10:5-6).
Upaya pemurtadan atas korban gempa sumbar bukan isapan jempol, urang awak harus waspada. Cukuplah penderitaan gempa itu, jangan ditambah dengan bencana kemurtadan. Waspadai misi salibis dan seluruh iming-imingnya. Dalam petuah Minang, misi kristenisasi dengan iming-iming materi itu disebut “muncuang disuoki jo pisang ikua dikaik jo duri.” Lahiriahnya tampak menolong, padahal sebenarnya menodong.
Kaum Muslimin harus membuktikan ukhuwahnya. Bila umat Islam enggan membantu saudaranya yang tertimpa musibah, berarti mereka telah memuluskan orang di luar Islam untuk datang membantu sambil menyebarkan misi agamanya. Bantulah sesama muslim yang tertimpa musibah dengan sekuat tenaga dan kemampuan. Karena kekuatan umat Islam ada pada kebersamaan, saling sedekah, saling meringankan beban orang lain. Kata orang tua, setiap orang wajib melindungi negerinya. Adat banagari mamaga nagari.
Yesus itu Anak Allah ataukah Allah Anak?
Misionaris Samaritan ingin menjebol akidah anak-anak korban gempa Sumbar yang sudah mapan. Meski iman kepada Isa alaihissalam sebagai Nabi utusan Allah adalah akidah yang shahih, tapi para misionaris ingin menukarnya dengan keyakinan batil bahwa Isa adalah Anak Allah.
Doktrin bahwa Yesus adalah Anak Allah ini mengacu kepada pernyataan Iman Rasuli: “Aku percaya kepada Allah Bapa... dan kepada Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal.”
Dalam dogmatika tentang Kristus (Kristologi), oknum Yesus diyakini memiliki fungsional sebagai anak Allah yang tunggal sekaligus Allah Anak yang menjadi satu dengan manusia. Dr R Soedarmo dalam “Ikhtisar Dogmatika” menjelaskan: “Allah Anak menjadi satu dengan manusia. Dengan demikian Kitab Suci menyatakan bahwa Anak Allah menjadi satu dengan manusia.” (hlm. 163).
Dalam kacamata Al-Qur’an, Nabi Isa bukanlah anak Tuhan, baik secara biologis maupun secara rohani. “Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia...” (Qs Maryam 35). “Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (Qs Maryam 92).
Sedangkan dalam kacamata Alkitab (Bibel), keyakinan terhadap Yesus sebagai Anak Allah agaknya bisa dimaklumi karena istilah “anak Allah” memang banyak disebutkan dalam Alkitab. Namun perlu diketahui bahwa istilah ini harus dipahami secara kontekstual, bukan secara biologis. Sebab menurut Alkitab, pengertian “anak Allah” adalah predikat keshalehan, antara lain: semua orang yang dipimpin oleh roh Allah disebut anak Allah (Roma 8:14); semua orang yang membawa perdamaian disebut sebagai anak Allah (Matius 5:9); orang yang mengasihi dan berbuat baik kepada musuh juga disebut sebagai anak Allah (Lukas 6:35). Kenyataannya, sebutan anak Allah dalam Alkitab itu bukan monopoli Yesus saja. Banyak sekali orang yang disebut anak Allah dalam Bibel, di antaranya: Nabi Adam (Lukas 3:38), Israel (Keluaran 4:22), Efraim (Yeremia 31:9), dll.
Problem teologi justru akan muncul jika Yesus diyakini sebagai Allah Anak, karena istilah “Allah Anak” sama sekali tidak pernah disebutkan dalam kitab suci, baik Al-Qur’an maupun Bibel. Istilah “Allah Anak” hanya bisa dijumpai dalam pernyataan doktrin Trinitas. Meyakini Yesus sebagai Allah Anak adalah keanehan, karena tidak didukung satu ayat pun dalam kitab suci. Lebih membingungkan lagi adalah keyakinan bahwa Anak Allah sama dengan Allah Anak. Sebab menyamakan istilah “Anak Allah” dengan “Allah Anak” sama anehnya dengan orang yang menyamakan antara “Anak Dokter” dengan “Dokter Anak.”
Oleh : A. AHMAD HIZBULLAH MAG [www.ahmad-hizbullah.co.cc]
yang aneh yesus putra allah tapi maryam bukan istri allah jadi pusing....wkwkwkkwkwkwkwkwk
BalasHapus