Minggu, 26 Februari 2012

PEMIKIR ANTI HADITS

Biografi Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Székesfehérvar, Hungaria pada tanggal 22 Juni 1850. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel "asli" dalam bahasa Ibrani. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari Talmud pada saat berusia delapan tahun. Dalam usianya yang ke dua belas, ia seorang siswa sekolah yang telah memulai membuat karya tulisnya yang pertama tentang nenek moyang Yahudi serta pengelompokannya. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun, Universitas Budapest menjadi pilihannya setelah ia lulus dari sekolah, untuk mempelajari sastra Yunani dan Romawi kuno, bahasa-bahasa Asia, temasuk bahasa Turki dan Persia. 
            Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913),seorang pakar tentang Turki. Arminius Vambery lah yang banyak mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Arminius Vambery adalah keturunan Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian Negara Israel di Palestina.
Setelah menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher melanjutkan studinya di Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor dari universitas tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya setelah dibimbing selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman terkemuka. Setelah dari Leipzig, Goldziher melanjutkan penelitiannya di Universitas Leiden, Belanda, selama setahun. Selanjutnya, pada usianya yang ke-21, ia pulang ke kampung halamannya dan menjadi dosen privat (Privatdozent) di Universitas Budapest, Hunagria. Dosen privat pada saat itu adalah sebuah jabatan yang dianugerahkan kepada para intelektual muda sebagai sebuah keistimewaan untuk mengajar di universitas, namun tanpa gaji. Saat yang sama, Goldziher juga dipilih sebagai anggota " Akademi Sains Hungaria," sebuah penghargaan yang diberikan pada dirinya.
Sebagai "adat" para orientalis untuk mengunjungi dan menetap di negara-negara Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi dengan para ulama, Goldziher juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir, ia dikenalkan oleh Dor Bey,seorang pejebat keturunan Swiss yang bekerja di Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey,Goldziher diperkenalkan kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir. Setelah berkenalan beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher mengemukakan hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi Riyad Pasha lah, Syakhul al-Azhar, 'Abbasi,Mufti Masjid al-azhar terbujuk. Setelah bertemu dengan Goldziher yang saat itu mengaku bernama Ignaz al-Majari(Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya "Muslim" (namun dalam makna percaya kepada Tuhan yang satu, bukan seorang musyrik) , serta dengan kelihaiannya berdiplomasi, maka Goldziher bisa "menembus" al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar,seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya.
Setelah sukses "bersandiwara," Goldziher kembali ke Budapest. Ia menjabat sebagai Sekretaris Zionis Hungaria. Bagaimanapun, kajian tentang Islam lebih mewarnai kehidupannya dibanding keterlibatannya di bidang politik. Goldziher menulis banyak karya tentang studi Islam. Ia menulis misalnya, Muhammedanisnche Studien (Studi Pengikut Muhammad, 2 jilid,1889-1890); Die Riechtungen der islamischen Koranauslegung (Mazhab-Mazhab Tafsir dalam Islam,Leiden,1920) dan masih banyak lagi karya lainnya.
Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan justru karena tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan menyesatkan.
Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Dia adalah sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian terntang hadits. Yang melambungkan namanya adalah karyanya yang  berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebagai “kitab suci”nya para orientalis hingga kini.


Pemikiran Hadis Ignaz Goldziher
            Goldziher mengatakan sunnah adalah istilah animis yang kemudian dipakai oleh orang-orang islam. Hal ini dibantah oleh Prof. Azami, menurut beliau kata-kata sunnah sudah dipakai dalam sya’ir-sya’ir jahiliyah, Al-Quran, dan kitab-kitab hadis untuk menunjuk kepada arti tata cara, jalan, perilaku hidup, syari’ah, dan jalan hidup. Kalaupun orang – orang jahiliyah atau penganut animisme menggunakan sebuah kata dalam bahasa arab untuk arti yang etismologis, maka hal itu tidak menjadi istilah jahiliyah atau animis. Kalau hal ini dibenarkan, maka bahasa arab pun seluruhnya juga istilah jahiliyah dan ini tentunya tidak akan diterima oleh akal sehat.
Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu dikarenakan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad, dan kurang menggunakan metode kritik matan. Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik matan saja.
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan. Hanya saja apa yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda dengan metod kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari, dimana menurutnya, Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam kitab shahih Bukhari tersebut terdapat hadits-hadits palsu.

Dari berbagai penelusuran dan penelitian para ulama terhadap tuduhan Goldziher tersebut. Ternyata tuduhan Goldziher seringkali ahistoris, irasional dan miskin data serta minimnya pengetahuan. Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh para orientalis lainnya termasuk Joseph Schacht.
Beberapa contoh di antaranya :
1. Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut Goldziher hadits ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam. Para ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.
Sementara teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang selain al-Zuhri. Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan hadits tersebut?
Dari sini nampaknya tidak terlalu sulit bahwa tujuan utama Goldziher adalah untuk meruntuhkan kredibilitas Imam Bukhari. Apabila umat Islam sudah tidak percaya lagi kepada shahih Bukhari, maka hadits-hadits Rasulullah Saw di dalamnya tidak akan dipakai lagi. Pada gilirannya kemudian Imam-Imam ahli hadits lainnya juga dikorbankan. Dengan demikian tamatlah sudah apa yang disebut hadits, dan robohlah satu pilar Islam.

2. Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan bukan merupakan ucapan Nabi Saw., sebab hukum-hukum syariah tidak dikenal umat Islam pada kurun pertama hijriah. Sehingga para ulama Islam di abad ketiga banyak yang tidak mengetahui sejarah Rasul. Ia menukil tulisan al-Darimy, seorang Arab muslim dalam bukunya hayat al-hayawan (dunia hewan), dimana dinyatakan dalam tulisannya, bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti terjadinya perang Badar, apakah sebelum atau sesudah perang Uhud?
Tidak diragukan lagi, bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap sejarah akan menyatakan demikian. Abu Hanifah adalah ulama yang paling terkenal yang banyak berbicara tentang hukum peperangan dalam Islam, bisa dibuktikan melalui Fikihnya yang sangat fenomenal dan buku-buku karangan murid-muridnya seperti Abu Yusuf dan Muhammad.
Dari buku karangan Abu Yusuf Sirah Imam al-Auza’i dan buku karangan Muhammad Sirah Kabir, jelas menunjukkan penguasaan para murid Imam Abu Hanifah terhadap sejarah peperangan Islam yang menyiratkan keluasan pengetahuan gurunya, Imam Abu Hanifah.
Goldziher sebenarnya mengetahui kedua kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan Islam, kecuali memang untuk merusak kredibilitas ulama besar tersebut. Goldziher bersandar kepada buku al-Darimy yang membahas dunia hewan, terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku sejarah atau fikih. Dengan demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa terlebih dahulu membuktikan kebenaran sumbernya.

3. Goldziher telah memfitnah Wakî‘ dengan mengubah pernyataan Wakî‘ tentang Ziyâd Ibn ‘Abdillah al-Bukkâ'î, هو أشرف أن يكذب "Beliau sangat jauh dari melakukan kebohongan"
Menjadi: إنه مع شرفه في الحديث كان كذوبا "Dia itu dibalik kemuliaannya dalam hadis adalah seorang pembohong"       
Sepintas saja, terlihat perbedaan makna yang sangat mencolok. Wakî‘ bermaksud meniadakan sifat bohong pada diri Ziyâd secara mutlak, bukan hanya kebohongan dalam hadis saja. Tetapi, Goldziher menyatakan yang sebaliknya bahwa Ziyad adalah seorang pembohong.

4. Goldziher menyatakan bahwa hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan dan anjuran penulisan hadis itu berstatus maudhu‘. Semua hadis ini telah dibuat-buat oleh kelompok muhaddits dan ahl al-ra'y (ahli fikih) untuk mendukung pendapatnya masing-masing. Hadis-hadis tersebut adalah
a.       Hadis tentang larangan menulis sabda Nabi Muhammad Saw dari Abu Sa‘îd al-Khudry: لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ...الحديث(رواه مسلم) "Jangan kalian tulis ucapan-ucapanku, dan barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur'an, hendaknya ia menghapusnya!"
2. Hadits tentang anjuran Nabi Saw untuk menulis sabdanya dari Abu Hurairah:
...اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ...الحديث (رواه الشيخان) "… Tuliskanlah untuk Abu Syah!...."
Menurutnya, hadis yang berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits.
Al-A‘zhamy menjawab kritikan ini dengan pernyataannya bahwa jika melihat daftar nama orang-orang yang menentang dan memperbolehkan penulisan hadis, akan diketahui bahwa tuduhan tersebut tidak benar sama sekali. Sebab, orang yang terkenal keras dalam menentang penulisan hadis seperti Ubaidah dan Ibn Sirin adalah termasuk kelompok muhaddits. Sedangkan orang yang memperbolehkan dan mendorong penulisan hadis seperti Hammad Ibn Abu Sulaiman, al-Zuhri, al-A‘masy, Abu Hanifah, al-Tsaury, dan Malik adalah termasuk ahl al-ra'y.

5. Goldziher menuturkan bahwa "bimbingan resmi" dan kegiatan penguasa" untuk memalsukan hadis sudah ada sejak dini dalam sejarah Islam. Dampaknya tampak dalam pesan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah agar ia mengucilkan ‘Ali dan pengikutnya, serta jangan menerima hadis-hadis mereka. Di pihak lain, Utsman dan dan para pengikutnya supaya disanjung-sanjung dan diterima hadisnya. Pesan ini merupakan "siaran resmi" yang melegalisir pemalsuan hadis untuk memojokkan ‘Ali demi membela kepentingan Utsman.
Glodziher menyimpulkan hal itu berdasarkan keterangan yang terdapat dalam tarîkh karangan al-Thabâry, di mana Mu‘awiyah berpesan kepada al-Mughirah, "Jangan segan-segan mencaci dan mengecam ‘Ali, dan jangan bosan menyayangi dan memohonkan ampunan untuk Usman. Aib berada pada pengikut-pengikut ‘Ali, karenaya kucilkanlah mereka dan jangan didengar ucapannya!"
Dr. Al-A‘zhamy menjawab, "Orang yang membaca teks-teks tersebut berikut kesimpulannya akan merasa heran. Sebab perang antara Sayyidina ‘Ali dan Mu‘awiyah sudah menjadi saksi sejarah. Memang merupakan suatu kewajaran, jika dalam suatu negara, pemerintah selalu mengangkat pegawai dan pejabat yang loyal kepadanya, bukan pembangkang. Inilah yang dilakukan Dinasti Umayyah pada saat itu.
Di samping itu, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka memalsukan hadis, baik secara resmi maupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah. Tidak ada kritikan atas Mu‘awiyah kecuali hanya karena ucapannya itu kalau benar ia mengucapkan demkian. Dan sejauh Itu, tidak ada tanda-tanda bahwa Mu‘awiyah sebagai seorang pemalsu hadis."


Diramu dari :
Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, karangan Prof. Dr. MM. AZAMI
Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, oleh Dr. Mahmud Ali Fayyad
Imam Bukhari Dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis, oleh H. Ali Mustafa Yaqub M.A
MM Azami Pembela Eksistensi Hadis, editor Nurul Huda Ma’arif

Mengenali Dan Meninjau Pemikiran Anti Hadis (Qur’aniyun)

Mukaddimah

Dari zaman ke zaman, perpecahan dalam kelompok manusia ini sentiasa berlaku dan serangan demi serangan terhadap Islam terus berlangsung. Syubhat demi syubhat terus dilancarkan oleh musuh-musuh Islam sama ada dari luar atau dalam kelompok umat Islam itu sendiri. Bermula dari zaman para sahabat di mana perpecahan mula terjadi melalui pelbagai fitnah yang ditimbulkan oleh golongan pemberontak terhadap sebuah daulah pemerintahan Islam. Kemudian munculnya puak khawarij, Syi’ah, Muktazilah, Murji’ah, dan seterusnya.

Sehinggalah ke zaman ini, tidak kurang pelbagai syubhat-syubhat yang merancukan dan mengelirukan pemahaman terhadap Islam terus dilancarkan ke tengah-tengah benak minda umatnya. Perkara tersebut tidak lain dan tidak jauh bezanya dengan pelbagai jenis makar yang ditimbulkan sejak mula kemunculan Islam 1400 tahun dahulu lagi. Namun, sedikit bezanya hanya kini ianya muncul dengan pelbagai jenis nama-nama yang berlainan. Dengan label dan tanda branding yang mampu memikat hati dan jiwa umat Islam yang jauh daripada ilmu. Dengan helah dan gerak kerja yang sedikit berbeza. Namun, asas-asas dan methode pemikiran yang membina kelompok-kelompok mereka tidak jauh berbeza dengan perpecahan dan kesesatan yang mula-mula timbul di dalam sejarah umat Islam. Antara yang terkenal pada masa ini adalah seperti gerakan feminisme, liberalisme agama, Hizbut Tahrir, Jema’ah al-Qur’an, pelbagai jenis gerakan tarekat, gerakan anti hudud, gerakan pejuang hudud, dan pelbagai lagi jenis jenama yang dipopularkan.

Di antara mereka yang mahu kita sentuh dan tangkis syubhat-syubhatnya adalah sebuah gerakan yang menolak dan meninggalkan penggunaan hadis-hadis dan sunnah-sunnah Rasulullah dalam mengambil serta mengaplikasikan agama. Antara lain, golongan mereka ini dikenali dengan nama Qur’aniyun atau Golongan Anti Hadis. Sebenarnya hal ini adalah sebagaimana yang diberitahu melalui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri,

“Ketahuilah sesungguhnya diturunkan kepada ku al-Quran dan yang semisalnya bersamanya (as-Sunnah), ketahuilah akan datang seseorang yang kenyang duduk di atas pembaringannya berkata: “Berpegang teguhlah kepada al-Quran ini saja, semua yang kamu perolehi daripadanya akan kehalalan, maka halalkanlah dan yang kamu perolehi daripadanya suatu keharaman maka haramkanlah”.” (Hadis Riwayat Ahmad, 4/131 dan Abu Daud, 5/11)

Sejarah Meletusnya Gerakan/Pemikiran Anti Hadis
Fahaman/Pemikiran anti-Hadis atau Ingkarul Sunnah atau kini dikenali sebagai Qur’aniyoon telah dikenal pasti diasaskan oleh Profesor Dr. Goldziher, kelahiran Hungary berbangsa Yahudi pada tahun 1870 dan meninggal pada tahun 1921. Goldziher mendapat biasiswa Zionis International Jerman untuk melanjutkan pelajaran di Universiti al-Azhar pada tahun 1873. Dia dihantar khas mendalami bidang Sunnah dan akhirnya dia mencetuskan ajaran mengingkari Sunnah dengan slogan “Pembaharuan Islam”.

Pada tahun 1876, sekembalinya dari Mesir, beliau memegang jawatan Setiausaha Zionis Antarabangsa cawangan Budapest. Kemudian selama 15 tahun dia mengajar di maktab Zionis Budapest untuk melahirkan graduan-graduan Zionis yang akan bertebaran di seluruh dunia mengembangkan ajaran mengingkari sunnah ini bertujuan melemahkan ajaran Islam dari dalam. Pengasas ajaran Ingkarus Sunnah ini meninggalkan hampir 200 judul karya khas dalam jurusan Mengingkari Sunnah dan melahirkan beratus ribuan graduan yang telah dirosakkan kefahaman mereka tentang Sunnah. Profesor Goldziher adalah salah seorang yang membawa dan menyebarkan agenda Zionis Antarabangsa.

Kebanyakan cendikiawan islam yang menuntut di Eropah telah terpengaruh dengan ajaran Goldziher ini. Di antara murid-murid Goldziher yang termashyur dari Mesir ialah Dr. Ali Hasan Abdul Kadir, Toha Hussin, Dr. Ahmad Amin, Rasyad Khalifa, dan Dr. Abu Rayyah.

Gerakan Anti Hadis dibawa ke USA:
Gerakan Anti-Hadis telah dibawa ke USA oleh Dr. Rasyad Khalifa (bangsa Arab keturunan Egypt), yang kemudiannya mendapat kerakyatan USA. Beliau telah membentangkan satu kertas kerja bertajuk: “Islam: Masa Lampau, Kini dan masa Depan” pada seminar Misionari Kristian dan Yahudi dari 8-17 Jun, 1983 di USA. Bermula pada tarikh inilah, Dr. Rasyad telah menubuhkan secara rasmi gerakan “The Quranic Society” yang berpusat di Tucson di mana beliau mengajar di Universiti Tucson. Dr. Rasyad dengan angkuh telah menyebut: “Hadis-hadis adalah ciptaan Iblis, mempercayai hadis bermakna mempercayai ajaran Iblis”. Keceluparan beliau telah menyebabkan dia dibunuh dengan penuh misteri sebaik sahaja Arab Saudi mengeluarkan fatwa sesatnya Dr. Rasyad dan “Golongan al-Qur’annya”.

Berikut ini adalah sedutan Fatwa Syaikh Abd Aziz ben Bazz, Mufti Besar Arab Saudi:

“Gerakan Ingkar Sunnah yang digerakkan oleh Rasyad Khalifah adalah batil dan merbahaya, iaitu mengadakan kegiatan Mengingkari Sunnah dengan cara memutar balikkan tafsir al-Qur'an secara batil. Maka saya atas nama Pemerintah Arab Saudi menyeru agar seluruh muslimin agar berhati-hati terhadap gerakan yang dicetuskan oleh Rashad Khalifa dan jangan sampai terpengaruh dengan ajaran sesat tersebut.” (Fatwa No 903, Syawal 1403 bersamaan Ogos 1983)

Rujukan:

1. Fatwa Kebangsaan anti hadis, 1993.
2. Fatwa Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia Pusat, 1983.
3. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor KEP 169/J.A/9/1983.
4. The Qur'an's Numerical Miracle: 19 Hoax and heresy, Abu Aminah Bilal Phillips.
5. Kod 19 Menyesatkan, terbitan YADIM, (Dr Abd Fatah Ibrahim).
6.Gerakan Inkaru Sunnah, Ahmad Husnan, Media Dakwah, jakarta.

Perintah Allah Di Dalam al-Qur’an Supaya Mengambil Sunnah Rasul-Nya

Berikut ini, dibawakan beberapa dalil-dalil al-Qur’an yang berkaitan dengannya:
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (al-Hasyr, 59: 7)
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl 16: 44)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah (Wahai Muhammad) kepada mereka: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran, 3: 31)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzaab, 33: 21)
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’, 4: 65)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisaa’, 4: 59)
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ -وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (an-Nuur, 24: 51-52)
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى - إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemahuan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (an-Najm, 53: 3-4)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Saba’, 34: 28)
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (an-Nahl, 16: 36)

بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (at-Taubah, 9: 33)
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah.” (Ali Imran, 3: 164)
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَبِيٍّ إِلا أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ
“Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (al-A’raaf, 7: 94)
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah redha kepada mereka dan merekapun redha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah, 9: 100)

Mengkaji Dan Memahami Kuasa Authority Rasulullah di sisi al-Qur’an

Di antara yang sering menjadi pertanyaan orang ramai dan yang selalu dijadikan hujah oleh Golongan Anti Hadis adalah tentang wujudnya hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang memerintah atau melarang sesuatu hukum, sedangkan hukum tersebut tidak terdapat di dalam al-Qur’an, malah adakalanya bertentangan dengan hukum al-Qur’an. Satu contoh yang masyhur adalah hukuman bagi jenayah zina, di mana al-Qur’an hanya menghukumkan sebatan 100 kali kepada penzina tanpa membezakan antara yang sudah berkahwin atau belum manakala al-Hadis pula memberatkan lagi hukuman tersebut kepada rejaman batu sehingga mati kepada penzina yang sudah berkahwin.

Di atas hanyalah satu contoh. Sama ada ia satu hukuman, perintah atau larangan, yang menjadi asas perbincangan adalah, apakah seorang Rasul itu wajib ditaati dalam perkara-perkara dan urusan yang tidak disebut di dalam kitab al-Qur’anul Karim. Lebih luas, apakah kita patut mentaati segala ajaran, perintah, larangan dan hukum yang berasal daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam padahal ajaran, perintah, larangan dan hukum tersebut tidak terdapat di dalam kitab al-Qur’anul Karim. Untuk menjawab persoalan ini, kita akan melihat ayat-ayat al-Qur’an atau dalil-dalilnya agar dapat diketahui secara pasti kedudukannya. Kajian ini amat penting kerana apabila telah diketahui kuasa dan authority Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang diberi oleh Allah Subhanau wa Ta’ala, tidak akan timbul lagi sebarang kemusykilan tentang hukum-hukum atau ajaran-ajaran al-Hadis yang berbeza atau bercanggah dengan al-Qur’an.

Kajian ini dibahagi kepada tiga bahagian, iaitu:

[1] Kajian terhadap ayat-ayat yang menerangkan perintah mentaati para Nabi dan Rasul sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

[2] Kajian terhadap susunan dan gaya bahasa ayat-ayat yang memerintahkan ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

[3] Kajian terhadap ayat-ayat yang memberi kuasa dan authority kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk menggubal dan melaksanakan hukum secara tersendiri.

Pertama: Kajian Terhadap Dalil-dalil Mewajibkan Ketaatan kepada Para Nabi dan Rasul Terdahulu.

Sebagaimana yang kita sama-sama ketahui, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bukanlah seorang Rasul yang pertama diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia. Hal ini jelas diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam al-Qur’an:

“Katakanlah (Wahai Muhamad): Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (al-Ahqaaf, 46: 09)

Kesemua Rasul-rasul ini diwajibkan ketaatannya oleh umat yang mereka diutuskan kepada, sebagaimana yang diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul pun melainkan supaya ia ditaati dengan izin Allah.” (an-Nisaa’, 4: 64)

Apabila telah jelas bahawa semua para Rasul ini wajib ditaati atas perintah dan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri maka kini perlu kita kaji pula apakah para Rasul ini wajib ditaati hanya dalam perkara-perkara yang disebut di dalam kitab suci mereka masing-masing sahaja atau adakah perintah mentaati ini turut meliputi perkara-perkara yang di luar dari kitab suci mereka. Kita sama-sama ketahui bahawa para Rasul yang diberi kitab suci adalah:

[1] Nabi Ibrahim ‘alaihi salam dengan kitab yang digelar suhuf-suhuf. (al-A’laa, 87: 19)

[2] Nabi Daud alaihi-salam dengan kitab Zabur. (an-Nisaa’, 4: 163)

[3] Nabi Musa alaihi-salam dengan kitab Taurat. ([al-Israa’, 17: 2)

[4] Nabi Isa alaihi-salam dengan kitab Injil. (al-Maidah, 5: 46)

[5] Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan kitab al-Qur’an.

Memandangkan lima para Rasul di atas telah diberi kitab suci, kita akan tumpukan kajian kepada para Rasul dan Nabi yang tidak diberi kitab suci. Dengan itu dapat kita ketahui bahawa apabila Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan ketaatan kepada para Rasul dan Nabi ini nyata bahawa ketaatan tersebut adalah kepada ajaran, perintah, larangan dan hukum yang berasal dari para Rasul dan Nabi itu sendiri bukan kepada sesebuah kitab suci.

Kajian kita ditumpukan kepada lima orang Nabi dan Rasul berikut, di mana kisah-kisah mereka telah diungkapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam kitab al-Qur’anul Karim:

“(Demikian juga) kaum Nabi Nuh telah mendustakan Rasul-rasul (yang diutus kepada mereka); Ketika saudara mereka, (iaitu) Nabi Nuh berkata kepada mereka: Mengapa kamu tidak bertaqwa? Sesungguhnya aku ini ialah Rasul yang amanah, (yang diutus oleh Allah) kepada kamu; Oleh itu, bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (asy-Syu’ara, 26: 105-108)

“Kaum Aad telah mendustakan rasul-rasulnya, Ketika saudara mereka, (iaitu) Nabi Hud berkata kepada mereka: Mengapa kamu tidak bertaqwa? Sesungguhnya aku ini ialah Rasul yang amanah, (yang diutus oleh Allah) kepada kamu; Oleh itu, bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (asy-Syu’ara, 26: 123-126)

“Kaum Thamud telah mendustakan rasul-rasulnya, Ketika saudara mereka, (iaitu) Nabi Sholeh berkata kepada mereka: Mengapa kamu tidak bertaqwa? Sesungguhnya aku ini ialah Rasul yang amanah, (yang diutus oleh Allah) kepada kamu; Oleh itu, bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (asy-Syu’ara, 26: 141-144)

“Kaum Lut telah mendustakan rasul-rasulnya, Ketika saudara mereka – Nabi Lut berkata kepada mereka: Mengapa kamu tidak bertaqwa? Sesungguhnya aku ini ialah Rasul yang amanah, (yang diutus oleh Allah) kepada kamu; Oleh itu, bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (asy-Syu’ara, 26: 160-163)

“Penduduk Aikah (Madyan) telah mendustakan rasul-rasulnya, Ketika saudara mereka, (iaitu) Nabi Syu’aib berkata kepada mereka: Mengapa kamu tidak bertaqwa? Sesungguhnya aku ini ialah Rasul yang amanah, (yang diutus oleh Allah) kepada kamu; Oleh itu, bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (asy-Syu’ara, 26: 176-179)

Dalam kumpulan ayat di atas, diterangkan kisah-kisah Nabi Nuh, Hud, Shalih, Lut dan Syu’aib alaihimussalam yang telah memerintahkan kepada kaum masing-masing untuk bertaqwa kepada Allah, iaitu dengan mematuhi segala suruhan dan menjauhi segala larangan Allah; dan untuk mentaati diri mereka sendiri. Kita sama-sama ketahui bahawa mereka adalah para Nabi dan Rasul yang tidak diturunkan sebuah kitab suci, maka merujuk kepada apakah mereka menuntut ketaqwaan dan ketaatan tersebut? Ia tidak lain merujuk kepada segala ajaran, perintah, larangan dan hukum yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul itu sendiri.

Di sini jelas terbukti perintah mentaati seorang Nabi atau Rasul tanpa perlu ketaatan tersebut dirujuk atau didasarkan kepada sebuah kitab suci kerana jika setiap ajaran, perintah, larangan dan hukum seseorang Nabi atau Rasul wajib dirujuk dan dikandung sama oleh sebuah kitab suci, maka bagaimanakah kaum-kaum di dalam kisah-kisah di atas hendak mentaati segala ajaran, perintah, larangan dan hukum Nabi dan Rasul mereka padahal mereka tidak memiliki sebuah kitab suci untuk dijadikan rujukan kepada mereka?

Dengan jelasnya perkara ini kepada kita, maka jelaslah juga satu prinsip asas yang penting, iaitu apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan ketaatan kepada seseorang Rasul, perintah ketaatan tersebut adalah merujuk kepada segala ajaran, perintah, larangan dan hukum yang bersumber dari Rasul tersebut tanpa mengira sama ada Rasul tersebut diberi sebuah kitab suci atau tidak. Ia juga menunjukkan bahawa ketaatan adalah wajib kepada seseorang Rasul tanpa mengira sama ada subjek yang hendak ditaati dari Rasul itu terkandung sama di dalam kitab suci atau tidak. Ini adalah Sunnatullah terhadap para Nabi dan Rasul terdahulu dan Sunnatullah ini berlaku terus kepada Rasul yang terakhir, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Kedua: Kajian dari Sudut Susunan dan Gaya Bahasa terhadap ayat-ayat yang Memerintahkan Ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Terdapat dua bentuk atau pola susunan ayat yang memerintahkan ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan larangan menderhakainya. Bentuk pertama adalah ayat-ayat yang memerintahkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan perkataan “taat” hanya disebut sekali di awal perintah. Perhatikan ayat-ayat berikut:

“Katakanlah (wahai Muhammad): Taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh itu, jika kamu berpaling (menderhaka), maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir.” (Ali Imran, 3: 32)

“Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan; kalau tidak nescaya kamu menjadi lemah semangat dan hilang kekuatan kamu.” (al-Anfal, 8: 46)

“Dan sesiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah berjaya mencapai sebesar-besar kejayaan.” (al-Ahzaab, 33: 71)

Bentuk yang kedua pula adalah ayat-ayat yang memerintahkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan perkataan “taat” hanya disebut dua kali bagi setiap perintah. Perhatikan ayat-ayat berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan kepada “Ulil-Amri” (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu.” (al-Nisaa’, 4: 59)

“Dan taatlah kamu kepada Allah serta taatlah kepada Rasulullah; maka kalau kamu berpaling, sesungguhnya kewajipan Rasul Kami hanyalah menyampaikan (perintah-perintah) dengan jelas nyata. (at-Taghabun, 64: 12)

“Dan taatlah kamu kepada Allah serta taatlah kepada Rasul Allah, dan awaslah (janganlah sampai menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya).” (al-Maidah, 5: 92)

Dua bentuk atau pola susunan ayat yang berbeza ini bukanlah sesuatu yang tidak disengajai di dalam al-Qur’an, tetapi ia adalah salah satu tanda kemukjizatan dan kekayaaan gaya bahasanya. Bentuk dan pola susunan pertama hanya menyebut perintah “taat” sekali, iaitu Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, bererti ia mewakili ketaatan kepada ajaran, perintah, larangan dan hukum di dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang ada persamaan di antara kedua-duanya. Justeru kerana adanya persamaan tersebut, adalah memadai perintah taat disebut sekali sahaja di awalnya. Contohnya adalah perintah wajib berwudhu di dalam solat, ia diwajibkan oleh al-Qur’an dan juga oleh al-Hadis.

Ragam dan pola susunan kedua pula mengulangi kata “taat” bagi setiap perintah, iaitu Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, bererti ia merangkumi ketaatan kepada ajaran, perintah, larangan dan hukum di dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang memiliki perbezaan dengan setiap darinya tetap ditaati walaupun tidak memiliki persamaan antara satu sama lain. Justeru perintah al-Qur’an wajib ditaati dan perintah al-Hadis wajib ditaati sekalipun tidak ada perhubungan atau kesamaan di antara kedua-duanya. Contohnya adalah perintah mengulangi wudhu’ kerana beberapa sebab yang membatalkannya, ia wajib ditaati sekalipun ia hanya disebut oleh al-Hadis dan tidak disebut oleh al-Qur’an.

Keterangan dalam perenggan terakhir di atas diperkuatkan lagi dengan kehadiran ayat-ayat yang hanya memerintahkan ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan larangan menderhakainya secara bersendirian sahaja. Perhatikan ayat-ayat berikut:

“Dan dirikanlah kamu akan sembahyang serta berilah zakat; dan taatlah kamu kepada Rasulullah supaya kamu beroleh rahmat.” (an-Nur, 24: 56)

“Dan jika kamu taat kepadanya (Muhammad) nescaya kamu beroleh hidayah petunjuk.” (an-Nur 24: 54)

“Pada hari itu orang-orang yang ingkar dan derhaka kepada Rasulullah, suka jika mereka disama ratakan dengan tanah (ditelan bumi), dan (ketika itu) mereka tidak dapat menyembunyikan sepatah kata pun dari pengetahuan Allah.” (an-Nisaa’, 4: 42)

“Dan sesiapa yang menentang (ajaran) Rasulullah sesudah terang nyata kepadanya kebenaran pertunjuk (yang dibawanya), dan ia pula mengikut jalan yang lain dari jalan orang-orang yang beriman, Kami akan memberikannya kuasa untuk melakukan (kesesatan) yang dipilihnya, dan (pada hari akhirat kelak) Kami akan memasukkannya ke dalam neraka jahanam; dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’, 4: 115)

4 ayat di atas menerangkan perintah untuk mentaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan larangan menderhakainya dan sebagaimana yang telah disebut, perintah larangan ini ditujukan khusus terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sahaja. Ini tidak lain menunjukkan perintah mutlak mentaati segala ajaran, perintah, larangan dan hukum Rasulullah tanpa mengambil kira sama ada ia terkandung dalam al-Qur’an atau tidak.

Ketiga: Kajian terhadap ayat-ayat yang memberi kuasa dan authority kepada Rasulullah untuk menggubal dan melaksanakan hukum secara tersendiri.

Berikut akan kita kaji dan teliti pula ayat-ayat al-Qur’anul Karim yang menerangkan kuasa dan authority yang sedia diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Kajian akan ditumpukan kepada 3 buah ayat, ayat ke 157 dari surah al-A’raaf, ayat 65 dari surah an-Nisaa’ dan ayat ke 7 dari surah al-Haysr.

Pertama: Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Iaitu orang-orang yang mengikut Rasulullah (Muhammad s.a.w) Nabi yang Ummi, yang mereka dapati tertulis (namanya dan sifat-sifatnya) di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Ia menyuruh mereka dengan perkara-perkara yang baik, dan melarang mereka daripada melakukan perkara-perkara yang keji; dan ia menghalalkan bagi mereka segala benda yang baik, dan mengharamkan kepada mereka segala benda yang buruk; dan ia juga menghapuskan dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada pada mereka.” (al-A’raaf, 7: 157)

Ayat ini secara jelas dan mutlak memberi kuasa dan authority kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk menggubal dan melaksanakan hukum-hukum syari’at Islam. Jika diperhatikan ayat ini, akan di dapati:

[1] Allah ‘Azza wa Jalla memulai ayat ini dengan menyatakan bahawa Muhamad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah seorang Rasul yang telah sedia tercatit nama dan kedudukannya di dalam kitab-kitab yang terdahulu, khususnya Taurat dan Injil. Pernyataan ini adalah bagi membina dasar yang kukuh terhadap kedudukan dan kemulian Rasul pilihannya itu.

[2] Kemudian diterangkan tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh umat melakukan apa yang baik lagi bermanfaat dan melarang serta menghindar mereka daripada melakukan apa yang keji lagi memudaratkan. Perhatikan bahawa Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan tugas Rasul-Nya ini secara tersendiri tanpa menyuruh beliau merujuk atau menyandar kepada ayat-ayat al-Qur’an. Iaitu Allah Ta’ala tidak berfirman Ia dengan al-Qur’an ini menyuruh mereka melakukan apa yang baik atau Ia menyuruh mereka melakukan apa yang baik sepertimana yang diterangkan oleh al-Qur’an ini atau Ia melarang mereka apa yang buruk sebagaimana yang dilarang dalam al-Qur’an atau apa-apa lain yang seumpama.

[3] Seterusnya Allah Azza waJalla menerangkan kuasa dan authority Rasul-Nya menghalalkan apa yang baik lagi berfaedah untuk umat dan mengharamkan apa yang buruk lagi membinasakan umat. Sekali lagi perhatikan bahawa Allah ‘Azza wa Jalla memberi kuasa penuh kepada Rasulullah untuk menghalalkan sesuatu dan mengharamkan sesuatu tanpa menyuruh beliau merujuk atau menyandar kepada ayat-ayat al-Qur’an. Iaitu Allah Ta’ala tidak berfirman Halalkanlah apa yang dihalalkan dalam al-Qur’an dan haramkanlah apa yang diharamkan dalam al-Qur’an atau apa-apa lain yang seumpama.

[4] Dan akhirnya Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menghapuskan segala bebanan dan belenggu yang mengikat manusia di ketika itu. Antaranya ialah beberapa fahaman agama yang sengaja diada-adakan oleh para tokoh agama Yahudi dan Nasrani seperti kehidupan ala Rahib dan Paderi, tidak boleh berkahwin, anak menanggung dosa orang tua dan sebagainya. Begitu juga dengan pelbagai istiadat dan perlakuan masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu seperti perhambaan, pembunuhan anak perempuan, melakukan sembelihan dan korban untuk tuhan-tuhan dan macam-macam lagi. Sekali lagi perhatikan bahawa Allah Azza waJalla memberi kuasa penuh kepada Rasulullah untuk menghapuskan bebanan dan belenggu ciptaan menusia tersebut tanpa menyuruh beliau merujuk atau menyandar kepada ayat-ayat al-Qur’an. Iaitu Allah Ta’ala tidak berfirman: hapuskanlah bebanan dan belenggu tersebut berdasarkan apa yang disyari’atkan di dalam al-Qur’an atau apa-apa lain yang seumpama.

Kedua: Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Maka tidaklah – Demi Tuhanmu (wahai Muhammad)! Mereka tidak disifatkan beriman sehingga mereka menjadikan engkau hakim dalam mana-mana perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka pula tidak merasa di hati mereka sesuatu keberatan dari apa yang telah engkau hukumkan, dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’, 4: 65)

Sepertimana ayat 157 surah al-A’raaf, ayat ini juga dengan tegas dan mutlak menerangkan kuasa dan Authority Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk menggubal dan menjatuhkan hukum secara tersendiri tanpa perlu dirujuk atau disandarkan kepada al-Qur’anul Karim. Malah ayat ini mempersyaratkan keimanan seseorang kepada ketaatan dan keredhaan penuh terhadap apa jua hukum yang diputuskan oleh Rasulullah. Sesiapa yang taat dan redha maka dialah orang yang benar beriman manakala sesiapa yang ingkar dan tidak setuju maka dia bukan orang yang beriman. Jika dicermati ayat di atas, akan didapati:

[1] Allah ‘Azza wa Jalla memulakan ayat ini dengan suatu bentuk sumpah: “Maka tidaklah – Demi Tuhanmu…” Para ahli tafsir telah menerangkan bahawa apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah di dalam al-Qur’an, ia adalah bagi menunjukkan kebesaran objek yang disumpah-Nya atau bagi mengisyaratkan besarnya subjek ayat yang bakal menyusuli setelah sumpah tersebut. Maka di sini sumpah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bagi mengisyaratkan besarnya subjek yang bakal menyusuli iaitu ukuran sama ada beriman atau tidak seseorang manusia itu.

2] Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan ukuran beriman atau tidak seseorang manusia itu berdasarkan terima atau tidak seseorang itu terhadap hukum yang diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Firman Allah Ta’ala: “…dalam mana-mana perselisihan yang timbul di antara mereka…” tidaklah bererti bahawa ayat ini hanya sah dilaksanakan di zaman Rasulullah masih hidup untuk menghakimi sesuatu perselisihan yang dihadapkan kepada beliau tetapi ia adalah sah dilaksanakan kepada semua generasi manusia di semua zaman sesuai dengan peranan yang dimiliki oleh kitab al-Qur’anul Karim yang sah dijadikan sumber rujukan dan penghujahan sehingga ke Hari Kiamat. Sebagai contoh, ayat in tetap sah untuk dijadikan hujah bagi menangani sikap segelintir umat masa kini yang mempertikaikan hukuman rejam dengan batu sehingga mati terhadap penzina yang sudah berkahwin yang diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hukum yang diputuskan oleh Rasulullah tersebut adalah sah selari dengan kuasa dan authority yang diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada beliau. Maka barangsiapa yang menerima hukum tersebut maka dia adalah orang yang beriman manakala sesiapa yang mengingkari hukum tersebut maka dia tidak beriman.

[3] Seterusnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyaratkan bahawa penerimaan hukum yang diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hendaklah secara total dan menyeluruh tanpa adanya rasa keberatan atau tidak puas hati. Pensyaratan tambahan oleh Allah Ta’ala ini tidak lain menunjukkan sifat mutlak, absolute dan ketidak-terbatasan yang dimiliki oleh hukum-hukum yang digubal, diputus dan dijatuhkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

[4] Perhatikan juga bahawa dalam menetapkan ukuran beriman atau tidak seseorang berdasarkan penerimaan apa yang dihukumkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan dalam mensyaratkan penerimaan hukum tersebut secara total tanpa keraguan atau keberatan, Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak membuat apa-apa rujukan atau sandaran kepada kitab al-Qur’anul Karim. Allah Ta’ala tidak menghubungkan hukum yang diputuskan oleh Rasulullah dengan hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an dan Allah Ta’ala tidak menghubungkan penerimaan hukum tersebut secara total dengan kitab al-Qur’anul Karim. Dalam erti kata lain, seseorang itu hendaklah menerima hukum yang diputuskan oleh Rasulullah tanpa mengambil kira sama ada hukum tersebut diputuskan dalam al-Qur’an dan seseorang itu hendaklah menerima hukum tersebut secara total tanpa perlu ia diperkuat atau diperkukuhkan oleh al-Qur’anul Karim.

[5] Akhir sekali, perhatikan juga bahawa Allah Subhanahu wa Ta’ala secara mutlak menjadikan ukuran iman seseorang itu hanya berdasarkan hukum yang diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ini tidak lain menunjukkan sifat kewahyuan, kesempurnaan dan keterpeliharaan hukum yang diputuskan oleh Rasulullah. Kerana jika diandaikan bahawa hukum yang diputuskan oleh Rasulullah adalah berasal dari ijtihad dan penalaran dirinya sendiri tanpa bimbingan ILahi, sudah tentu ia terbuka kepada pelbagai kekurangan dan kecacatan manusiawi sehingga pasti ia tidak dapat dijadikan ukuran keimanan seseorang. (T.M. Hasbi as-Shiddiqy dalam Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, jld. 1, m/s. 860)

Ketiga: Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarang-Nya kamu melakukannya maka patuhilah larangan-Nya.” (al-Haysr, 59: 07)

Ayat ini dengan jelas dan tepat menerangkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat Islam untuk menerima apa sahaja yang dibawa, dianjur dan diperintahkan oleh Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan meninggalkan apa sahaja yang dinafi, dicegah dan dilarang olehnya. Ayat ini merupakan satu lagi dalil yang kuat lagi padu bahawa Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kuasa dan authority penuh kepada Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk menggubal dan memerintahkan sesuatu perkara secara tersendiri manakala umat pula wajib menerima dan mentaatinya. Sekali lagi perhatikan juga bahawa perintah Allah Ta’ala dalam ayat ini adalah mutlak secara tersendirinya tanpa suruhan kepada umat untuk merujuk dan menyandarkan suruhan atau larangan Rasulullah tersebut kepada dalil-dalil al-Qur’anul Karim.

Segelintir pihak, terutamanya Golongan Anti-Hadis menolak kemutlakan maksud firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat di atas. Mereka berkata ayat ini hanyalah merujuk kepada perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam urusan sebaran dan pembahagian harta-harta rampasan perang. Mereka berpendapat sedemikian berdasarkan keseluruhan ayat ke 7 tersebut, iaitu:

“Apa yang Allah kurniakan kepada Rasul-Nya (Muhammad) dari harta penduduk negeri, bandar atau desa dengan tidak berperang, maka adalah ia tertentu bagi Allah, dan bagi Rasulullah, dan bagi kaum kerabat (Rasulullah), dan anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta orang-orang musafir (yang keputusan).

(Ketetapan yang demikian) supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya dari kalangan kamu.

Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarang-Nya kamu melakukannya maka patuhilah larangan-Nya.

Dan bertaqwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah amatlah berat azab seksa-Nya (bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya).” (al-Hasyr, 59: 7)

Dengan merujuk kepada keseluruhan pengajaran ayat, mereka berkata bahawa firman Allah: “…Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah kepada kamu maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarang-Nya kamu melakukannya maka patuhilah larangan-Nya…” hanyalah merujuk kepada perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam urusan sebaran dan pembahagian harta-harta rampasan perang. Yakni, apa yang disebar dan dibahagi-bahagikan oleh Rasulullah maka terimalah ia dan apa yang tidak disebar atau dibahagi-bahagikan oleh Rasulullah maka janganlah dipersoalkan pula. Pengertian dan pengajaran ayat tidak ditujukan kepada apa-apa selain sebaran dan pembahagian harta-harta rampasan perang sahaja.

Baiklah, mari kita bincang dan bahas secara mendalam ayat ke 7 surah al-Haysr ini. Ia sememangnya diturunkan berkaitan dengan pembahagian harta-harta rampasan perang. Lebih tepatnya sebagaimana terang Umar al-Khattab radiallahu ‘anhu (Sahih: Atsar sahabat dikeluarkan oleh Ahmad, Bukhari, al-Baihaqi dan lain-lain, lihat Sahih Bukhari, no. 4885. (Kitab at-Tafsir, Surah al-Haysr, Apa yang diberi oleh Allah kepada Rasul-Nya dari rampasan perang)), ia diturunkan berkenaan urusan sebaran, pembahagian dan penggunaan harta-harta yang ditinggalkan oleh Bani an-Nadhir, satu komuniti Yahudi yang diusir keluar dari lembah Madinah kira-kira 6 bulan selepas peristiwa Perang Badar (Sahih: Sebagaimana terang A’isyah radiallahu-anha, dikeluarkan oleh Ibnu Mardhawih dan Abdurrazzaq ibnu Humman as-Sa’nani. Isnadnya sahih sebagaimana dinilai oleh Habib-ur-Rahman al-Azami dalam Musannaf Abdurrazzaq, no. 9732 dan seterusnya. (Bab Kejatuhan Bani an-Nadhir, jld. 5, m/s. 357 dan seterusnya)) kerana mereka mencabuli perjanjian damai yang sedia dipersetujui dengan orang-orang Islam ketika itu. (Untuk bacaan lebih lanjut, sila lihat mana-mana kitab sirah Nabi, antaranya The Life of Muhammad, pg. 277-281 oleh Muhammad Husein Haykal dan Madinan Society at the Time of The Prophet, vol. 1, pg. 128-134 oleh Akram Diya’ al-‘Umari)

Namun adalah tidak tepat untuk dikatakan bahawa keseluruhan pengertian dan pengajaran ayat ke 7 surah al-Haysr tersebut hanya ditujukan kepada urusan harta rampasan perang sahaja. Jika didalami keseluruhan ayat tersebut, akan didapati bahawa ia dibahagikan kepada 3 bahagian sebagaimana yang ditanda dengan tanda waqf al-Jaa’iz (?). Berikut disusun secara berasingan setiap dari bahagian tersebut dengan terjemahan harfiah perkataan demi perkataan (word by word translation) yang disalin dari buku Bacaan oleh Othman Ali (http://www.ropelist.com/articles/malay/malay_bacaan.html):

[01] Segala apa rampasan perang yang Allah memberi rasul-Nya daripada penduduk bandar-bandar raya adalah kepunyaan Allah, dan rasul-Nya, dan sanak saudara yang dekat, dan anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, dan musafir, supaya ia jangan bergilir antara orang-orang kaya antara kamu.

[02] Apa sahaja yang rasul memberi kamu, ambillah; apa sahaja yang dia melarang kamu daripadanya, hentikanlah. (Menarik juga untuk diperhatikan bahawa dua tokoh Golongan Anti-Hadis yang lain, yakni Kassim Ahmad dan Rashad Khalifa telah mengubah terjemahan bahagian kedua ayat di atas. Kassim Ahmad dalam bukunya “Hadis: Satu Penilaian Semula”, m/s. 58, telah menterjemahkan ayat tersebut sebagai: Apa-apa harta rampasan perang yang diberi oleh rasul kepadamu hendaklah kamu terima dan apa yang ditegahnya hendaklah kamu tinggalkan; manakala Rashad Khalifa dalam “Qur’an: The Final Scripture (Authorized English Version)”, pg. 391, telah menterjemah ayat tersebut sebagai: “Any gained spoils that the messenger gives you, you shall accept, and whatever he forbids you, you shall leave”. Padahal dalam teks Arab yang sebenar, tidak terdapat perkataan harta rampasan perang dan gained spoils)

[03] Dan takutilah Allah; sesungguhnya Allah keras dalam pembalasan sewajarnya.

Perhatikan bahawa bahagian pertama ayat secara khusus membicarakan perihal harta rampasan perang manakala bahagian kedua ayat membicarakan perintah atau larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam secara umum lagi terbuka tanpa ditujukan kepada apa-apa pengertian yang tertentu atau khusus. Demikian juga bahagian ketiga ayat, ia secara umum lagi terbuka membicarakan perintah untuk bertaqwa kepada Allah dan ancaman kepada sesiapa yang menyalahinya dan ia tidak ditujukan kepada apa-apa pengertian yang tertentu atau khusus.

Perbezaan lafaz antara bahagian pertama dengan bahagian kedua ayat perlu kita fahami secara mendalam. Telahpun dinyatakan sebelum ini dan akan diulangi sekali lagi bahawa Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan segala Kebijaksanaan dan Keluasan Hikmah-Nya, tidak akan membicarakan satu perkara yang sama dengan susunan ayat yang berbeza melainkan apa yang dikehendaki-Nya antara kedua ayat tersebut adalah juga berbeza. Dengan itu juga, kitab al-Qur’anul Karim dengan segala sifat-sifat kemukjizatan bahasa dan gaya penyampaian yang sehingga kini tidak tercabar keistimewaannya, tidak akan membicarakan satu perkara yang sama dengan dua susunan ayat yang berbeza melainkan pengajaran yang hendak disampaikan juga adalah berbeza antara keduanya.

Justeru itu apabila bahagian pertama ayat membicarakan perihal urusan harta rampasan perang, maka sememanglah ia membicarakan urusan harta rampasan perang dan ini tidak kita sanggahi. Akan tetapi perlu dikenali bahawa bahagian kedua ayat membicarakan perihal perintah dan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam secara umum lagi terbuka tanpa di-hadkan atau dikhususkan kepada sesuatu subjek yang tertentu. Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan perkataan (ma) berupa ism mausul yang bererti apa-apa sahaja atau apa jua atau apa-apa sekalipun bagi menandakan sifat keterbukaan ayat tanpa pembatasan. Ini berbeza dengan bahagian pertama ayat di mana Allah ‘Azza wa Jalla telah menggunakan perkataan (afa’) yang sememangnya bererti harta rampasan.

Perbezaan antara bahagian pertama dan kedua ayat bukanlah suatu ketidak-sengajaan tetapi demikianlah kehendak sebenar Allah ‘Azza wa Jalla kerana seandainya Allah menghendaki perintah atau larangan Rasulullah tersebut dibatasi oleh urusan harta rampasan perang sahaja, adalah memadai dengan bahagian pertama ayat tanpa pengulangan semula. Atau jika pengulangan diperlukan untuk menekankan authority Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam urusan harta rampasan perang, maka Allah ‘Azza wa Jalla pasti akan menggunakan lafaz yang khusus lagi membatasi, umpama: Dan barang-barang rampasan perang yang rasul memberi kamu, ambillah; dan barang-barang rampasan perang yang dia melarang kamu daripadanya, hentikanlah. Akan tetapi Allah Ta’ala tidak melakukan sedemikian maka siapakah pula kita untuk melakukannya?

Kemudian perhatikanlah pula bahagian ketiga ayat di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala sekali lagi berbicara dengan lafaz yang umum, memerintahkan umat untuk bertaqwa kepada-Nya dan mengancam keras sesiapa yang menyalahi perintah bertaqwa tersebut. Diulangi, bahawa Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan lafaz umum bagi menandakan bahawa ketaqwaan kepada-Nya adalah umum meliputi seluruh perintah atau larangan. Keumuman firman Allah dan gaya bahasa ayat menunjukkan bahawa perintah ini tidak terhad kepada urusan pembahagian harta rampasan perang sahaja.

Daripada penerangan di atas yang merujuk khusus kepada kaedah susunan ayat oleh yang Maha Bijaksana dan kemukjizatan gaya penyampaian al-Qur’anul Karim, jelas bahawa bahagian kedua ayat yang bermaksud: Apa sahaja yang rasul memberi kamu, ambillah; apa sahaja yang dia melarang kamu daripadanya, hentikanlah – adalah ditujukan umum kepada apa sahaja perintah dan larangan agama yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Termasuk dalam keumuman perintah dan larangan ini adalah urusan pembahagian harta rampasan perang.

Maka adalah tidak asing apabila kita dapati orang yang telah dipertanggung jawabkan untuk membaca, menyampai mengajar dan menghurai kitab al-Qur’anul Karim yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dengan sendirinya telah bersabda:

“Apabila aku memerintahkan kamu dengan sesuatu maka lakukanlah ia dengan semampu kamu dan apabila aku melarang kamu dengan sesuatu maka tinggalkanlah ia.” (Sahih: Hadis dikeluarkan oleh Abdurrazzaq, Ahmad, Muslim dan lain-lain dari Abu Hurairah radiallahu-anhu. Lihat Sahih Muslim, no. 1337. (Kitab al-Hajj, Bab Kewajipan Haji hanya sekali seumur hidup.))

Sabda beliau ini adalah selari dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sedang kita bahas: Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah kepada kamu maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarang-Nya kamu melakukannya maka patuhilah larangan-Nya.

Selain itu kita juga dapati para sahabat radiallahu ‘anhum, iaitu generasi yang hidup di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang hadir ketika turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan yang paling memahami konteks pengajaran serta tujuan ayat, sering merujuk kepada ayat ke 7 surah al-Haysr yang sedang kita bahaskan ini bagi membenarkan sesuatu perintah, larangan dan hukuman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

“Abdullah ibnu Umar dan Anas bin Malik radiallahu ‘anhum berkata, Abdullah ibnu Abbas pernah bertanya kepada orang ramai: Tahukah kalian firman Allah ‘Azza wa Jalla “Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarang-Nya kamu melakukannya maka patuhilah larangan-Nya”? (al-Haysr, 59: 7). Orang ramai menjawab: Ya!

Berkata lagi Ibnu Abbas: Tahukah kalian firman Allah ‘Azza wa Jalla “Dan tidaklah harus bagi orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan – apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan keputusan mengenai sesuatu perkara – (tidaklah harus mereka) mempunyai hak memilih ketetapan sendiri mengenai urusan mereka”? (al-Ahzab, 33: 36). Orang ramai menjawab: Ya!

Kemudian berkata lagi Ibnu Abbas: Maka sesungguhnya bersaksilah bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah melarang menyimpan buah (air jusnya) dalam bekas kayu yang dilubangi, dan (dalam) bekas kayu (pokok) kurma, dan (dalam) bekas yang diperbuat dari buah labu air, dan dalam bekas yang diminyaki (atau diwarnai).” (Sahih: Dikeluarkan oleh an-Nasai dalam Sunan al-Kabir, no. 5154; juga dikeluarkan oleh al-Hakim dalam al-Mustarak, no. 3798 (Kitab at-Tafsir, Tafsir surah al-Hasyr) tanpa sandaran kepada Anas bin Malik dengan susunan teks yang sedikit berbeza dan ia dinilai sahih oleh adz-Dzahabi) - Larangan ini adalah kerana minuman yang tersimpan sekian lama dalam bekas-bekas tersebut boleh menukar sifatnya kepada yang memabukkan (proses penapaian), sebagaimana dalam sebuah hadis lain yang senada dari Abu Salamah dan Abu Hurairah radiallahu ‘anhuma, di mana di akhir hadis tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menerangkan sebab larangan beliau: Setiap yang memabukkan adalah haram. Hadis ini dinilai sahih oleh al-Haithami, disebut oleh Fu’ad Abdul Baqi dalam Sunan Ibnu Majah, hadis no. 3401 dan seterusnya. (Kitab Urusan Minuman, Bab Larangan membuat minuman dalam beberapa jenis bekas atau benjana).

Dalam satu riwayat yang lain pula, Abdurrahman bin Yazid radiallahu-anhu pernah melihat seseorang yang sedang berihram (bagi ibadat umrah atau haji) dengan memakai baju, lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata: “Cuba bacakan kepada aku ayat al-Qur’an yang mengharuskan aku membuka baju.” Lalu Abdurrahman membaca ayat: Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarang-Nya kamu melakukannya maka patuhilah larangan-Nya. (Hasan: Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ ul-Bayan il-‘Ilmi wa Fadhlihi – no: 2338 dan dinilai hasan oleh pentahqiq – Abu al-Ashbal al-Zahiri.)

Seorang lagi sahabat yang masyhur, Abdullah ibnu Mas’ud radiallahu-anhu pernah menyampaikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang bermaksud: Allah melaknat para wanita yang bertatoo, yang berusaha bertatoo, yang mencabut bulu-bulu muka (bulu mata dan kening), yang mengubah-suai gigi supaya nampak lebih cantik dan dengan itu mereka merubah ciptaan Allah. Kemudian perkara ini sampai ke pengetahuan seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya’qub. Dia datang menemui Ibnu Mas’ud lalu berkata: Saya mendengar tuan melaknat wanita yang sekian-sekian. Ibnu Mas’ud berkata: Mengapa saya tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasul Allah dan Kitab Allah? Ummu Ya’qub berkata: Saya telah membaca al-Qur’an tetapi saya tidak mendapati apa yang tuan katakan itu. Ibnu Mas’ud menjawab: Kalau anda membacanya nescaya anda akan menemuinya. Tidakkah anda membaca ayat: Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarang-Nya kamu melakukannya maka patuhilah larangan-Nya? Ummu Ya’qub menjawab: Ya! (Sahih: Dikeluarkan oleh Ahmad, Bukhari dan lain-lain, lihat Sahih Bukhari, no: 4886. (Kitab at-Tafsir, Surah al-Haysr, Apa yang diberi oleh Rasul maka terimalah ia))

Penerangan-penerangan di atas, dari sudut perbahasan gaya penyampaian al-Qur’an, sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan penghujahan para sahabat radiallahu ‘anhum, jelas menolak pendapat segelintir pihak yang ingin membataskan kemutlakan ayat ke 7 surah al-Hasyr tersebut kepada maksud pembahagian harta rampasan perang sahaja. Yang benar ayat tersebut adalah mutlak membuktikan kuasa dan authority yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan kemutlakan ini adalah menyeluruh tanpa perlu dikira sama ada apa jua yang disuruh atau dilarang tersebut disokong sama oleh dalil-dalil al-Qur’anul Karim.

Kesimpulan:

Dalam penjelasan yang lepas, ia telah menunjukkan bahawa:

[1] Allah ‘Azza wa Jalla sejak dari awal telah mewajibkan ketaatan kepada para Nabi dan Rasul-Nya termasuk kepada mereka yang tidak diturunkan sebuah kitab suci. Ini jelas menunjukkan bahawa ketaatan kepada para Nabi dan Rasul ini adalah mutlak kepada apa sahaja ajaran, perintah dan larangan yang mereka sampaikan tanpa perlu ia dikandung atau disokong sama oleh sesebuah kitab suci.

[2] Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan ketaatan kepada Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan dua gaya atau susunan ayat, yang pertama adalah “Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya” manakala yang kedua adalah “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul”. Perbezaan susunan ayat ini bukanlah suatu ketidak-sengajaan tetapi setiapnya memiliki erti yang tersendiri. Susunan ayat yang pertama adalah bagi ajaran, perintah dan larangan Rasulullah yang dikandung sama oleh al-Qur’an manakala susunan ayat yang kedua adalah bagi ajaran, perintah dan larangan Rasulullah yang tidak dikandung sama oleh al-Qur’an. Hal ini lebih diperkuatkan lagi dengan hadirnya ayat-ayat yang memerintahkan ketaatan kepada Rasulullah dan ancaman bagi sesiapa yang mengikarinya secara tersendiri tanpa perintah atau ancaman ini diganding sama kepada kitab al-Qur’anul Karim.

[3] Allah ‘Azza wa Jalla juga dalam al-Qur’anul Karim telah beberapa kali menerangkan dengan jelas kuasa, hak, kewenangan dan authority yang Dia berikan kepada Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk menggubal dan melaksanakan sesuatu hukum syari’at agama. Dan Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita umat Islam untuk mentaati segala ajaran, perintah, larangan, dan hukum yang digubal oleh Rasulullah secara mutlak dan menyeluruh tanpa perlu disemak atau dirujuk sama ada ia terdapat di dalam al-Qur’an atau tidak.

3 hujah atau kesimpulan di atas jelas menunjukkan bahawa ajaran, perintah dan larangan yang disampaikan oleh seseorang Nabi atau Rasul Allah, adalah ia berdiri dengan sendirinya secara mutlak sebagai salah satu sumber syari’at tanpa perlu ia dikandung sama oleh dalil-dalil sesebuah kitab suci. Demikian juga, apa sahaja yang didakwah, diajar, diperintah, dilarang dan dihukum oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, adalah ia berdiri dengan sendirinya sebagai satu sumber syari’at Islam tanpa perlu ia dikandung sama oleh kitab al-Qur’anul Karim.

Dengan jelasnya asas dan dasar yang amat penting ini, tidak perlu lagi timbul persoalan, kemusykilan dan bantahan terhadap hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang bercanggah, berlainan atau tidak dikandung sama oleh al-Qur’an. Seperti hukum rejam dengan batu kepada penzina yang telah berkahwin, hukum larangan memakai emas dan sutera bagi lelaki, hukum batalnya wudhu’ dan sebagainya. Semua ini adalah hukum-hukum syari’at Islam yang digubal oleh Rasulullah berdasarkan kuasa dan authority yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya dan hukum-hukum ini wajib kita terima dan taati secara sendirinya tanpa mengambil kira sama ada ia selari atau tidak dengan hukum al-Qur’an. Bukankah al-Qur’an sendiri yang telah menerangkan kuasa dan authority Rasulullah sebagai penggubal hukum dan mewajibkan umat untuk mentaatinya secara mutlak? Justeru itu sesiapa yang ingin mentaati al-Qur’an hendaklah dia mentaati Rasulullah. Dan sesiapa yang ingin mentaati Allah ‘Azza wa Jalla hendaklah dia mentaati Rasulullah. Tidak ada perbezaan antara mentaati hukum-hukum dari Rasulullah atau mentaati hukum-hukum al-Qur’an kerana kedua-duanya itu tetap berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala juga pada dasarnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Sesiapa yang taat kepada Rasul, maka sesungguhnya ia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa’, 4: 80)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga telah bersabda:

“Dikhuatirkan seseorang duduk di atas kerusinya, dia menyampaikan hadis aku kemudian dia berkata: “Antara kami dan kamu ada Kitab Allah (al-Qur’an), apa yang kami dapati dihalalkan di dalamnya maka kami pun menghalalkannya dan apa yang kami dapati diharamkan di dalamnya maka kamipun mengharamkannya.” Ingatlah! Demi sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah maka ia adalah sama dengan apa yang diharamkan oleh Allah. (Sahih: Hadis dari Miqdam bin Ma’di al-Kariba radiallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Ahmad, at-Tirmizi, Ibnu Majah, ad-Darimi dan lain-lain; dinilai sahih oleh Hasain Salim Asad dalam Musnad ad-Darimi, no. 606 (Muqaddimah: Bab as-Sunnah penentu atas Kitab Allah Ta’ala))

Kekhuatiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di atas ditujukan kepada kemungkinan akan wujudnya orang-orang yang mempersoalkan hadis-hadisnya yang tidak dikandung sama oleh al-Qur’an, lalu akhirnya mereka hanya mengambil apa yang dihalal dan diharamkan oleh al-Qur’an sahaja. Sikap seperti ini diperbetulkan oleh Rasulullah, di mana beliau menyatakan bahawa apa yang beliau haramkan, maka ia adalah sama dengan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikianlah juga sebaliknya, apa yang diperintah atau dihalalkan oleh Rasulullah, maka ia juga adalah apa yang diperintah dan dihalalkan oleh Allah Ta’ala. Dalam ertikata lain, segala perintah dan larangan yang disampaikan beliau, ia berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perhatikan bahawa Rasulullah tidak mengaitkan apa yang diharamkannya dengan al-Qur’an tetapi dikaitkan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

http://bahaya-syirik.blogspot.com/

Sejarah Kemunculan Gerakan Anti Hadith

Semoga maklumat ini menjadi salah satu ilmu yg bermanfaat buat anda semua.

Sejarah Kemunculan Gerakan Anti Hadith

Generasi sahabat menerima dan mengiktiraf institusi Hadith sebagai sumber syarak. Mereka amat perihatin dan menunjukkan sikap kepatuhan yg amat tinggi terhadapnya. Namun, pada pertengahan kurun pertama hijrah, umat Islam telah diuji dengan kemunculan golongan yang tidak mahu menerima institusi tersebut sebagai hujjah syarak samada secara keseluruhan atau sebahagiannya. Golongan2 tsebut ialah:

1. Puak Syi'ah - Golongan ni berpegang kepada prinsip bahawa semua Sahabat Nabi kecuali beberapa orang daripada mereka adalah kafir kerana kononnya mereka telah murtad setelah kewafatan Baginda Rasulullah, atau sekurang2nya fasik kerana kononnya telah berlaku zalim dengan merampas hak Ali bin abi talib R.A sebagai khalifah selepas Baginda s.a.w. Mereka menolak majoriti sahabat termasuklah sahabat2 besar seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Aisyah, Tolhah, Az-zubair dan semua mereka yang terlibat dalam perselisihan dengan Ali. Justeru, mereka menolak kesemua Hadith yang diriwayatkan oleh para sahabat tersebut.

2. Puak al-Khawarij - Golongan ini sebenarnya terkeluar daripada Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah dalam sebuah hadith yang bermaksud:

" Mereka terkeluar daripada agama sebagaimana anak panah menembusi sasarannya ". (Al-Bukhari, t.th, 6: 376, no.3344).

Golongan ini dinamakan al-Khawarij yang bermaksud " orang2 yang keluar ", kerana mereka mengisytiharkan keluar daripada mentaati khalifah Islam. Ini berlaku selepas khalifah Ali bin Abi Talib r.a menerima perdamaian dengan Muawiyah R.A melalui " Majlis Tahkim ".

Seperti Syi'ah mereka juga menolak Hadith kerana berpegang kepada prinsip bahawa semua sahabat telah menjadi kafir selepas peristiwa pembunuhan Usman R.A. Golongan ini telah mengkafirkan Ali, Usman, sahabat yang terlibat dalam peperangan ' Jamal ' dan ' siffain ' serta mereka yang redha dengan " Majlis Tahkim ". Berdasarkan prinsip yang batil ini, mereka menolak Hadith kerana semua sahabat dikira tidak thiqah dan tidak boleh dipercayai.

3. Golongan al-Mu'tazilah - Ulama' al-Firaq seperti Abu Mansur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Baina al-Firaq dan Ash-Sharustani dalam kitabnya al-Milal Wa an-nihal, telah membahagikan kumpulan ini kepada lebih 20 puak, berdasarkan kepada pengasas2nya. Puak2 ini mengambil sikap yang berbeza2 terhadap Hadith, antaranya menolak secara keseluruhan dan menerima Hadith mutawatir sahaja tetapi menolak Hadith ahad. Antara puak2 yang masyhur daripada golongan ini ialah:

- Al-Wasiliyyah, iaitu pengikut2 Wasil bin Ata'. Golongan ini menolak sebahagian besar Hadith keranaa mereka ragu terhadap keadilan dan kethiqahan sahabat yang terlibat dalam perselisihan di zaman fitnah.

- Al-Amrawiyyah, iaitu pengikut2 Amr bin Ubaid. Sikap puak ini terhadap Hadith adalah sama dengan puak Al-Wasiliyyah.

- Al-Huzailiyyah, iaitu pengikut2 Abu Al-Huzail, Muhd bin Al-Huzail yang terkenal dengan gelaran Al-Allaf. Puak ini menolak Hadith ahad sahaja.

- An-Nazzamiyyah, iaitu pengikut2 Abu Ishaq Ibrahim bin As-Sayyar yang terkenal dengan gelaran An-Nazzam. Puak ini bukan sahaja menolak Hadith ahad, bahkan mereka mengatakan bahawa hadith mutawatir itu pun tidak sabit secara qat'ie sebagaimana pendapat ahli sunnah wal jamaah.

4. Golongan Anti Hadith Pada Zaman Moden

- Golongan Al-Mustasyriqun (orientalis). Sikap orientalis barat terhadap hadith adalah manifestasi sikap mereka terhadap Islam secara keseluruhannya. golongan ini mengkaji dan mendalami Islam bukan kerana iman tetapi untuk mencari titik kelemahan bagi merosakkan Islam supaya manusia tidak lagi tertarik kepada Islam. Mereka mencipta pelbagai andaian (hyphotesis) tentang kelemahan2 yang kononnya terdapat dalam Islam khasnya yang berkaitan dengan hadith dan kemudian mereka bina andaian2 tersebut dengan hujjah2 rekaan yang kononnya cukup saintifik. Sedangkan pada hakikatnya, hujjah2 tersebut terbukti amat longgar, mendedahkan pekong di dada mereka sendiri.

Golongan ini dipelopori oleh sarjana barat sperti Goldziher melalui bukunya Muhammadishe Studien yang dianggap sebagai " The Holy Bible of Orientalisme ". Begitu juga Joseph Schact seorang berbangsa Jerman yang terkenal dengan beberapa buah buku seperti The Origins of Muhammadan Jurisprudence.

- Golongan Al-Quraniyyun (Jemaah al-Quran). Kumpulan ini diasaskan pada tahun 1902M, di Lahore(ibu negeri punjab) oleh Abdullah Jakralawi. Dengan memakai label al-Quran, mereka kononnya menyeru supaya kembali kepada ajaran al-Quran, tetapi pada masa yang sama mengajak supaya meninggalkan Hadith melalui syubuhat2 yang sengaja direka oleh mereka bagi mengelirukan orang ramai.

Antara individu2 yang kuat mendokong gerakan ini ialah, Ghulam Ahmad Barwiz, Al-Hafiz Mohd Aslam, Ahmad Ad-Din dan Muhd Rashad Khalifa yang terkenal dengan ' kod 19 '.

- Golongan Al-Ilmaniyyun(sekularis). Golongan terdiri daripada ahli2 akademik Islam yang belajar di Barat, para wartawan dan karyawan2 majalah yang terpengaruh dengan idea2 orientalis barat dan idea2 golongan al-Quraniyyun. Mereka yang sepatutnya menjadi kader dakwah bagi umat Islam untuk mempertahankan Islam telah memilih untuk menjadi 'boneka' dan 'talibarut' musuh Islam di tanahair sendiri.

Dalam konteks negara2 Islam Timur Tengah, individu2 seperti Taufik Sidqi, Dr. Ismail Adham, Dr. Ahmad zaki Abu Shadi, Ahmad Amin, Mahmoud Abu Rayyah dikenali sebagai pelopor anti hadith di sana. Manakala dalam konteks Nusantara pula individu2 seperti Kasim Ahmad, Othman Ali(malaysia), Muhd Ircham Sutarto dan Nurhasan Ubaidah Lubis Amir(Indonesia) memang tidak asing lagi sebagai pencetus kontroversi tentang hadith.

Kemunculan dan gerakan anti hadith ini telah menarik perhatian ramai ulama' Islam semasa untuk mengkaji buku2 mereka serta menjawab segala tuduhan, dakwaan dan syubuhat yang dilontarkan. Antaranya ialah Prof. Dr. Muhd Mustafa al-A'zami melalui dua buah bukunya yang hebat iaitu Dirasat fi al-Hadith an-Nabawi dan Manhaj al-Muhaddithin fi Naqd al-Hadith, Prof. Dr. Muhd Mustafa as-Siba'ie melalui bukunya As-Sunnah Wa Makanatuha fi at-Tasyri' al-Islami, Sheikh Abd Al-Ghani Abd Al-Khaliq melalui bukunya Hujiyyat As-Sunnah dan lain2 lg.

Selasa, 21 Februari 2012

DISKUSI MASLAH KALIMAT IZA QUMTUM ILA SHALATI


  • assalmu'alikum
    · · · 2 jam yang lalu

      • Hendra Rajoangek siapa yg ngaku2 telah memahami isi kandungan Alqur'an,,,?
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko Ton njajal disini dulu, mau belajar ayat ini sama usta hendra
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Anton Wijoyo Kusumo Minyak eh nyimak
        sekitar sejam yang lalu melalui seluler ·
      • Hendra Rajoangek kalimat يا =nida أيها= munada,الذين = jamak taksir,آمنوا= fi'il mdhi pd maqam jamak muzakkar,إذا = isim isyarah,قمتم=fi'il madhi pada maqam jamak muzakkar mukhattab,إلى= huruf khafad,الصلاة=makhfud,فا= huruf 'ataf,غسلوا =fi'il 'amar و tanda jamak,.,.,.
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek و = 'ataf, جوه =isim 'Alam,كم = isim dhamir pd maqam jamak muzakkar mukhattab,وأيديكم = 'ataf,isim 'alam dan jamak,إلى= kahfad,المرافق = isim alif tanda tasniyah,,,وامسحوا = 'ataf wa ma'tuf,fi'il amar,,,
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek apa perlu dilanjut,,,,,,,,,,,,?
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko sini dulu mungkin teman2 yg nyimak pengin tau artinya monggo tad
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek برؤوسكم = jar wa majrur,jamak mukhatab,وأرجلكم ='ataf wa ma'tuf,jamak mukhattab,إلى الكعبين =khafad wa ma'fud,tasnyah,وإن= 'ataf wa 'amil nawasikh,كنتم = 'amil nawasikh saudara kana,jamak mukhattab,جنبا = isim masdar tanwin,,.,.,,..
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek ada yg perlu dipertanyakan,,?
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko bentar latop lagi ada trouble, tentu ada pertanyaan, lagi mikir
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko
        يأيها wahai
        الذين orang-orang yang
        ءامنوا (mereka) beriman
        إذا apabila
        قمتم berdiri/mengerjakan
        ...
        Lihat Selengkapnya
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek yg anda tanyakan hanya kalimat إذا قمتم ??
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko itu dulu tads
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko ‎[5:6] Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
        begini yg fersi depag
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek sbgaiman telah disebut diatas bahwa kalimat إذا adalah isim isyarah,artinya menunjuk pada suatu hal,,,dasar kalimatnya إذ (iz) atinya "ketika",إذا apabila,alif akhir menunjukkan waktu ketika mengertjakan ,,
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko mengerjakannya kenapa jadi hendak malah kebalikan dengan bentuk lampau "telah"? itu yg saya pikirkan
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek dalam kalimat إذا menunjukkan sebuah pekerjaan yg akan dimulai,,,atau saat hendak mengerjakan,,,maka disinilah ma'na "hendak' tersimpan,,,
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek sebagaiman kalimat إذ berarti tiba2/tatkala itu/ saat itu/,,
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Bara Jutek Emang sampeyan dah praktekan dlm khdupan sehari-hari ayat2 itu raja sangek.??
        sekitar sejam yang lalu melalui seluler ·
      • Abu Tsani Djoko masalahnya kenapa selanjutnya bentuk lampau, padahal justru yg lampau itu malah kata kerja
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek sedang kalimat قمتم berakhir kalimat تم yg bermaqam pada jamak mukhattab yg artinya sedang berhadapan/ sedang berada dihadapan,,,,
        sekitar sejam yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek kalimat تم artinya kamu,,,قمتم = berdiri kamu,,,sedang dalam terjemah biasa dikatakan kamu berdiri,,itu terbalik,,,
        59 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek m'na "hendak" terdapat dalam kalimat إذا ,,,bukan dalam kalimat قمتم
        57 menit yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko begini qumtum dalam kitab lain dijelaskan sebagai katakerja pasif, dalam bentuk lampau yg mengandung maksud sudah tidak dilakukan lagi atau sudah terjadi, gimana tuh tad
        56 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek dalam bentuk lampau itu adalah fi'il madhi utuh,,,yg kalimatnya adalah " qawama" ,,bukan qumtum,,,,tum kalimat akhir satu kalimat pula,,
        54 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek arti " hendak " terdapat bukan dalam kalimat qumtum,,,tapi dalam kalimat iza,,,
        52 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek sebagaimana "iza" isim isyarah yg menunjuk pd suatu hal yg akan dimulai,,,atau yg akan ditempuh,,,artinya apabila / tatkala itu,
        50 menit yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko apabila hendak telah mengerjakan untuk shola, jadi bingung terngkan yg ini gimana?
        47 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek hehehe,,bukan begitu artinya,,,,,qumtum bukanlah satu kalimat,,,ini dua kalimat qum dan tum,,,,qum kalimat utuhnya qawama,,,kalau qawama barulah artinya telah didirikan,,,kalau qum artinya berdiri"
        46 menit yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko terus tum artinya?
        44 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek tum satu kalimat lagi artinya kamu,,,qumtum = berdiei kamu,,bukan telah berdiri kamu,,,,,kalau telah berdiri kamu kalimatnya seharusnya bukan qumtum,,,
        44 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek kalau telah berdiri, kalimatnya "qawamtum" = telah berdiri kamu,,,.,.,.,,,sedang "qumtum" tanpa waw ditengah = berdiri kamu,,,
        42 menit yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko apabila hendak berdiri kamu untuk shola
        41 menit yang lalu · · 1
      • Hendra Rajoangek itu kalimatnya "qawamtum" bukan qumtum
        41 menit yang lalu ·
      • Abu Tsani Djoko oke saya paham, mungkin ini dulu, besok kapan2 bisa disambung, insyaallah
        salam...met bobok
        ALlah merahmatimu
        39 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek iza qawamtum= apabila hendak telah berdiri kamu,,,,,kalau qumtum= apabila hendak berdiri kamu,,,nah ini yg benar,,
        39 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek kalimat dalam alqur'an itu sangat detail,,hingga satu kalimat saja sudah berarti sangat dalam,,,seperti kalimat waw ditengah qumtum (hazaf) tdk ada maka arti "telah" pun tdk ada pula,,,,
        35 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek perhatikan ma'na lengkap dalam rangkaian kalimat ini ,,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ = "wahai semua orang-orang yang beriman, apabila/tatkala hendak berdiri kamu untuk shalat",,,,,,,,,,,,,,,,,arti ini dipersingkat oleh terjemah dengan "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat",,.,.,.,.,arti yg keliru dalam terjemah (apabila kamu hendak) yg benar "apabila hendak",,,dan arti (mengerjakan) ini arti yg salah,.,.,.,.,., قُمْ artinya bukan (mengerjakan) tapi "berdiri",,,,kalau mengerjakan kalimtnya bukan qawama,,tapi fa'ala,,,.,.,,"fa'ala salati" barulah artinya mengerjakan shalat,,,
        19 menit yang lalu ·
      • Hendra Rajoangek wassalam,,,
        beberapa detik yang lalu ·