Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan
bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan
dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh
sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis
melainkan tercurah dari lubuk hati.
(Ibn Arabi)
Bismillahi ar rahmani ar rahiim
Abu Fadl Ibn Athaillah Al Sakandari (wafat 709), salah seorang imam
sufi terkemuka yang juga dikenal sebagai seorang muhaddits, muballigh sekaligus
ahli fiqih Maliki, adalah penulsi karya-karya berikut: Al Hikam, Miftah ul
Falah, Al Qasdul al Mujarrad fi Makrifat al ism al-Mufrad, Taj al-Arus al-Hawi
li tadhhib al-nufus, Unwan al-Taufiq fi al Adad al-Thariq, sebuah biografi:
Al-Lataif fi manaqib Abi al Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al Hasan, dan
lain-lain. Beliau adalah murid Abu al Abbas Al-Musrsi (wafat 686) dan generasi
penerus kedua dari pendiri tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al Hasan Al Sadzili.
Ibn Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taymiyah
atas serangannya yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sefaham
dengannya. Ibn Athaillah tak pernah menyebut Ibn Taymiyah dalam setiap
karyanya, namun jelaslah bahwa yang disinggungnya adalah Ibn Taymiyah saat ia
mengatakan dalam Lataif: sebagai “cendekiawan ilmu lahiriyah”.1 Halaman berikut
ini merupakan terjemahan Inggris pertama atas dialog bersejarah antara kedua
tokoh tersebut.
Naskah Dialog :
Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al
Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog
bersejarah yang otentik. Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika
berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia juga merekam kontroversi
antara pribadi yang bepengaruh dalam tsawuf: Syaikh Ahmad Ibn Athaillah Al
Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan “Salafi”: Syaikh
Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah selama era Mamluk di Mesir yang berada
dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al Malik Al Nasir).
Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn
Athaillah
Syaikh Ibn Taymiyah ditahan di Alexandria. Ketika sultan
memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al
Ahzar untuk sholat maghrib yang diimami Syaikh ibn Athaillah. Selepas shalat,
Ibn Athailah terkejut menemukan Ibn Taymiyah sedang berdoa dibelakangnya.
Dengan senyuman, sang syaikh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taymiyah di
Kairo seraya berkata: Assalamualaykum, selanjutnya ia memulai pembicaraan
dengan tamu cendekianya ini.
Ibn Athaillah: “Biasanya saya sholat di masjid Imam Husein dan
sholat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah
menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut anda (setelah kepulangan
anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih, apakah anda menyalahkanku
atas apa yang telah terjadi?”
Ibn Taymiyah: “Aku tahu, anda tidak bermaksud buruk terhadapku,
tapi perbedaan pandangan diantara kita tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus
apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan, siapapun yang
berbuat buruk terhadapku”
Ibn Athaillah: Apa yang anda ketahui tentang aku, syaikh Ibn
Taymiyah?
Ibn Taymiyah : Aku tahu anda adalah seorang yg saleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih patuh atas perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Ibn Taymiyah : Aku tahu anda adalah seorang yg saleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih patuh atas perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Tapi bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang
anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran
(praktik) meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Allah
(istighatsah)?
Ibn Athaillah: Tentu saja, rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah saw, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
Ibn Taymiyah: Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat al Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji (q.s. Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.
Ibn Athaillah: Tentu saja, rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah saw, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
Ibn Taymiyah: Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat al Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji (q.s. Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.
Inilah syafaat yang dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari
pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah
saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari
selain Allah.
Ibn Athaillah : Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya kepada anda,” Adakah muslim yang beriman pada Allah dan rasulNya yang berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya sendiri?”
Ibn Athaillah : Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya kepada anda,” Adakah muslim yang beriman pada Allah dan rasulNya yang berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya sendiri?”
” Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan
pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah?
Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa
dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan akan membawa
kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab,
siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti mengharapkan anugerah syafaat
yang dimiliknya dari Allah, sebagaimana jika anda mengatakan: “Makanan ini
memuaskan seleraku”. Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan
selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk
mendatangi seseorang selain DiriNya guna mendapat pertolongan, pernahkah anda
melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah? Ayat Al quran
yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada
dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim
yang meminta pertolongan rasul adalah dalam rangaka bertawasul atau mengambil
perantara, atas keutamaan (hak) rasul yang diterimanya dari Allah (bihaqqihi
inda Allah) dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang telah Allah
anugerahkan kepada rasulNya.
Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighosah atau memohon
pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita
seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan
mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).
Lalu Ibn Athaillah melanjutkan: “Saya kenal betul dengan segala
inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqih yang didirikan oleh syaikh
anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqih serta mendalamnya
“prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan” yang anda miliki,
sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul selaku seorang ahli
fiqih.
Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik
kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi
harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya.
Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang
mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya
Ibn Arabi, Fususul Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan
saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan
yang tidak dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh islam).
Ketika syaikh al islam Al Izz ibn Abd Salam memahami apa yang
sebenarnya diucapan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna
sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah
swt atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam
Islam.
Sedangkan mengenai pernyataan al Syadzili yang memojokkan Ibn
Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya,
melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi, pernyataan itu
dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut Sadziliyah. Dengan
demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh
sang pembicaranya sendiri. “Apa pendapat anda mengenai khalifah Sayyidina Ali
bin Abi Thalib?”
Ibn Taymiyah: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda:
“Saya adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan
seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa
kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi
Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat rasul yang
paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya
lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al quran dan sunnah. Duhai!
Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.
Ibn Athaillah: Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar
orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim
bahwa malaikat jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada
Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia meminta mereka untuk
menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam menjadi tuhan?
Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan memberikan fatwa
(ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh dimanapun mereka ditemukan?
Ibn Tayniyah: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
Ibn Tayniyah: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
Ibn Athaillah: Dan Imam Ahmad- semoga Allah
meridoinya-mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli,
memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun
mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis para penyanyi,
dan menyerang msayarakat di jalan.
Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas
pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan
hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang
dilarang agama. Apakah anda tidak memahami hal ini?
Ibn Taymiyah: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah?
Di antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah saw
memberitakan khabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga
sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan
kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat itu malaikat jibril
turun dari surga dan mewahyukan kepada rasul bahwa Allah akan memilih di antara
jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya malaikat jibril mengangkat satu dari
jubah dan menggantungkannya di singgasana Allah. berdasarkan ini, kaum sufi
mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.
Ibn Athaillah: “Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian
kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan; apakah anda tidak setuju dengan
penampilan saya?
Ibn Taymiyah: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
Ibn Taymiyah: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
Ibn Athaillah: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat maupun
tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang
sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita
tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahwa
kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati harus
menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasulNYA. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasulNYA. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar
memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah
secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang
mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam kami yang
terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis
dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam
menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya
hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang
menghantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.
Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan
setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang
melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan
seperti filososf Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia
menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya (ittihad), atau teori yang
menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul
wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syaikh anda: semuanya jelas
perilaku ateis dan kafir”.
Ibn Athaillah: “Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang
mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi, seorang
yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang hukum islam, wahai
penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorabg Zahiri (menerjemahkan hukum
islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan untuk memahami hakekat adalah
dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna spiritual (thariq al
bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama sama
apa-apa yang tersembunyi. Agara anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan
anda mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan
gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia telah
menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan sunnah, sama seperti
hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai perbedaan mendasar
mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang menguntungkan
dan berfaedah.
Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara
yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah anda
setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat perselisihan di antara para
ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan
memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat mengenai iman, maka
kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat
untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan
berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan
secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari
Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.
Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.
Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.
Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al
Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan
hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan
demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan
muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal
tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka
sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu karena telah
menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan anda membaca pernyataan Ibn Arabi
bahwa:”Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan
bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan
dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh
sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis
melainkan tercurah dari lubuk hati.” “Adakah pernyataan yang seindah ini?”
Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
*Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn
Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah, dalam buku karya Syaikh
Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations (Kazi, 1996)
h. 367-379.
MasyaAlloh....!!!
BalasHapusTuhan, jadikanlah aku sufi.... jangan jadikan aku "salafi"