Sabtu, 15 Desember 2012

PERJUANGAN TIGA HAJI DAN PELOPOR KAUM WAHABI DI MINANG KABAU

HAJI PIOBANG, HAJI SUMANIK DAN HAJI MISKIN
Siapa sangka, bahwa orang Minangkabau di tahun 1798 sudah berhasil melumpuhkan tentara Napoleon Bonaparte di Pertemuran Pyramids. Tokoh tersebut adalah yaitu Haji Piobang, Haji Sumanik dan haji Miskin menjadi tentara Turki dibawah Jenderal Muhammad Ali Pasha, sebagai Janissary Cavalry (tentara berkuda) dan Artillery serta Haji Miskin sebagai ahli tempur Padang Pasir (Hermit). Kemenangan dalam pertemuran tersebut sekaligus menghambat gerakan Napoleon untuk memasuki kawasan Asia seperti; India dan Indonesia (Onggang dalam buku Tuanku Rao ; hal , 91).
Selama 16 tahun Haji Piobang, Haji Sumanik dan haji Miskin  meninggalkan kampung halaman Minangkabau, menurut buku tersebut karena belajar di Universitas Al Azhar Mesir dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang Minangkabau. Semasa belajar di Mesir, ketiga haji tersebut di atas terpaksa harus masuk prajurit tentara Turki waktu itu menguasai Mesir .Karena bakat dan keteguhan hati pemuda Minangkabau yang pemberani dan keberhasilannya dalam berperang yang dimilikinya semasa menjadi tentara Turki  dan timur tengah. Terutama membanting pasukan Napoleon Bonaparte di medan tempur Pyramids yang terkenal itu. Kemudian tokoh pemuda Minangkabau menjadi terkenal di dunia tempur Padang pasir yang tandus. Sekaligus mendapat kenaikan pangkat  dari captain menjadi colonel  Cavalry Piobang dan Mayor artillery Sumanik serta sang Perwira Hermit Haji Miskin terkenal dalam perang  hidup mati di padang pasir (hendra maut), oleh Jenderal Muhammad Ali Pasha (Turki).
Kira-kira di tahun 1800 ketiga haji ini pulang dari tanah suci pulang menuju Minangkabau Indonesia. Kepulangan ketiga haji tersebut bersama satu orang lainnya haji dari Sulu Philipina bernama haji datuk Onn atas saran dari Abdulah Ibnu Saud penguasa Arab Saudi waktu itu yang beraliran Wahabi (Onggang, Buku Tuanku Rao, hal; 92).
Empat orang haji (satu orang haji Datuk Onn Sulu Pilipina) pulang bersama menuju daerah asal masing masing dengan tekad untuk menegakkan dan memurnikan Islam sekaligus mengusir penjajah yang kafir yang menguasai daerah mereka (Belanda di Indonesia dan Spanyol di Pilipina). Sesampai di Minangkabau ketiga haji Minangkabau ini bertemu dengan Tuanku nan Renceh seorang ulama terkemuka alumni Universitas Ulakan Pariaman, serta alumni Pendidikan Islam Koto Tuo dan perguruan Islam lainnya.
Menyusun Negara Darul Islam tahun 1804-1821
Menurut catatan sejarah dalam buku “Tuanku Rao oleh M. Onggang P”, bahwa Tuanku Nan Renceh bersama ke tiga haji yang baru datang tersebut segera menyusun rencana pembersihan Islam di Minangkabau. Selanjutnya segera menyusun Negara Darul Islam di markas Kamang Agam. Maka lahirlah negara “Darul Islam” dengan pasukan tempur dibawah komondo Haji Piobang dan Haji Miskin serta Haji Sumanik yang ahli dalam banyak peperangan di timur tengah dan Turki yang dinamakan Tentara Paderi (Kaum Putih). Dalam beberapa tahun kiprah tentara paderi begitu besar dan radikal dalam menegakkan dan membersihkan Islam dari paham yang bertentangan dalam masyarakat.
Walau akhirnya Negara Darul Islam ini hancur dalam pertempuran Air Bangis tahun 1821. Pertempuran ini menyebabkan mati pahlawan Tuanku Rao dan beberapa tuanku lainnya secara syahid melawan penjajah Belanda. Tetapi perlu diingat bahwa perjuangan kaum Paderi ini telah merubah peta Islam khususnya di wilayah Sumatera bagian tengah dan utara sampai hari ini.Sulit dicari di tahun 1800 an sudah ada putera Minangkabau menjadi colonel di luar negeri dan berhasil menjadi pahlawan melawan gerakan musuh dari manapun. Termasuk dari dunia Eropah yang berusaha menyerang dunia Asia termasuk Indonesia. Memang begitu hebat orang Minangkabau waktu itu, termasuk banyak tokoh pejuang Islam yang belajar dan berjuang di negara asing, hanya untuk menegakkan Islam dan membawa masyarakat terbebas dari paham jahiliyah.
Kebanggaan Orang Minangkabau
Tidak sekedar kebanggaan saja yang diperlukan dalam mempelajari sejarah para tokoh termasuk tokoh yang kontradiktif. Tetapi terpenting adalah merupakan sebagai pelajaran tersendiri dari generasi ke generasi. Menanamkan jiwa dan semangat untuk memotivasi generasi berikutnya untuk menjadi pejuang yang keras, ulet dan tekun dalam mempertahankan agama dan bangsa dari penindasan dan ketertinggalan.
Disamping tokoh tiga haji tersebut, banyak tokoh lain yang patut menjadi panutan generasi mendatang. Terutama tokoh penegak dan pendiri Islam seperti Sjech Burhanudin Ulakan, Sjech Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Sjech Inyiak Jambek, Sjech Inyiak Joho, Sjech Inyiak Candung, Sjech Inyiak Parabek, Buya Hamka dan banyak Sjech lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Karena keberhasilannya dalam membawa agama Islam serta menegakkan Islam serta pendidikan lainnya di Minangkabau selama ini.Termasuk juga yang patut kita banggakan dan hormati adalah Tuanku Nan Renceh bersama Haji Piobang, Haji Sumanik dan Haji Miskin dari aliran keras dengan paham wahabi dari Mazhab Hambali. Dan banyak kemungkinan bahwa cara kekerasanlah yang dapat menurut tokoh-tokoh tersebut untuk menanamkan agama Islam kala itu. Walau semua orang boleh berbeda pendapat bahwa itu tidak sesuai dengan paham sekarang dengan menanamkan agama. Karena secara persuasive dan tanpa kekerasan dan melalui pendidikan dan contoh serta teladan serta kebaikan yang diutamakan.
Menelusuri Jejak Sejarah Tokoh Tiga Haji.
Pada suatu saat, penulis bersama Datuk Pati Marajo (penulis Buku Minangkabau) sengaja berkunjung ke, nagari-nagari; Piobang, Sumanik dan Pandai Sikek di Kabupaten 50 Kota dan Tanah Datar. Karena menurut sejarah bahwa nagari-nagari tersebutlah merupakan tempat asal usul para tokoh di atas.Dari peninjauan lapangan ke tiga nagari asal para tiga haji tersebut, ditemukan adalah kuburan para ketiga haji yang telah di rawat oleh Cagar Budaya sebagai peninggalan sejarah yang tercatat dalam sejarah budaya nasional Indonesia. Namun tidak banyak informasi yang kami temukan tentang asal usul dan kelahiran serta masa kecil beliau, serta tidak adanya catatan tentang riwayat perjuangan yang ditemukan di sana.
Menurut orang kampung ada tokoh tertentu yang memiliki cerita tentang kehidupan para tokoh ini dan tidak banyak orang yang tahu siapa tokoh ini sebenarnya dan apa perjuangan beliau. Dengan arti kata bahwa sejarah perjuangan tokoh penegak Islam ini kurang popular di mata masyarakat. Walau ada hanya semacam cerita dari mulut kemulut dari kaum yang tua-tua tentang keberadaan ketiga tokoh ini. Namun semua orang sepakat mengatakan bahwa tokoh tersebut adalah sangat pemberani dan di takuti serta sekaligus tidak disenangi di kampung masing-masing.Terdapat catatan sejarah yang ditemukan dari beberapa buku dan literature lama oleh para peminat sejarah seperti buku Tuanku Rao oleh M. Onggang P. Mengatakan bahwa ketiga haji tersebut sewaktu pulang dari Tanah Suci membawa aliran Wahabi yang waktu itu masih berkuasa di Arab Saudi dengan Mazhab Hambali ke Minangkabau. Setiba di Minangkabau ke tiga haji ini langsung melakukan pembersihan terhadap hal hal yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti; Judi, Sabung Ayam, Minum Tuak dan kebiasaan lainnya yang menyimpang.
Namun Ketiga Haji ini mendapat perlawanan keras dari masyarakat kampung sendiri, Karena sepak terjang yang sangat keras, dan radikal dalam memurnikan Islam melalui pedang terhunus. Tidak sedikit manusia yang menjadi korban karena kebiasaan yang masih melanggar agama Islam seperti Judi, Sabung Ayam, Minum Tuak dan lainnya. Sehingga ketiga tokoh tersebut dan tentara Paderi tidak menjadi popular sampai hari ini.
Kemudian dengan pertemuan dengan Tuanku Nan Renceh alumni Universitas Ulakan Pariaman, kira-kira tahun 1804 disusunlah rencana pendirian Negara Darul Islam dengan Tentara Paderi di bawah pimpinan Haji Piobang. Haji Piobang, Haji Sumanik dan Haji Miskin aman dan dijamin oleh Tuanku Nan Renceh hidup di Kamang Agam, sekaligus menyusun Negara Darul Islam dan tentara Paderi. Berdirilah Markas Islam di Kamang dengan Mazhab Wahabi dan sekaligus lembaga pendidikan semacam universitas Islam. Disamping Universitas Islam di Ulakan di Pariaman dengan Mazhab Syiah. Walau sekarang tidak ada sedikitpun bekas sebuah Universitas dan Markas Islam dengan jumlah murid mencapai ribuan orang dan 32.000 ekor kuda untuk pasukan Cavalry (tentara berkuda).
Sedangkan murid dan anggota pasukan Paderi adalah dari Minangkabau dan dari Sumatera Utara seperti Pongkinanggolan Sinambela alias Tuanku Rao, Peto Syarif alias Tuanku Imam Bonjol (Pahlawan Nasional), Hamonongan Harahap alias Tuanku Tambusai, Idris Nasution alias Tuanku Lelo, Tuanku Lintau, Tuanku Hitam dan lainnya.Sekian sekelumit sejarah ringkas tentang ketiga haji yaitu Haji Piobang, Haji Sumanik dan Haji Miskin yang boleh dikatakan telah merubah peta dunia Islam khususnya di bumi Sumatera Tengah dan Utara dan mungkin menjalar ke daerah lainnya di Nusantara. Apabila pembaca menemukan cerita lain dari tokoh yang sama mungkin bisa saling melengkapi, karena cerita ini kebanyakan dari kutipan Buku karangan “Mangaradja Oanggang Parlindungan dalam Judul Tuanku Rao ” dalam Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816 – 1833, Penerbit Tandjung Pengharapan.

Biografi Tuanku Tambusai-Harimau Paderi dari Rokan


Harimau Paderi dari Rokan
Pemimpin paderi, 1832 Tokoh Paderi ini sangat ditakuti oleh Belanda karena memporak-porandakan pasukan Belanda dalam rentang 15 tahun. Pasukan Belandapun menyebutnya harimau Paderi dari Rokan.
Sebagai seorang ulama besar ia telah menunaikan kewajibannya. Keberadaannya sebagai pejuang pembela tanah air yang gigih dan pantang menyerah selalu dihargai masyarakat sekitar, mereka pun tak segan membantu. Meskipun harus hidup dalam pengasingan, ia tak mau tunduk pada perintah Belanda.
Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, Kabupaten Kampar, Riau pada 5 Oktober 1784 dari pasangan Ibrahim dan Munah. Ayahnya, seorang pejabat tinggi agama di kerajaan Tambusai. Sebagai seorang pemuka agama Islam, ia mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anaknya dengan penuh kedisiplinan.
Tuanku Tambusai yang awalnya dikenal dengan nama Muhammad Saleh ini juga diajari beladiri, termasuk ketangkasan menunggang kuda sejak usianya masih belia. Bukan hanya beladiri dan menunggang kuda, tata cara bernegara pun dipelajarinya dengan tekun.
Untuk lebih memdalami ilmu agamanya, Muhammad Saleh pergi menuntut ilmu ke Bonjol (sekarang Sumatera Barat) kemudian pindah lagi ke Rao. Di sana ia berguru pada beberapa ulama dan berkenalan dengan tokoh paderi, Tuanku Imam Bonjol.
Saat itu Minangkabau merupakan tempat terdekat dengan Tambusai yang berusaha memurnikan kembali ajaran agama di daerah itu. Untuk mencapai lokasi tersebut, Saleh harus menempuh 2 hari perjalanan dengan berjalan kaki.
Kemasyuran ulama besar seperti Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Tuanku Nan Renceh, juga terdengar hingga ke wilayah Tambusai. Namun tidak ada pertentangan antara kaum adat dengan kaum Paderi. Berkat ketekunan belajarnya, Muhammad Saleh menjadi seorang paderi bergelar fakih.
Kemudian ia mendapat tugas menyebarkan dakwah ke daerah yang paling rawan waktu itu, yaitu Toba (sekarang Sumatera Utara) yang sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan pelbegu. Ketika berdakwah di daerah itu, ia difitnah ingin merombak adat nenek moyang orang Batak. Karena fitnah itu ia merasa nyawanya terancam.
Merasa Toba sudah tak aman baginya, ia pun memutuskan kembali ke Rao (sekarang Sumatera Barat). Di sana ia menyiarkan agama Islam bersama Tuanku Rao ke berbagai pelosok seperti Airbangis dan Padanglawas kemudian ia mendirikan pesantren di kampungnya, Dalu-dalu.
Gelar Tuanku pun disandangnya karena tingkat keilmuannya yang tinggi dalam bidang agama. Dengan gelar itu ia ditugasi sebagai Panglima Paderi di Rao. Tuanku Tambusai, selain seorang panglima, ia juga merupakan salah seorang dari empat orang paderi yang berangkat ke Mekah di tahun 1820-an untuk mempelajari perkembangan pemikiran Islam di Tanah Suci.
Di berbagai tempat yang sekarang termasuk dalam administratif Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara ia mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Dalam Perang Paderi (1821-1830), Tuanku Tambusai membawa pasukan yang beroperasi di bagian utara Sumatera Barat. Kemudian mengawali penyerangan terhadap Inggris di Natal (Sumatera Utara) pada tahun 1823.
Pada akhir tahun 1826, tentara Belanda tidak bisa dengan tenang masuk ke wilayah Natal karena dihadang oleh Tuanku Tambusai. Meskipun Natal sudah diserahkan Inggris ke tangan Belanda sesuai dengan Traktat London 1824.
Pada tahun 1830, Tuanku Tambusai bergabung dengan pasukan Rao setelah mengamankan wilayah Natal-Airbangis. Dengan cepat ia memimpin kekuatan di Dalu-dalu (Riau), Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, Pangkalpinang dan Natal. Tuanku Tambusai dan Rao kemudian mendirikan benteng yang terdiri dari tujuh lapis bambu terletak di Dalu-dalu. Namun pada September 1832, benteng itu jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Tambusai memboyong pasukannya ke Tapanuli Selatan. Setelah Tuanku Rao gugur dalam pertempuran di Airbangis, praktis Tuanku Tambusailah yang memimpin pasukan Paderi di bagian utara Sumatera Barat.
Setelah Belanda mengangkat Tuanku Mudo (anak Tuanku Imam Bonjol) menjadi Regent Bogor, Tuanku Tumbasai sempat memimpin paderi pada tahun 1832. Dalam rentang waktu 15 tahun, tokoh paderi ini memporak-porandakan pasukan Belanda sehingga musuh berkali-kali harus meminta bantuan dari Padang dan Batavia. Pada tahun 1834, ia mulai mendirikan serangkaian benteng di Dalu-dalu.
Sebagai tokoh paderi, penampilannya tak selalu dengan baju putih dan tidak pula memelihara janggut sebagaimana paderi-paderi lainnya. Ia merupakan ancaman yang cukup serius bagi Belanda. Peranannya dalam mengurangi tekanan Belanda terhadap pertahanan utama Paderi di Bonjol sangat besar.
Pada tahun 1835, pasukannya mengepung kedudukan Belanda di Rao dan Lubuk Sikaping sehingga pasukan Belanda antara satu tempat dan tempat lain terputus. Adakalanya ia menyerang pos-pos militer Belanda di Tapanuli Selatan sehingga kekuatan Belanda yang mengepung Bonjol menjadi terpecah. Namun, pada Agustus 1837, Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Ia juga terkenal dengan kecerdikannya, hal itu terbukti dengan dihancurkannya benteng Belanda Fort Amerongen. Meskipun tak berlangsung lama, Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali. Karena keberaniannya itu, ia dijuluki sebagai de padrische van Rokan yang berarti harimau Paderi dari Rokan oleh Belanda.
Dalam perjuangannya ia tak hanya berhadapan dengan Belanda, namun juga saudara sebangsanya yang lebih memilih untuk berpihak kepada Belanda seperti Raja Gedombang (Regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo (bekas tentara Sentot Alibasyah).
Tuanku Tambusai berusaha membujuk serdadu Belanda asal Jawa untuk membantu perjuangan karena dalam pertempuran di Lubukhari tahun 1833, Belanda menggunakan para wanita setempat sebagai tameng. Solidaritas agama pun ia manfaatkan guna mendukung perjuangannya. Sayangnya Belanda mengetahui upaya tersebut. Akan tetapi sebanyak 14 orang serdadu Belanda asal Jawa sempat bergabung dengan Tuanku Tambusai.
Dalam perang paderi, Tuanku Tambusai merupakan sosok pemimpin terkemuka. Kehadirannya selalu diterima oleh penduduk di daerah yang dikunjunginya. Hal itu tercermin dari sejumlah gelar yang disandangnya, seperti Ompu Bangun, Ompu Cangangna, Ompu Sidoguran dan Ompu Baleo. Ketika pemimpin Fort Amerongen menawarkan perdamaian padanya, ajakan itu ditolaknya mentah-mentah. Hal tersebut menunjukkan keteguhannya dalam menjaga prinsip. Hal serupa juga terjadi pada tahun 1832, saat itu Letkol Elout mengajaknya berdamai di Padang Matinggo, Rao. Dengan tegas ia berpesan pada Elout agar tidak mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Mendengar hal itu, Elout membalasnya dengan mengatakan bahwa di mana ada Belanda di sana ia membuat kuburan. Dengan lantang Tuanku Tambusai menjawab "Jika begitu sediakan bedil!"
Pada awal tahun 1838, pasukan Belanda menyerang Dalu-dalu dari dua arah, yakni Pasir Pengarayan dan dari Tapanuli Selatan. Serangan itu gagal karena Tuanku Tambusai sudah mendirikan benteng berlapis-lapis. Serangan berikutnya dilancarkan Belanda pada Mei 1838. Beberapa benteng dapat mereka rebut, namun Belanda memerlukan waktu beberapa bulan lagi sebelum perlawanan Tuanku Tambusai dapat mereka akhiri. Pada 28 Desember 1838, benteng pertahanan terakhir di Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Namun ia berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda dan para sekutu-sekutunya lewat pintu rahasia.
Di sungai Rokan ditemukan sampan kecil milik Tuanku Tambusai bersamaan dengan barang-barang miliknya seperti cincin stempel, Al-Quran, serta beberapa buah buku yang dibawanya dari Mekkah.
Di usianya yang telah cukup renta, 98 tahun, ia kemudian mengungsi ke Seremban, Malaysia. Ia meninggal dunia pada 12 November 1882 di Negeri Sembilan, Malaysia.

Biografi Tuanku Haji Miskin, Pelopor Benih Reformasi di Sumatera Barat

Haji Miskin berasal dari Pandaisikek Tanah Datar, telah ikut serta bersama Tuanku nan Tuo memperbaiki keamanan para pedagang di pedalaman Minangkabau. Ia berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 1803 bersama Haji Sumanik dan Haji Piobang.  Pada saat berada di Mekah, ia berkenalan dengan aliran Zahiriyah yang dipelopori Muhammad Abdul Ibnu Wahab ( 1703-1792), sebagai lanjutan dari pemikiran Ibnu Taimiyah (1263- 1308). Gerakan ini dikenal dengan nama Gerakan Wahabi yang dapat mempergunakan pengaruh keluarga Su'ud dari Nejd.
Ketiga haji itu menerangkan pengalaman mereka masing-masing selama di Mekah kepada tuanku-tuanku dan alim ulama di Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh. Pada setiap kesempatan, Haji Miskin menjelaskan aliran Wahabi di Mekah dalam melaksanakan pembaruan agama. Ia bersama Tuanku Nan Tuo menganjurkan kembali ke syariat berdasarkan al Quran. Mereka menentang menafsirkan fikih untuk kepentingan dunia. Menentang bid'ah dan khurafat yang dimasukkan ke dalam Islam. Kembali ke ajaran yang murni, menurut ajaran Wahabi, ialah menentang fatwa-fatwa ulama yang mendasarkannya pada Qur an dan Hadis. Di dalam fikih, kaum Wahabi menentang segala macam qiyas. Di dalam kehidupan sehari-hari, mereka menentang pemujaan orang keramat. Hukumnya disamakan dengan menyembah berhala. Mereka menentang minum khamar, memakai pakaian dari sutra dan memakai perhiasan emas.

Sekembali dari Mekah, Haji Miskin melengkapi gagasan-gagasan pembaruan untuk masyarakat Minangkabau dengan ajaran-ajaran Al Quran sebagai sumber hukumnya.  Ia pindah ke daerah IV Koto yang berbatasan dengan Agam bagian selatan, suatu desa makmur di lereng Gunung Singgalang. Ia menerapkan tuntunan hidup berlandaskan kaidah agama dalam setiap sikap hidup.

Haji Miskin meninggalkan Pandai Sikek dan pindah ke Koto Laweh, suatu desa yang bersih, di lereng Gunung Singgalang( 1805). Di desa ini tinggal Fakih Saghir. Bersama Haji Miskin, Fakih Saghir menerapkan hukum syariat pendamping adat Minangkabau. Koto Laweh, sebuah desa yang terletak di persimpangan jalan dagang ke pantai melalui Malalak terus ke Naras, tempat kedudukan Tuanku nan Cadiak. Tuanku Nan Cadiak, seorang ulama pelindung pedagang yang menanak garam dan berdagang di Naras.

Dari Koto Laweh, Haji Miskin berangkat ke Bukit Kamang. Kemudian ia  tinggal bersama  Tuanku Nan Renceh di Surau Bansa (1807-1811 Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh mulai mengatur rencana pembaruan secara menyeluruh untuk menerapkan hukum perdagangan Islam dalam melengkapi hukum adat Minangkabau.  Para pedagang dapat menerimanya, baik yang tinggal di Kamang atau maupun yang datang ke sana. Mereka berjanji saling membantu dalam transaksi antar pedagang. Selama berada di Surau Bansa, Kamang, Datuk Bandaro dan Malin Mudo dari Alahan Panjang mendengar langsung  ide pembaruan dari pencetusnya,  Haji Miskin. Sekembali dari Kamang, Malin Mudo membangun Bonjol sebagai tempat kaum pembaru. Tidak lama kemudian Malin Mudo dilantik menjadi Tuanku Imam Bonjol* (1807). Ia berhasil mengembangkan pembaruan ke Rao sampai ke Tapanuli Selatan, Sosa dan Tambusai. Ke timur Mahek, Kuok Bangkingkinang, Salo, dan Air Tiris.

Daerah Tuanku Nan Salapan dibentuk bersama Tuanku nan Renceh terdiri dari Kamang, Candung, Ampek Angkek, Kubu Sanang, Banuhampu, Sungai Puar, dan Padang Laweh. Di daerah ini memancarkan kesejahteraan penduduknya. Kekerasan dan perkelahian yang terjadi akibat pengembangan pembaruan untuk mengembalikan desa-desa melaksanakan syariat Islam.

Kemudian Haji Miskin berunding dengan Tuanku Nan Salapan. Mereka sepakat menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin Gerakan Pembaruan, dan mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha pembaruan. Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo

Tuanku Nan Tuo menyetujui maksud mereka, tetapi tidak menyetujui kekerasan yang dilakukan dalam pelaksanaannya. Kalau pekerjaan mulia dilakukan dengan kekerasan, akan menimbulkan kekacauan.  Cara ini dianggap menyimpang dari roh Muhammad yang bijaksana. Inilah ajaran yang tertera dalam 'Taufah mursala ila ruhun nabi.' Sedangkan Tuanku Nan Renceh ingin menerapkan gagasan-gagasan pembaruan yang berbeda dengan cara yang dilakukannya dahulu bersama Tuanku Nan Tuo.

Haji Miskin melanjutkan usaha pembaruan di Luhak Lima Puluh. Pada tahun 1811, ia berangkat ke ranah ini untuk menggugah ulama muda, Malin Putih di Air Tabik, untuk melakukan pembaruan. Ia berhasil baik. AiaTabit, suatu daerah subur di kaki Gunung Sago. Fakih Saghir datang ke daerah ini membantu Malin Putih yang kemudian bergelar Tuanku Nan Pahit. Mereka mendirikan sebuah benteng Bukit Kawi. Haji. Miskin pindah ke Mesjid Sungai Lundi di nagari Aia Tabik. khutbahnya berhasil menjadi sebab lahirnya rencana perubahan.

Pembaruan yang dilancarkan Haji Miskin di Aia Tabik bergema ke Halaban. Seorang ulama yang mengikuti ajaran baru ini ialah Tuanku Luak di Halaban.. Haji Miskin penyebar cita-cita dan ide pembaruan masyarakat Minangkabau yang  terhunjam kuat dalam hati setiap tuanku-tuanku atau ulama Muda di Tanah Minangkabau. Dalam suasana ribut Haji Miskin mati terbunuh dan dikuburkan di atas Bukit Kawi. (1830). Tuanku Haji Miskin dianggap seorang penebar benih pembaruan masyarakat Minangkabau. Hukum Islam melengkapi adat Minangkabau, seperti jual beli (an traddin), harta pencarian, hukum waris.

Palakat Panjang

Lalu dakwah ini disambut oleh ulama yang lain diseluruh alam Minangkabau, sampai dapat dilaksanakan dalam sebuah nagari dengan kesepakatan ahli agama dan ahli adat, sebagaimana yang terjadi dalam negeri Bonjol. Dibawah raja nan tiga sela yaitu, 1.Tuanku Imam 2.Datuk bandaharo 3.Datuk sati. Pada masa ini terdapat kesepakatan antara ulama dan kaum adat mengenai kedudukan masing-masing dalam masyarakat pada umumnya. Kesepakatan yang diakui tidak akan diubah sampai kiamat.
Isi dari kesepakatan itu antara lain:
Penghulu tetap menjadi raja, katanya didengar perintahnya diturut
Alim ulama menjadi suluh bendang dalam negeri, hidup tempat bertanya.
Adat yang tidak disukai agama akan dimasukkan kedalam tanah yang lekang, dihanyutkan ke hilir air.
Hukum yang harus (boleh-red) dalam agama, tetapi adat tidak mengizinkan, tidak akan dipakai. Seperti kawin sepersukuan dan sepayung.
Hukum adat yang disukai agama dinamakan hukum kawi, dan adat yang tidak disukai agama dinamakan adat jahiliyah.
Hukum agama yang telah diakui oleh adat akan menguatkannya, dinamakan syara yang lazim yaitu mazhab Syafii, umpamanya nikah berwali, anak seperintah bapak.
Alim ulama tidak berhak melakukan hukum , tetapi berhak memberikan keterangan pada penghulu.
Penghulu tidak berhak menjalankan hukum sebelum menerima penerangan dari alim ulama, yang dinamakan Minangkabau yang bermufti.

Menetapkan bunyi pepatah:
Syara mengata, adat memakai.
Minangkabau bertubuh adat berjiwa Syara’
Penghulu selaku juru batu dan alim ulama selaku kemudi
Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah

Biografi Tuanku Nan Renceh Penegak Syariat Islam di Ranah Minang

PANGLIMA kaum paderi yang tegas dan penuh wibawa. Berhasil melaksanakan pemurnian Islam ke setiap nagari di Ranah Minang, sampai-sampai kewajiban menunaikan shalat dikontrol sangat ketat
Kejayaan Islam di Ranah Minang (Sumatera Barat) pernah mencapai puncaknya ketika kaumpaderi (ulama) dipimpin oleh ‘Abdullah Tuanku Nan Renceh. Kekuasaannya menghunjam sampai lembaga pemerintahan nagari yang diberi hak otonom oleh Kerajaan Minangkabau. Kerajaan tersebut kala itu berpusat di Pagaruyung.
Pusat kekuasaan kaum paderi sendiri berada di teritorial Luhak (Kabupaten) Nan Tuo, yakni Luhak Agam, Tanah Datar, dan Luhak Nan Limopuluah Dikoto. Atau, seluas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Agam, Tanah Datar, dan Kabupaten 50 Kota sekarang.
Pada masa itu, kaum paderi benar-benar memegang kendali pemerintahan dan kemasyarakatan untuk mengamalkan syariat Islam. Kondisinya tak jauh berbeda ketika jazirah Arab bangkit dengan dakwah pemurnian yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).
Sejarah kelahiran pergerakan kaum paderi di Ranah Minang memang tak dapat dilepas dari pergerakan Dakwah Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab  di jazirah Arab. Pergerakannya berawal pada tahun 1802 ketika “Tiga Serangkai” pulang dari Makkah, yakni Haji Miskin dari Pandai Sikek (Pandai Sikat) Luhak Agam, Haji Muhammad Arief dari Sumanik, Luhak Tanah Datar (dikenal dengan Haji Sumanik), dan Haji Abdurrahman dari Piobang, Luhak Limopuluah Dikoto (dikenal dengan Haji Piobang). Ketiganya dikenal dengan sebutan Haji Nan Tigo. Mereka mendalami ajaran Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab  saat belajar di tanah suci Makkah hampir 10 tahun lamanya.
Panglima Paderi
‘Abdullah adalah putra dari Incik Rahmah, pemuka suku Koto Nagari Kamang Mudik, yang lahir di Jorong Bansa, Nagari Kamang Mudik, Luhak Agam, tahun 1762. Sejak kecil, Abdullah senantiasa giat memperdalam ilmu agama.
Ia merasa tidak cukup hanya belajar pada guru mengaji tingkat nagari sebagaimana tradisi anak muda seusianya kala itu. Abdullah melakukan terobosan dengan belajar di kampung lain, tepatnya di surau Tuanku Tuo di Cangkiang, Luhak Agam.
Tamat dari pendidikan model surau, ‘Abdullah masih belum merasa puas. Dia bukannya kambali ke kampung halaman, tetapi meneruskan perjalanan ke Ulakan, Padang Pariaman.
Hampir lima tahun menuntut ilmu, barulah ‘Abdullah kembali ke Jorong Bansa. Begitu sampai di kampung, ‘Abdullah mendengar kabar ada ulama besar di Pandai Sikek yang baru pulang dari Makkah. Namanya Haji Miskin. ‘Abdullah yang saat itu baru tiba di rumah langsung saja berangkat ke Pandai Sikek.
Sesampai di sana, betapa kecewanya ‘Abdullah karena Haji Miskin tak ditemukan. Dia lebih kecewa lagi ketika mengetahui bawa Haji Miskin yang baru pulang itu hanya sebentar berada di Pandai Sikek. Ternyata tokoh yang ia buru itu harus pergi lagi karena dakwahnya tak diterima oleh masyarakat kampungnya sendiri.
Bagi ‘Abdullah, kabar “diusirnya” Haji Miskin justru membuat penasaran. Pikirnya, kalaulah apa yang dibawa Haji Miskin tak terlalu istimewa, tentulah perlawanan dari orang kampung sendiri tidak sehebat itu.
Ternyata benar. Begitu ketemu Haji Miskin di tempat pengungsiannya, Nagari Ampek Angkek (Empat Angkat), Abdullah mendapat pelajaran tentang pemurnian gerakan Islam. Ajaran ini sama dengan yang digerakan dakwah Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab di jazirah Arab.
Haji Miskin memberikan pengajian secara berkesinambungan, dibantu oleh dua karibnya yakni Haji Piobang dan Haji Sumanik. Lalu, bergabung pula beberapa tokoh Islam lainnya, seperti Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Lintau, Tuanku Ladang Laweh (Ladang Luas), Tuanku Dikoto Padang Lua (Padang Luar), Tuanku Galung, Tuanku Dikoto Ambalau, dan Tuanku Dilubuk Aua (Lubuk Aur). Mereka masing-masing adalah ulama di kampungnya.
Para ulama itu kemudian berbai’at kepada Haji Miskin untuk melancarkan gerakan penegakan syariat Islam yang mereka beri nama gerakan kaum paderi. Mereka ini kemudian dikenal sebagai Dewan Pimpinan Paderi dengan julukan “Harimau Nan Salapan” (Harimau yang Delapan). ‘Abdullah ditunjuk sebagai pimpinan merangkap panglima perang dengan gelar Tuanku Nan Renceh Al-Mujaddid. Sementara Haji Miskin diangkat sebagai hakim.
Menurut Angga Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, gerakan Paderi pimpinan Nan Renceh adalah gerakan sistemik dengan angkatan perang yang mirip angkatan perang Turki. Memang, Nan Renceh beberapa kali mengirimkan beberapa prajurit terbaiknya untuk belajar bertempur di Kesultanan Turki.
Kala itu ilmu peperangan Kesultanan Turki sudah maju. Pasukan Jenitsar Cavalary Turki pernah menghalau dan menghancurkan tentara Napoleon Bonaparte. Di antara tentara paderi yang dikirim tersebut adalah Tuanku Kulawat. Ia malah sempat berperang bersama tentara Turki melawan tentara Napoleon tahun 1809 sampai 1812. Kemudian, Tuanku Gapuak (1809-183), Tuanku Rao (1812-1815), dan Tuanku Tambusai (1817-1821).
Perjuangan kaum paderi, seperti dicatat oleh Haji Piobang, memiliki tiga target fase. Pertama, jangka tujuh tahun sudah harus merebut seluruh pulau Andalas dan Semenanjung Malaya. Kedua, jangka tiga tahun kemudian sudah harus merebut kekuasaan di Pulau Jawa dan pulau-pulau kecil di timurnya. Ketiga, merebut seluruh tanah Jawi (Nusantara), kemudian bekerjasama dengan pasukan Dato’ Haji Onn. Pasukan yang terakhir ini kabarnya sudah berhasil merebut kekuasaan di Filipina Selatan, Kalimantan Utara, dan Kepulauan Sangihe.
Tegas Tegakkan Hukum Islam
Selama masa kepemimpinan ‘Abdullah Tuanku Nan Renceh (1762-1825), menurut sejarawan Ampera Salim, kaum paderi berhasil melaksanakan pemurnian Islam dan masuk ke setiap ruang lingkup pemerintahan nagari. Sampai-sampai kewajiban menunaikan shalat dalam kehidupan masyarakat setiap nagari dikontrol dengan sangat ketat.
Usai shalat Shubuh di surau-surau, Nan Renceh menurunkan Laskar Paderi keliling kampung. Mereka bertugas memeriksa batu tapakan yang sudah disediakan di setiap pintu masuk rumah penduduk. Apabila batu itu basah, diketahuilah bahwa penghuni rumah sudah melaksakan shalat Shubuh. Tapi bila tidak, penghuni rumah akan langsung diinterogasi.
Andai belum shalat karena tertidur, maka diperintahkan segera menunaikan shalat. Bila tiga kali didapati tidak juga menunaikan shalat–ditandai dengan batu tapakan yang tidak basah–maka penghuni rumah harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi bila kemudian terbukti meninggalkan shalat kembali, maka penghuni rumah harus meninggalkan nagari.
Nan Renceh juga berhasil membudayakan pakaian jubah putih bagi laki-laki dan kerudung bagi perempuan. Bagi mereka yang akan dipilih menjadi wali nagari (kepala pemeritahan nagari) harus mampu menjadi imam shalat berjamaah.
Hukum Islam yang ditegakkan kaum Paderi dalam masa kepemimpinan Nan Renceh sangat tegas dan berwibawa. Ampera Salim juga menyebutkan, pernah suatu kali etek (adik ibu/ayah) Nan Renceh sendiri tak mengindahkan aturan yang diberlakukan Pemerintah Negara Darul Islam Minangkabau. Dia enak saja meneruskan kebiasaan minum tuak dan menghisap candu.
Memang, orang dekat Nan Renceh, yakni Hassan Nasution, pernah menegur si etek agar menghentikan kebiasaannya. Tapi dia tetap menolak. Bahkan ketika ditawarkan agar diungsikan ke Kuantan, si etek tegas-tegas menolak.
Demi tegaknya wibawa hukum Islam, si etek divonis hukuman mati. Eksekusi dilakukan dengan pedang oleh Haji Idris dan Haji Hassan. Kejadian ini berlangsung dalam tatapan tenang seorang Tuanku Nan Renceh. Baginya, penegakan wibawa hukum Islam lebih peting daripada saudara sendiri yang mengingkarinya.
Kemauan Belajar Agama dan Semangat Berjuang Sangat Tinggi  
Diawali dengan mendidik agama para mualaf yang jumlahnya cukup banyak dengan sekaligus hapalan Al Qur’an,  tidak menjadi masalah bagi Tuanku Nan Renceh dan Datuk Bandari Ganggo yang sama alumni Universitas Islam Ulakan Pariaman yang  waktu itu beraliran Syiah. Walau kemudian Tuanku Nan Renceh dengan pengikutnya menjadi aliran Wahabi dengan Mazhab Hambali yang sekaligus menghilangkan popularitas Tuanku Nan Renceh di Minangkabau. Rupanya Tuanku Nan Renceh ini juga ahli dalam ilmu psychology, serta memahami naluri perang yang tinggi. Dalam rombongan besar yang ingin belajar di Markas Kamang tersebut ada beberapa calon panglima dan pemimpin kamu paderi yang akan muncul kemudian hari. Calon panglima yang dimaksud antara lain adalah Pongkinangolgolan Sinambela alias Tuanku Rao, Peto Syaris alias Tuanku Imam Bonjol (Pahlawan Nasional), Tuanku Tambusai dan lainnya. Dalam waktu singkat Tuanku Nan Renceh mempersiapkan  tentara Islam di bawah komando Umar Bin Chatab alias Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bonjol di bawah latihan khusus Jetnisar Cavalry Islam Haji Piobang dan Haji Miskin yang mendapat perlindungan khusus Tuanku Nan Renceh di Markas Kamang. Karena kedua Haji ini kurang disenangi oleh masyarakat kampung asal mereka, karena sikap yang radikal dalam pemurnian Islam dari kebiasaan jahiliyah ( Judi, Sabung Ayam , Minuman Tuak dan perbuatan lainnya ) yang menandakan masyarakat  yang relative baru menganut Islam. Dalam masa singkat sekitar 2 tahun.
Pada tahun 1806 Tuanku Rao diutus Tuanku Nan Renceh mendapat pendidikan lanjutan di Benteng Batusangkar dengan Tuanku Lintau. Di Benteng Batusangkar itulah Umar Bin Chatab alias Tuanku Rao di latih oleh Tuanku Lintau dan Zafrollah Aly (kemudian menjadi Tuanku Hitam). Dalam tahun 1807 Tuanku Rao dapat menamatkan pendidikan lanjutan Jatnisar Cavallry dengan predikat Summa  Cum Laude di benteng Batu Sangkar dan siap dinobatkan Tuanku Nan Renceh menjadi Panglima Paderi. 
Memang pintar Tuanku Nan Renceh dalam masa singkat sekitar 1804 – 1907 berhasil merekrut panglima panglima Perang seperti sebelumnya  Peto Syarif sebagai Tuanku Imam Bonjol diusia 36  tahun,  Ponkinanggolgolan sebagai Tuanku Rao di usia 24 tahun serta Hamonongan Harahap sebagai Tuanku Tambusan di usia 27 tahun . Kemudian ketiga panglima ini mendirikan benteng di Bonjol dan di Rao serta  di belahan utara. Kemudian tokoh tokoh tersebut lah yang menjalankan penegakan Islam diberbagai daerah di Minangkabau, Sumatera Utara dan Riau sekitarnya. 
Kebanggaan Minangkabau Yabg Terlupakan 
Kalau boleh kita membanding dengan era kini dengan arus globalisasi, maka tokoh tokoh zaman dahulu seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Piobang , Haji Sumanik dan Haji Miskin  cs. sebagai tokoh penggerah  pemurnian Islam Minangkabau kita juga  bisa menjadi  “ bangga“ (dalam tanda kutib ; kebanggaan akan keuletan penegakan Islam). Pada abad ke XVIII dan XIX tersebut para tokoh tokoh bangsa sudah terbuka dengan informasi dengan dunia luar. 
Apa yang terjadi dalam pergolakan Islam di Timur Tengah dan belahan dunia lain , telah menjadi bagian perjuangan di tanah air. Walau kemudian penjajahan  secara sistematisir berhasil mengadu domba antar aliran dalam masyarakat serta menghancurkan warisan dan semua bekas kejayaan masa lalu.  Melalui penjajahan yang di awali dengan perdagangan rempah rempah dengan menguasai daerah sentra tertentu berujung penjajahan etnis dan bangsa termasuk menghancurkan beberapa generasi selanjutnya dari berbagai bidang pendidikan, ekonomi, social dan termasuk aspek sejarah dan warisan budaya. Sehingga generasi kita belakangan menjadi tertutup akan pintu sejarah dan informasinya akan berbagai aspek masa silam yang positif termasuk asal usul dari nenek moyang mereka. Hal ini menjadi masalah dalam memotivasi generasi berikutnya dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana pengalaman penulis yang sulit mencari bahan informasi sejarah Tuanku nan renceh ditengah masyarakat, kecuali beberapa buku seperti Buku Tuanku Rao dan buku karangan lainnya.

Biografi Syekh Djamil Djambek


Rumah Kelahiran Bung HattaNama lengkapnya adalah Muhammad Djamil Djambek, putra Muhammad Saleh Datuk Maleka. Ia lahir pada pertengahan tahun 1860 M.

Ayahnya waktu itu dikenal sebagai penghulu besar di Guguk Panjang, Bukittinggi. Selain itu, ayahnya juga dikenal berwatak disiplin dalam mendidik anak dan kuat menjalankan agama.

Kepribadian sang ayah sangat kontras dengan Djamil kecil. Dalam buku Perjalanan 29 Ulama Besar Ranah Minang, yang ditulis Ahmad Rifa'i, diterangkan, Djamil muda lebih suka bermain dan berhura-hura.

Disuruh sekolah, malah berhenti. Akhirnya, ia berhenti total sekolah sebelum fasih membaca, menulis latin, apalagi mengaji. Inilah yang membuat Datuk Maleka malu jika si buah hati tidak bisa dididik.

Sejak saat itu, Djamil tidak lagi berada di bawah perhatian ayahnya. Perangainya menjadi-jadi. Suka berpetualang dan akhirnya terjerumus ke dunia hitam. Ia juga makin kenal dengan ilmu sihir hingga menjadi ahli tenung.

Tindakan itu menjadi kebiasaannya. Jika dalam sebuah permainan dirinya kalah, seperti judi, uang yang ada di dalam saku orang yang menang bisa berpindah kembali ke sakunya. Karenanya, yang menang pun akan tak memiliki uang tadi.

Beragam nasihat dari Datuk Maleka tidak diindahkan. Djamil muda enggan meninggalkan dunia hitam hingga memaksa sang ayah mengusirnya dari rumah. Perlakuan ayahnya ini justru diterima Djamil dengan senang hati.

Sejarah hidupnya di dunia hitam kian terang. Tindakan perampokan sering dilakukannya. Tak heran, bila akhirnya masyarakat menjulukinya dengan sebutan Si Jago karena kepandaian dalam merampok, berjudi, dan sebagainya.

Berubah
Namun, semua itu berubah tatkala ia mengalami peristiwa yang hampir merenggut jiwanya. Ketika itu, ia baru saja merampok rumah orang kaya, tetapi ketahuan oleh orang banyak. Ia dihadang dan dikepung oleh puluhan orang yang membawa senjata tajam. Puluhan sayatan dan tusukan mendera di sekujur tubuhnya yang membuatnya hampir tewas.

Dalam kondisi kritis, tiba-tiba seseorang berseru meminta massa menghentikan aksi mereka. Dialah Tuanku Kayo Mandiangin, seorang ulama terkenal yang sangat dihormati dan disegani di Bukittinggi. Massa akhirnya menuruti permintaan Tuanku.

Sejak saat itulah Djamil tertarik untuk belajar mengaji kepada beliau dan resmi diangkat menjadi murid Tuanku Kayo Mandiangin.

Saat menimba ilmu dari ulama ini, Djamil mengalami perubahan drastis pada dirinya. Bila dulunya ia dikenal sebagai jago rampok, jago judi, dan lainnya, setelah belajar ilmu agama dari Tuanku Kayo Mandiangin, Djamil dikenal sebagai anak yang cerdas. Semua ilmu agama yang diajarkan gurunya bisa diserapnya dengan cepat.

Tak hanya itu, untuk menambah pengetahuan agama, Ia pun disuruh untuk menimba ilmu kepada ulama lain. Tercatat di antaranya, ia pernah menuntut ilmu ke Pariaman di tempat Tuanku Mambang dan kemudian ke Batipuah Baruah, Padang Panjang, untuk mendalami ilmu fikih.

Ketika orang tuanya hendak pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Djamil memutuskan untuk ikut serta. Tak hanya naik haji, ia juga menyempatkan diri menuntut ilmu di Makkah kurang lebih selama 11 tahun di Madrasah Halaqah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Ahmad Taher Djalaluddin.

Ahli Falak
Dari kedua ulama ini, ia mempelajari berbagai macam ilmu agama. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalaminya, yang membuatnya terkenal adalah di bidang ilmu falak.

Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Makkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di Tanah Suci, Syekh Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari kampung halamannya yang belajar di Makkah. Di antara mereka adalah Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) dan Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).

Pada tahun 1903, ia kembali ke tanah air. Syekh Djamil Djambek mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat, yakni mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji.

Murid-murid sekaligus sahabat yang berguru kepada Syekh Djamil Djambek adalah Dr Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), dan Rahmah El-Yunusiyah (pendiri Diniyah Puteri Padang Panjang), serta ulama-ulama lainnya.
Dakwah melalui pidato
Kepandaian dan keahlian Syekh Djamil Djambek memang luas. Tak hanya bidang fikih dan ilmu falak, ia juga menguasai ilmu retorika atau pidato.

Menurut Akhria Nazwar dalam bukunya Syekh Ahmad Khatib, Muhammad Djamil Djambek adalah orang pertama yang mengajar dengan cara berpidato di muka umum, khususnya di Minangkabau.

Cara baru tersebut terbilang agak aneh, sebab cara pengajaran agama yang lazim dilakukan pada masa itu adalah dengan cara keterikatan pada kitab Jawi dan duduk melingkar (halaqah) bersama guru. Di samping, tradisi yang berlangsung saat itu adalah murid sengaja mendatangi guru ke surau.

Dibandingkan dengan pola pengajaran yang biasa digunakan pada masa itu, cara yang digunakan Syekh Djamil membuat para murid mudah untuk mempelajari dan memahami ilmu yang diajarkan.

Sebab, beliau memberi keterangan selengkap-lengkapnya saat berceramah, ditambah dengan pola dia yang justru mendatangi murid-muridnya ke kampung-kampung.

Pada tahun 1918, ia mendirikan surau di tengah sawah Bukittinggi. Di sinilah pusat pengajaran agama yang beliau dirikan bagi masyarakat Bukittinggi dan sekitarnya. Tak sedikit muridnya yang hadir di setiap pengajarannya.

Tak hanya masyarakat biasa, tokoh masyarakat dan terpandang saat itu juga turut belajar padanya. Di antara mereka ada yang berpangkat Tuanku, Labay, dan Fakih.

Materi yang diajarkan sangat beragam. Mulai dari telaah Alquran, ilmu falak, hingga ilmu pengetahuan umum. Terkait disiplin ilmu falak, Syekh Djamil pernah menyusun jadwal shalat dan imsakiyah Ramadhan.

Ia memadukan antara ilmu hisab dan rukyat. Jadwal shalat dan imsakiyah yang disusunnya ini diterbitkan pertama kali tahun 1911 atas nama sendiri, dan tak ada kesalahan dalam penghitungan atas almanak dan jadwal shalat itu.

Penyebaran dakwah lewat metode ceramah di muka umum tidak saja sebagai sarana utama, beliau juga mendirikan sebuah percetakan yang bernama Tsamaratul Ikhwan, pada tahun 1913. Percetakan ini khusus menerbitkan buku-buku kecil dan brosur-brosur tentang pelajaran agama untuk anggota, tanpa mencari keuntungan.

Semasa hidupnya, Syekh Djamil Djambek juga mempunyai peranan besar dalam membesarkan Muhammadiyah di Minangkabau, khususnya Bukittinggi. Bersama-sama dengan Abdul Karim Amrullah sebagai pelindung dan pemagar organaisasi Muhammadiyah, yang waktu itu masih berusia seumur jagung.

Bergabungnya Djamil Djambek, ulama yang sangat disegani di Minangkabau, membuat kaum muda pergerakan Islam kian bersemangat untuk melakukan pembaruan pemikiran dan pengembalian orisinalitas amal, sesuai yang diajarkan Rasulullah SAW.
Syekh Djamil Djambek wafat pada 30 Desember 1947, di Bukittinggi, dan dimakamkan di halaman sebuah surau di Pasar Bawah, tepatnya di seberang SMKN 2 Bukittinggi sekarang.
Pendidikan Islam ala Syekh Djamil Djambek
Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek tidak bisa dilepaskan dari sejarah sistem pendidikan Islam di Sumatra Barat.

Atas usahanya, pada tahun 1911, dilakukan usaha pendidikan terhadap masyarakat melalui tablig, pidato, dan khutbah. Ia menyadari bahwa tidak semua masyarakat Islam dapat masuk ke surau untuk belajar.

Terlebih lagi pada masa itu, pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam sangatlah minim. Ajaran Islam yang mereka praktikkan adalah sebagai hasil pengetahuan dari mulut ke mulut, tidak langsung mengambil dari sumbernya, yaitu Alquran. Akibatnya, banyak praktik agama yang dianggap bertentangan dengan Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW.

Menurut sejumlah sumber, penganut Islam yang seperti itu banyak terdapat di Sumatra Barat saat itu. Karenanya, kepada mereka itulah pendidikan Islam diajarkan oleh Syekh Djamil Djambek melalui tablig, pidato, dan khutbah.

Untuk melaksanakan ketiga hal ini, ia pergi mendatangi kampung sampai jauh ke daerah pedalaman Sumatra Barat. Di tempat tersebut, Syekh Djamil memberikan tablig dan pidato tentang ajaran Islam. Seperti cara berperilaku dan bergaul dalam kehidupan sehari-hari, melaksanakan rukun Islam dan rukun Iman, tidak mencampuradukkan antara yang halal dan haram, serta menjauhi segala yang dilarang Allah SWT.

Dan, melalui pidato dan tablig pula, Syekh Djamil Djambek melaksanakan pendidikan Islam dari luar jalur pendidikan formal. Sebab, wadah yang khusus untuk kegiatan itu memang belum ada. Usahanya ini mendapat perhatian dan dukungan dari tokoh Islam Sumatra Barat lainnya, dan mereka mengikuti jejaknya. Metode pendidikan luar sekolah yang diajarkan beliau ini pada akhirnya berkembang luas pada paruh pertama abad ke-20.

Politik
Selain dalam dunia pendidikan, semasa hidupnya Syek Djamil Djambek juga pernah terjun ke dunia politik. Keterlibatannya dalam dunia politik secara intens berawal dari diperkenalkannya kebijakan Goeroe Ordonantie.

Dalam makalah mengenai kehidupan Syekh Djamil Djambek, yang disusun oleh Tim Peneliti Fakultas Ilmu Budaya-Adab (FIBA) IAIN Padang, disebutkan bahwa Dr de Vries dari kantor Advisieur Inlandsche Zaken datang ke Minangkabau untuk menyusupkan kebijakan Goeroe Ordonantie ini.

Kebijakan ini dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru yang akan mengajar agama memiliki izin dari pemerintah. Kebijakan ini diberlakukan untuk mengawasi sistem pendidikan Islam di Indonesia. Peraturan ini sempat diubah pada tahun 1925 dengan hanya mewajibkan para guru agama memberitahu kepada pemerintah.
Misi yang dibawa Vries ini mendapat tantangan yang sangat keras dari tokoh-tokoh terkemuka Minangkabau masa itu, terutama dari kalangan ulama.

Orang terdepan dalam soal ini adalah H Abdul Karim Amrullah. Dalam hal ini, sikap ayah Buya Hamka ini berseberangan dengan Syekh Djamil Djambek yang dinilainya kurang berani menyatakan ketegasannya dalam menolak kebijakan tersebut.

Tentang sikap Syekh Djamil ini, lebih jauh Hamka menjelaskan, ''Kalau yang akan dibicarakan di surau beliau itu agak 'hangat', beliau akan 'demam' pada hari itu'' (Hamka, 1982).

Ketidaktegasan Syekh Muhammad Djamil Djambek menyikapi kebijakan Goeroe Ordonansi ini karena posisinya yang cukup dilematis. Sebab, dirinya memiliki hubungan yang cukup baik dengan pemerintah kolonial Belanda.

Lebih lanjut Hamka berkata, ''Lebih baik dan lebih untung baginya, sebab dia sakit di hari itu, sebab baginya serba sulit. Hubungannya dengan pemerintah Belanda amat baik. Dia beroleh bintang.”

Sikap yang ditunjukkan oleh Syekh Djamil ini bukanlah diartikan sebagai sikap 'mendua'. Akan tetapi merupakan taktik dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Sebagai seorang ulama yang berpengaruh pada masa itu, setidaknya melalui Syekh Djamil akan tercipta komunikasi dengan pihak pemerintah kolonial Belanda.

Di tengah gejolak semangat pembaruan Islam pada bidang pendidikan, dan saat perhatian ulama terfokus untuk membenahi lembaga pendidikan, Syekh Djamil mengambil konsep lain dalam bidang ini. Ia ingin menunjukkan bahwa semua orang berhak mendapatkan pendidikan tanpa terbatas pada tempat dan usia.

Selain itu, ia memiliki konsep pendidikan yang dijalankan dalam bentuk dakwah, tablig, dan ceramah. Konsep ini menurutnya merupakan cara yang tepat untuk pemerataan pendidikan agama terhadap masyarakat untuk semua tingkatan. Mulai dari yang tidak tahu tulis baca, hingga kepada kalangan masyarakat berpendidikan dan juga dari berbagai tingkatan sosial ekonomi.

Konsep pendidikan agama Syek Djamil Djambek ini merupakan suatu alternatif terbaik, setidaknya bagi masyarakat lokal hingga sekarang. Hal ini, bisa dilihat dari perkembangan terakhir, walaupun di daerah ini lembaga-lembaga pendidikan telah berkembang dengan baik, namun sistem pengajian dan ceramah model Syekh Djamil ini tetap bertahan.

Biografi KH.Sirajuddin Abbas-Santri Mekkah

 KH.Sirajuddin Abbas lahir di kampung Bengkawas, Kabupaten Agam, Bukit tinggi, Sumatra barat, pada tanggal 20 Mei 1905. Sebagai anak laki-laki sulung Syekh Abbas bin Abdi Wahab bin Abdul Hakim Ladang lawas, seorang qadhi, ibu beliau bernama Ramalat binti Jai Bengkawas. Beliau dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat. Pada mulanya beliau belajar Al quran pada ibu hingga berusia 13 tahun. Setelah itu beliau belajar kitab-kitab arab pada ayah beliau selama tiga tahun. Selama enam tahun berikutnya, beliau belajar kepada para ulama di Bukittinggi dan sekitarnya. Seperti syekh Husen Pekan Senayan Kabupaten Agam, Tuanku Imran limbukan Payakumbuh limapuluh kota, Syekh H.Qasem Simabur Batu Sangkar Tanah Datar, Syekh Muhammad Zein di Simabua, Batu Sangkar, Syekh H.Abdul Malik di Gobah, ladang Laweh. Tahun 1927 beliau belajar di tanah suci. Disana beliau berguru kepada beberapa ulama di Masjidil haram seperti :
1. Syekh Muhammad Said Yamani (mufti Mazhab Syafii) mempelajari ilmu fiqh dalam mazhab Syafii dari kitab Al Mahally
2. Syekh Husen Al Hanafi (mufti mazhab Hanafi) mempelajari ilmu hadis dari kitab Shahih Bukhary.
3. Syekh Ali Al maliki (mufti mazhab maliki) mempelajari ilmu usul fiqh dari kitab Al furuq
4. Syekh Umar hamdan, darinya beliau mempelajari kitab Al Muwatha` karangan Imam Malik.
Beliau tinggal disana sampai tahun 1933. Tahun 1930 beliau diangkat menjadi staf sekretariat pada konsultan Nedherland di Arab Saudi. Pengetahuan agamanya yang sangat luas dan penguasaannya terhadap bahasa arab yang fasih mengantarkannya kejenjang nasional dan internasional di ranah politik perjuangan bangsa Indonesia. Sekembali dari Makkah tahun 1933 beliau mengambil dan menerima macam-macam ilmu pengetahuan agama dari syekh Sulaiman Ar rasuli Canduang Bukittinggi. Selain itu beliau juga belajar bahasa inggris kepada seorang guru yang berasal dari Tapanuli yaitu Ali Basya. Tiga tahun pertama di kampung ia dikenal sebagai muballigh muda yang potensial sehingga menarik minat para ulama senior yang bergabung dalam persatuan Tarbiyah Indonesia, organisasi keagamaan satu satunya yang ada di Bukitinggi.
Ketika berlangsung kongres ketiga organisasi tersebut di Bukit tinggi tahun 1936 tak ayal lagi beliau pun terpilih sebagai ketua umum Tarbiyah. Ternyata pilihan itu tidak salah, ditangan beliau Tarbiyah kian berkembang. Dan yang lebih penting mulai merambah bidang politik. Tahun 1940 Tarbiyah mulai mengajukan usul kepada pemerintah colonial agar Indonesia bisa berparlemen. Usul tersebut diajukan melalui komisi Visman yang dibuka pemerintah kolonial untuk menjaring suara-suara kalangan bawah.
Sepak terjang beliau mulai didengar oleh Bung karno. Pada saat ia ditahan oleh pemerintah Kolonial di Bengkulu dan dipersiapkan untuk dibuang ke Australia (1942). Namun entah mengapa, kapal yang digunakan untuk membawa Bung Karno terbakar. Bung Karno memanfaatkan sistuasi tersebut untuk melarikan diri hingga sampai ke Muko-muko. Dari Muko-muko ia melarikan diri ke Bukit tinggi dengan menggunakan sepeda motor yang diberikan seorang penduduk yang simpati padanya. Di Bukit tinggi ia segera menemui KH.Sirajuddin Abbas. Tentu saja KH.Sirajuddin kaget, tidak menduga akan kedatangan tokoh yang namanya sedang meroket ditengah tengah masyarakat kala itu. Bung Karno berpesan pada KH Sirajuddin Abbas agar Tarbiyah lebih berhati-hati karena Jepang akan menjajah Indonesia.” Jepang lebih berbahaya dari pada Belanda. ” 12.000 personel Lasmi
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang dibacakan Bung Karno segera sampai ketelinga KH.Sirajuddin lewat radiao bawah tanah. Segera saja ia menyebarkan berita tersebut lewat selebaran setensilan hingga ke Pekanbaru.” Indonesia sudah merdeka, kita sudah berdaulat. Mari kita berjuang mempertahankan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan.” Tulisnya dalam selebaran itu. Pada saat wakil presiden Mohd.Hatta mengeluarkan Maklumat No.X/1945 pada bulan November, yang isinya mendorong agar rakyat bergabung dalam partai politik dan dianjurkan membentuk partai politik demi tegaknya demokrasi. Hal ini mendorong KH.Sirajuddin untuk membuat partai yang berbasis Tarbiyah. Maka ia sebagai ketua Tarbiyah segera meminta izin kepada para pendiri dan sesepuh untuk mewujudkan niat beliau tersebut. Gayung bersambut, mereka setuju. Dengan catatan jangan meninggalkan tugas pokok yaitu pendidikan, dakwah, kegiatan social keagamaan dan keummatan.
Maka pada bulan Desember tahun 1945 ketika berlangsung kongres Tarbiyah keempat di Bungkit tinggi, diputuskan bahwa Persatuan Tarbiyah Islamiyah membuat satu partai dengan nama Partai Islam Tarbiyah Islamiyah disingkat PI Perti dan mengangkat KH.Sirajuddin sebagai ketua umumnya. Sejak itulah kiprah beliau dibidang politik kian terbuka lebar. Badan Legislatif pun memberinya tempat. Mulai dari DPRD,DPR RIS, DPRS, dan DPR GR.
Hal ini memaksa beliau hijrah ke Jakarta pada tahun 1950. Di Bukit tinggi beliau meninggalkan Lasykar Muslimin dan Muslimat Indonesia (Lasmi) yang digagasnya pada tahun 1948 guna memobilisir kekutan rakyat Sumatra barat untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia. Bahkan peresmianya dilakukan oleh Muhd.Nasir, seorang tokoh nasional yang berasal dari Sumatra barat yang kala itu menjabat sebagai mentri penerangan. Maka pada ketika Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk oleh Syafruddin Prawiranegara di Padang lantaran presiden dan wakil presiden telah ditangkap, Perti pun ikut mendukung dengan mengerahkan kekuatan Lasmi yang beranggotakan 12.000 personel, untuk mengamankan dan melindungi kegiatan PDRI yang harus mobile karena kejaran Belanda. Ketika Komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk, maka beliau pun tercatat sebagai salah satu anggotanya.
Isu palestina
Tahun 1951 tersebar isu bahwa kaum Zionis yahudi mengusir raykyat Palestina dari negerinya. KH.Sirajuddin Abbas sebagi anggota mengangkat isu tersebut kepermukaan, karena sejauh itu pemerintah tidak mengeluarkan statemen atau komentar apapun. “Partai Islam Perti mendukung perjuangan rakyat palestina”. Orasinya di depan sidang parlemen. “rakyat Indonesia dan pemerintah Indonesia sebaiknya juga mendukung perjuangan rakyat palestina”. Esoknya, hal itu menjadi berita utama di Koran Koran ibukota.
Seminggu kemudian para ulama mendatangi beliau dan menyatakan simpatinya kepada Partai Islam Perti, sehingga partai yang belum lama hijrah keibukota ini menjadi dikenal oleh masyarakat luas. Sekian lama hidup di tanah Arab memberi wawasan tentang palestina dan perjuangan rakyatnya dari ancaman kaum yahudi. Maka begitu terbetik berita pengusiran penduduk palestina oleh kaum yahudi, beliau memanfaatkan moment tersebut untuk membuka mata bangsa Indonesia terhadap perjuangan rakyat palestina. Sejak pidato itu ia mendapat simpati dari kalangan para ulama dan media selalu menyediakan halamannya untuk menampung berita tentang Palestina.
Berkahnya, PI Perti berkembang pesat di pulau jawa. Sehingga pada pemilu tahun 1955 PI Perti menduduki tempat kedelapan dari seluruh partai yang ikut pemilu.
Sebelumnya, pada tahun 1954 KH.sirajuddin diangkat menjadi mentri kesejahteraan rakyat kabinet Ali sastroamijojo I. Beliaulah yang menyampaikan gagasan kepada presiden Soekarno untuk menggelar Organisasi setiakawan rakyat Asia Afrika (OSRA). Bung Karno yang ketika itu sedang bersemangat dengan ide-ide menjungkalkan imperialisme dan kolonialisme menyambut baik ide tersebut dan memberikan fasilitas. Sebagai pemakarsa beliau ditugasi untuk menghubungi dan mencari dukungan Negara-negara di Afrika. Pada kesempatan inilah beliau berkenalan dengan Anwar sadat yang pada saat itu menjabat sebagai ketua organisasi buruh Mesir. Maka pada bulan September tahun 1954 diadakanlah Konferensi OSRAA di Bandung dan terpilih sebagai ketua umum utusan dari Mesir.
Pada tahun 1958 beliau kembali meraih peluang emas. Kala itu, karena kehadiran Pemerintah revosional republic Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan oleh Ahmad Husen di Padang. Menyadari bahwa PRRI menempatkan dirinya bersebrangan dengan pemerintah maka beliaupun menegaskan kepada presiden bahwa PI perti tidak setuju dengan PRRI. Ketika Ahmad Yani ditunjuk untuk menumpas PRRI ia meminta nasehat Kh.Sirajuddin agar sesampainya di Padang supaya menemui Buya Sulaiman Ar Rasuli, ulama yang sangat dihormati masyarakat Sumatra barat.
Berbekal saran dari ulama senior tersebut Ahmad Yani berhasil melaksanakan tugasnya. Tahun 1959 tersiar berita bahwa belanda mengirim kapal induk karel Doorman keindonesia untuk membantu mempertahankan Irian barat. untuk bisa mencapai Indonesia dalam waktu singkat kapal itu harus melewati terusan suez di Mesir. Untuk mengantisipasi hal itu Presiden Sukarno mengutus KH Sirajuddin Abbas ke Mesir untuk membicarakan hal itu dengan presiden Gamal Abdul Naser agar melarang Belanda melewati terusan Suez. Setibanya di Mesir beliau langsung menemui kawan lamanya Anwar sadat yang menjadi pemimpin organisasi buruh. Namun Anwar Sadat tidak dapat memberikan jalan. Namun ian mempersilahkan KH Sirajuddin untuk membicarakannya dengan Presiden Gamal Abdul Naser, untuk menemui sang kepala Negara Annwar dapat mengusahakannya. Namun ternyata presiden Gamal Abdul Naser juga tidak dapat memberikan solusi. Masalahnya,kata presiden, terusan Suez berada dalam zone internasional. Yang bisa melarang kapal asing untuyk melewati terusan tersebut hanyalah para buruh di Suez yang bermarkas di Port Said. Dengan nada pesimis KH Sirajuddin mengutarakan hal tersebut kepada Anwar Sadat.
Ternyata Anwar justru melihat celah yang sangat baik dengan ide presidennya itu. Ia mendukung saran tersebut dan ikut menbantu merealisasikannya. Singkat cerita KH.Sirajuddin dapat bertemu dengan pemimpin organisasi buruh pelabuhan dan terusan itu dan dapat menyampaikan tugas yang beliau emban. Dihadapan buruh Terusan Suez beliau berpidato meminta dukungan agar mereka melarang lewatnya kapal induk Kareel Doorman yang akan berlayar menuju Indonesia melalui terusan tersebut. ‘’Indonesia sedang berjuang mengembalikan Irian Barat dari tangan penjajah belanda “ kata KH.Sirajuddin deang bahasa arab nyang fasih. “apalagi Karel Doorman bisa sampai ke Indonesia dalam waktu singkat, perjuangan bangsa Indonesia menjadi berat. “Sebagai Negara yang bersahabat, apalagi Mesir merupakan Negara yang pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, bantuan yang diharapakan kali ini akan bermakna positif bagi perjuangan bangsa Indonesia”. Demikian orasi kiai asal Bukit Tinggi itu dengan semangat tinggi. Ternyata sambutan mereka sangat positif, maka Karel Doorman pun dilarang melewati terusan tersebut.
Dengan adanya sikap kaum buruh terusan suez itu, Presiden Gamal Abdul Naser tanpa berpikir panjang lagi segera memberikan dukungan.

Tahun penuh fitnah.
Semakin tinggi satu pohon semakin kencang angina yang menerpanya. Ibarat itulah yang tepat untuk menggambarkan kondisi KH.Sirajuddin Abbas pada sekitar tahun 1965. Ketika dewan revolusi yang memotori kudeta G 30 S, memperkenalkan diri melalui corong RRI, nama KH.Sirajuddin tercantum sebagai anggota. Padahal kala itu beliau sedang berobat dirumah sakit Soci, ditepi laut Hitam yang masuk dalam wilayah Uni Sovyet. Kehadiran beliau di negri tersebut adalah atas bantuan Anwar Sadat. Kala itu persahabatan Mesir dengan Uni Sovyet sedang erat-eratnya, begitu pula dengan Indonesia. Alhasil beliaupun dicap sebagi PKI. Bantahan yang dikeluarkan oleh Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Germahi) yang merupakan organisasi sayap mahasiswa PERTI, bahwa KH.Sirajuddin Abbas tidak tahu menahu tentang hal tersebut nyaris tidak berfaedah, karena tertelan oleh hiruk piruk Nasakom yang sedang dikibarkan oleh Bung Karno. Fitnah berikutnya adalah adanya “Dokumen Cianjur” yang menyebutkan bahwa bila terjadi clash antara ABRI dengan PKI maka seluruh jajaran PERTI harus membantu PKI. Akibatnya KH.Sirajuddin diciduk dan ditahan di markas Kodam V Jaya selama 40 hari. Tidak hanya itu juga ditemukan seribu setel pakaian loreng dan uang sekian puluh juta rupiah dirumah Sofyan siraj (anak sulung KH.Sirajuddin) di Jln.Dempo, Matraman. Sama seperti yang ditemukan di rumah D.N Aidit, ketua umum PKI. Penemuan ini dianggap sebagai petunjuk adanya kerjasama antara KH.Sirajuddin dengan Aidit. Meski kemudian dapat dibuktiakn bahwa dokumen Cianjur itu palsu dan nama baik KH.Sirajuddin direhabilitasi oleh pemerintah yang ditandatangani oleh Amir Mahmud (Laksuda Jaya), kurang begitu berpengaruh, karena koran-koran tidak ada yang bersedia memuatnya. Tudingan miring itu melekat pada beliau hingga ketika buku beliau yang berjudul I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah terbit muncul komentar “ ini orang PKI kok menulis buku agama”. Dalam kasus Dokumen Cianjur, dua orang pengurus PERTI cabang Cianjur Zainuddin dan Yaqub juga kena getahnya. Kepada interrogator Laksusda setempat kedua bersikukuh bahwa dokumen itu palsu dan bersedia ditembak untuk mempertahankan pendiriannya. Mereka minta agar sebelum dieksekusi mereka diizinkan mengumandangkan azan dan tembakan itu tepat dilepaskan ketika sampai pada kalimat “Hayya `alal falah”. Namun ketika azan selesai mereka berdua mersakan suasana yang hening dan sunyi. Beberapa detik kemudian ketika mereka memberanikan diri mereka membuka penutup mata, ternyata para penembvak itu telah pingsan, SubhanALLAH Mereka kemudian melarikan diri kearah Cianjur dan ketika sampai dikantor PERTI, hal itu mereka utarakan kepada KH.Sirajuddin. “ Masya ALLAh, semoga Allah memberkahi kalian berdua”, Komentar KH.Sirajuddin. Tahun 1965 merupakan batas kiprah beliau memimpin PERI. Atas saran anak – anak muda PERTI, Buya Siraj, begitu beliau akrab dipanggil, lebih mencurahkan perhatian beliau dalam penulisan-penulisan buku agama. Anak-anak muda Perti yang merasa kuarang memahami soal Ahlussunnah waljamaah meminta beliau untu menulis sebuah buku yang bias menjadi pegangan bagi mereka. KH. Sirajuddin Abbas yang kala itu sudah berumur 60 tahun memenuhi permintaan itu. Dua tahun kemudian terbitlah buku I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah dan sejarah Keagungan Mazhab Imam Syafii. Untuk modal menerbitkan buku tersebut beliau rela menjual rumahnya di Jln.Dempo, dan pindah ke Jln.Tebet Barat kecil. Ternyata buklu tersebut laris manis. Departemen agama pun memesan untuk keperluan IAIN. Walau demikian sebagian besar justru beliau bagikan secara gratis. NU menjadikan buku itu senbagi pedoman. Beberapa tahun kemudian terbitlah buku 40 masalah agama sebanyak 4 jilid besar. Untuk kali ini beliau pun rela menjual rumahnya untuk modal penerbitan buku tersebut. Retakhir beliau menempati rumah di Jln.Melati Utara (kini Tebet Barat). Buya Siraj wafat tanggal 23 ramadhan 1400 H atau 5 agustus 1980 setelah beberapa hari dirawat di RS Cipto Mangunkusumo lantaran serangan jantung. Saat pemakaman tampak perhatian warga Tarbiyah begitu besar. Jasad beliau dimakamkan dipemakman Tanah Kusir Jakarta Selatan Hadir pula wakil presiden Adam Malik. Beliau meninggalkan seorang istri dan dua anak Sofyan (almarhum) dan Fuadi. Selain sebagi kutua umum Tarbiyah beliau juga merupakan pendiri organisasi politi “Liga Muslim Indonesia” bersama sama KH.Wahid Hasyem (wakil dari NU), Abikusno Cokrosuyono (wakil dari PSII). Beliau banyak meninggalkan tulisan diantaranya: 1. I`tiqad Ahlussunnah wal jamaah. Sebuah buku yang berisi tentang faham Ahlussunnah dan beberapa firqah-firqah lainnya. 2. 40 Masalah Agama Sebuah buku yang terdiri dari empat jilid menjelaskan 40 macam masalah agama yang sedang berkembang dewasa itu. Dalam buku ini beliau juga menerangkan tentang gerakan modernisasi agama oleh orang-orang yang ingin memperbarui Islam dengan paham mereka. Beberapa tokoh yang beliau masukkan kedalam golongan ini antara lain Ibnu Taymiyah, Muhammad Abduh, Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri wahaby), Mirza Ghulam Ahmad, Mustafa kemal At Taruk dan juga presiden RI pertama Soekarno. 3. Kumpulan soal-jawab keaagamaan (sebuah buku berisi jawaban-jawaban dari beberapa pertanyaan seputar agama) 4. Thabaqatusy Syafi`iyah (Ulama Syafii dan kitabnya dari abad kea bad) 5. kitab fiqh ringkas 6. Sorotan atas terjemahan Al Quran oleh HB.Jassin 7. Sirajur Munir (Fiqh 2 jilid) 8. Bidayatul Balaghah (Bayan) 9. Khulasah Tarikh Islam 10. Ilmul Insya` 1jilid 11. Sirajul bayan fi Fahrasatil Ayatil Al quran 12. Ilmun Nafs 1 jilid Tulisan beliau no 7-12 adalah karangan beliau dalam bahasa arab. Ditulis oleh Mursyid A.Rahman Aly Langsa dikutip dari majalah Al kisah No.19/tahunVI/8-21 september 2008 dan sumber lainnya.

Biografi Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy – Hujjatul islam dari Ranah Minang

Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi – Imam dan khatib Masjid al-Haram Mekah -, Pelopor Gerakan Pembaruan di Minangkabau dan Tanah jawi (Nusantara)
Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).[1]
Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M) dalam catatan lainnya beliau dilahirkan pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Setelah berada di Mekah barulah beliau mendapat pendidikan agama yang mendalam daripada ulama Mekah terutama Sayid Bakri Syatha, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki dan lain-lain. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi – Imam dan khatib Masjid al-Haram Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.
Dalam penelitian yang dilakukan, didapati Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy adalah seorang ulama yang paling banyak melakukan polemik dalam pelbagai bidang. Sebagai catatan ringkas di antaranya ialah polemik dengan golongan pemegang adat Minangkabau, terutama tentang hukum pusaka.
Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.
Sehubungan ini, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy sangat menentang ajaran Kristian terutama tentang `triniti’. Dalam permasalahan mendirikan masjid untuk solat Jumaat, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy berkontroversi dengan Sayid Utsman (Mufti Betawi) dan beberapa ulama yang berasal dari Palembang dan ulama-ulama Betawi lainnya.
Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.
Polemik yang paling hebat dan kesan yang berkesinambungan ialah pandangannya tentang Thariqat Naqsyabandiyah. Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy telah disanggah oleh ramai ulama Minangkabau sendiri terutama oleh seorang ulama besar, sahabatnya. Beliau ialah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau.
Sehubungan dengan sanggahannya terhadap thariqat Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menyanggah pula teori `Martabat Tujuh’ yang berasal daripada Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanfuri.
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab Syafie dalam fikah dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut Mazhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah.
Sebagai contoh, dalam pertikaian dua orang muridnya yang berbeda pendapat. Yang seorang berpihak kepada `Kaum Tua’, beliau ialah Syeikh Hasan Ma’sum (1301 H/1884 M-1355 H/1974 M) yang berasal dari Deli, Sumatera Utara. Dan seorang lagi berpihak kepada `Kaum Muda’, beliau ialah Haji Abdul Karim Amrullah (ayah kepada Prof. Dr. Hamka
).
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau berpihak kepada Syeikh Hasan Ma’sum (Kaum Tua). Bahkan dalam satu kenyataannya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menolak sumber asal pegangan Haji Abdul Karim Amrullah (Kaum Muda) yang menurut beliau telah terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328 M), yang ditolak oleh golongan yang berpegang dengan mazhab.
Menyanggah Aliran Thariqat
Sungguhpun Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau sangat terkenal menyanggah thariqat, namun dalam penelitian saya didapati bahawa yang beliau sanggah ialah beberapa perkara yang terdapat dalam Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Belum ditemui sanggahannya terhadap thariqat yang lain seumpama Thariqat Syathariyah, Thariqat Qadiriyah, Thariqat Ahmadiyah dan lainnya.
Mengenai Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, catatan sejarah yang diperoleh ternyata Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau yang mendahului pertikaian. Mengenainya dimulai sepucuk surat yang menanyakan kepadanya, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau pun menulis:
“Maka adalah pada tahun 1324 daripada hijrah Nabi kita alaihis shalatu was salam datang kepada yang faqir Ahmad Khathib bin Abdul Lathif, Imam Syafie di Mekah, satu masalah dari negeri Jawi menyatakan beberapa ehwal yang terpakai pada Thariqat Naqsyabandiyah pada masa kita ini. Adakah baginya asal pada syariat Nabi kita ? Atau tiada ? Kerana telah bersalah-salahan orang kita Jawi padanya. Maka hamba lihat, menjawab soal ini ialah terlampau masyaqqah atas hamba, kerana pekerjaan itu telah menjadi pakaian pada negeri hamba hingga menyangka mereka itu akan bahawasanya segala itu thariqat Nabi kita. Dan orang yang mungkir akan dia ialah memungkiri akan agama Islam. Padahal sangka itu adalah tersalah, tiada muthabaqah dengan waqi’…”
Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menuangkan sanggahan terhadap thariqat. Beliau menulis dalam kitab yang berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulis pada malam Ahad, 4 Rabiulakhir 1324 H/1906 M.
Kitab tersebut telah mengundang kemarahan seluruh penganut Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut tasawuf daripada pelbagai thariqat yang lainnya. Akibatnya, Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka menanggapi karangan tersebut dengan mengarang sebuah kitab berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang beliau selesaikan pada akhir bulan Muharam tahun 1325 H/1907 M.
Kemunculan kitab Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin itu hanya beberapa bulan saja mendahului kitab Mir-atul A-’ajib karya Syeikh Ahmad al-Fathani menjawab pertanyaan Sultan Kelantan, iaitu sama-sama dikarang dalam tahun 1324 H/1906 M.
Syeikh Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka itu tidak membantah karya gurunya Syeikh Ahmad al-Fathani, tetapi secara serius karya Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau dipandang sangat perlu ditanggapi dan beliau membantah dengan hujah-hujah berdasarkan al-Quran, hadis dan pandangan para ulama shufiyah.
Dengan terbitnya kitab Irghamu Unufi Muti’annitin oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’dhil Muta’ashshibin.
Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka dengan karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Ba’dhil Anam. Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau.
Dari peristiwa ini, kita mendapat pelajaran besar bahwa para ulama ‘tanah jawi’ di kawasan Nusantara dan tanah Semenanjung Malaysia, juga ulama Minangkabau, telah terbiasa dengan polemik pemikiran, namun polemik selalu di dalam kawasan intelektual yang melahirkan buku buku dan tulisan yang berharga, tidak semata bertengkar atau bersitegang urat leher.
Karya Besar Ahmad Khatib al Minangkabawy
Karya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau yang telah ditemui hanya 17 judul. Ada yang ditulis dengan bahasa Arab dan ada juga dengan bahasa Melayu. Kerana kekurangan ruangan, yang dapat disenaraikan dalam artikel ini hanya lapan judul iaitu:
1. Al-Jauharun Naqiyah fil A’mali Jaibiyah (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Isnin, 28 Zulhijjah 1303 H. Kandungannya membicarakan ilmu miqat. Dicetak oleh Mathba’ah al- Maimuniyah, Mesir, Rejab 1309 H.
2. Hasyiyatun Nafahat `ala Syarhil Waraqat (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Khamis, 20 Ramadan 1306 H. Kandungannya mengenai ilmu ushul fiqh. Dicetak oleh Mathba’ah Darul Kutub al-’Arabiyah al-Kubra, Mesir, 1332 H.
3. Raudhatul Hussab fi A’mali `Ilmil Hisab (bahasa Arab), diselesaikan peringkat pertama hari pada Ahad, 19 Zulkaedah 1307 H di Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba’ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1310 H.
4. Ad-Da’il Masmu’ fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma’a Wujudil Ushl wal Furu’ (bahasa Melayu). Diselesaikan pada 14 Muharam 1309 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba’ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul Al-Manhajul Masyru’ Tarjamah Kitab Ad-Da’il Masmu’ (bahasa Melayu).
5. `Alamul Hussab fi `Ilmil Hisab (bahasa Melayu), diselesaikan pada 6 Jamadilakhir 1310 H. di Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba’ah al-’Amirah al-Miriyah, Mekah, akhir Zulkaedah 1313 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul An-Nukhbatun Nahiyah Tarjamah Khulashatil Jawahirin Naqiyah fil A’malil Jabiyah (bahasa Melayu), selesai mengarang pada malam Sabtu, 6 Jamadilakhir 1313 H.
6. Al-Manhajul Masyru’ Tarjamah Kitab Ad-Da’il Masmu’ (bahasa Melayu), diselesaikan pada hari Khamis, 26 Jamadilawal 1311 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba’ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul Ad-Da’il Masmu’ fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma’a Wujudil Ushul wal Furu’.
7. Dhau-us Siraj (bahasa Melayu), diselesaikan pada malam 27 Rabiulakhir 1312 H. di Mekah. Kandungannya membicarakan Isra dan Mikraj. Dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1325 H.
8. Shulhul Jama’atain bi Jawazi Ta’addudil Jum’atain (bahasa Arab), diselesaikan pada malam Selasa, 15 Rejab 1312 H. di Mekah. Kandungannya membicarakan Jumaat, merupakan sanggahan sebuah karya Habib `Utsman Betawi. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1312 H.
Hanya delapan judul yang dapat dimuat dalam artikel ini, judul-judul yang lain dapat dirujuk dalam buku Katalog Besar Persuratan Melayu.
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.
PERANAN ulama yang berasal dari dunia Melayu di Masjid al-Haram Mekah sudah berjalan begitu lama dan bersambung daripada satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai contoh ulama dunia Melayu yang pernah menjadi imam dan khatib dalam Mazhab Syafie di Masjid al-Haram Mekah yang dapat diketahui ada tiga orang, iaitu Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Lebih kurang seratus tahun kemudian ialah Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M) dan Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Kudus (lahir 1277 H/1860 M, riwayat lain dinyatakan lahir 1280 H/1863 M, wafat 1334 H/1915 M). Ketiga-tiga ulama yang tersebut sangat terkenal dalam pelbagai bidang yang mereka tekuni.
Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam.
Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.
Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah. Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu.
Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947)[2], Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) [3], dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933)[4].
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo.
Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya.
Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau.
Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908. Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah. Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir.
Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.
Gerakan pembaruaan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga.
Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau.
Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau.
Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu. Malahan, gerakan pembaharuan yang dilaksanakan oleh mereka, sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu, harta pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada pengawasan garis perempuan.
Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada Tuanku atau malin. Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini, berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah semenjanjung Malaysia itu.
Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai.
Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi wajib.
Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai bermunculan.
Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia.
Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini. Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat. Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan.
Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks, memang merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq.
Catatan Kaki
[1] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38
[2] Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil Djambek meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.
[3] Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7 tahun. Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo. Kemudian kembali bermukim di Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung terpenting dari pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di jakarta 2 Juni 1945
[4] Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad, seorang ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut pejuang Sentot Ali Basyah.