Senin, 31 Oktober 2011

Seruan Menuju Kalimat Tauhid:Dalam Alqur'an Dan Alkitab


Seruan Menuju Kalimat Tauhid:
Tiada Tuhan selain Allah
Dan ketika Isa datang membawa keterangan, dia berkata, “Sungguh, aku
 datang kepadamu dengan membawa hikmah, dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu perselisihkan; maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Sungguh, Allah, Dia Tuhanku dan Tuhan-mu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.”  Qs. Az Zukhruf (43) : 63 – 64

Pembaca yang budiman, mempelajari sejarah agama Kristen membutuhkan kedewasaan iman. Kita dituntut untuk menerima adanya perbedaan-perbedaan, bahkan perbedaan yang bersifat fundamental sekalipun. Meskipun fakta-fakta sejarah Kekristenan tersebut bertentangan dengan iman kita, kita tetap dituntut untuk menanggapinya secara bijaksana. Jika setelah mempelajari sejarah Kekristenan, kita mengalami guncangan iman, maka nasehat Yakobus berikut ini perlu kita renungkan.
Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai percobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun. Tetapi apabila di antara kamu ada yang kurang hikmat, hendaklah dia memintakannya kepada Allah, maka hal itu akan diberikan kepadanya. Hendak-lah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang-orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan. Sebab orang yang men-dua hati tidak akan tenang dalam hidupnya. Yakobus 1 : 2-8
Satu-satunya jalan agar selamat dari guncangan iman yang bisa berujung pada kesesatan maupun kemurtadan ada-lah kita harus memiliki iman yang teguh kepada Allah. Sese-orang dapat memiliki iman yang benar apabila keimanannya tersebut disertai dengan pengetahuan yang benar. Seseorang tidak bisa dikatakan beriman apabila ia tidak mengetahui kebenaran apa yang diimaninya tersebut. Sedangkan barang siapa yang mengetahui kebenaran sesuatu tetapi tidak beriman kepadanya, maka ia termasuk golongan orang-orang yang ingkar (kafir).
Hendaknya setiap orang benar-benar berusaha mencari kebenaran hakikat Allah supaya keimanan mereka tidak mudah terombang-ambing oleh ajaran-ajaran palsu yang menyesatkan. Karena itu, Paulus menasehati jemaat di Efesus, sebagai berikut:
“Berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagai-mana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.
Dan Ia-lah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gem-bala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memper-lengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari padanyalah seluruh tubuh, menerima per-tumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.” Efesus 4 : 3-6, 11-16
Kesatuan iman dan kepercayaan yang teguh terhadap Allah yang Esa serta pengetahuan yang benar tentang Anak Allah mampu menyelamatkan kita dari ajaran-ajaran palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan. Apabila kita memelihara diri dalam kesatuan Roh Kudus maka kita akan mampu membedakan antara ayat-ayat Allah dan ajaran-ajaran palsu manusia sehingga kita tidak terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran yang menyesatkan.
Yesus menasehati pengikutnya untuk benar-benar menyelidiki kebenaran ajaran yang diajarkan oleh setiap orang yang mengaku sebagai rasul Kristus, padahal mereka adalah nabi-nabi palsu. Sebab dari ajaran-ajaran mereka itulah kita akan mengetahui apakah ajaran tersebut sesuai dengan agama yang dikhotbahkan, diajarkan dan dijalani Yesus?
“Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi se-sungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasil-kan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Matius 7 : 15-20
Sesunguhnya untuk mengetahui dan membedakan ajaran-ajaran Allah dan ajaran-ajaran palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan adalah mudah dan tidak rumit. Yakni, kita harus sepenuhnya mengerti bahwa nabi-nabi dan rasul-rasul Allah tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk menyembah dirinya. Sebab mereka diperintahkan untuk menyeru umat manusia supaya menyembah Allah yang Esa dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyem-bahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya.” Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu men-jadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi muslim? Qs. Ali Imran (3) : 79- 80

Ajaran Ketauhidan Allah dalam AlKitab Perjanjian Lama
Islam mengajarkan iman tauhid, yakni ajaran yang menyatakan bahwa Allah itu Esa, tiada Tuhan selain Dia. Islam pun mengajarkan kepada umatnya untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Tidak hanya Islam, AlKitab pun sesungguhnya mengajar-kan bahwa Allah itu Esa. AlKitab juga memerintahkan kita untuk menyembah Allah, serta melarang kita memper-sekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
“Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Ulangan 6 : 4 – 5
Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, Yang Mahakudus, Allah Israel, Juruselamatmu… Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi. Aku, Akulah TUHAN dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku. Yesaya 43 : 3, 10-11
”Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudi-an; tidak ada Allah selain dari pada-Ku. Kamulah saksi-saksi-Ku! Adakah Allah selain dari pada-Ku? Yesaya 41 4 : 6, 8
Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah. Akulah TUHAN tidak ada yang lain. Yesaya 45 : 5, 18
… Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku. Yesaya 46 : 9
Maka TUHAN (Allah) akan menjadi Raja atas seluruh bumi; pada waktu itu TUHAN adalah satu-satunya dan nama-Nya satu-satunya. Zakharia 14 : 9
Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tu-han, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak me-mandang bulu ataupun menerima suap. Ulangan 10:17
Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukan-kah satu Allah menciptakan kita? Lalu mengapa kita berkhianat satu sama lain dan dengan demikian mena-jiskan nenek moyang kita? Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Maleakhi 2:10,15
Nabi Daud as bersabda: “Sebab itu Engkau besar, ya Tuhan Allah, sebab tidak ada yang sama seperti Engkau dan tidak ada Allah selain Engkau. Maka nama-Mu akan menjadi besar untuk selama-lamanya, sehingga orang berkata: Tuhan semesta alam ialah Allah atas Israel. Engkaulah Allah dan segala firman-Mu-lah kebenaran.” 2 Samuel 7 : 22, 26, 28
Dalam ayat tersebut, nabi Daud mengatakan bahwa tidak ada yang sama seperti Allah dan tidak ada Allah selain Dia. Perkataan raja Daud ini semakin mempertegas sebuah keyakinan yang benar, yakni tiada tuhan selain Allah. Iman tauhid ini sesuai dengan yang diajarkan dalam AlQur’an, diantaranya dalam QS. Al Ikhlas (112).
Katakanlah : “Dialah, Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” Qs. Al Ikhlas (112) : 1-4.
Di alam semesta ini tidak ada Allah lain selain Dia. Dia adalah Allah  yang Esa. Dia bukan sekedar lebih unggul dari dewa-dewa yang lain, seperti cara berpikir henoteisme. Lebih dari itu, Dia memang tidak dapat dibandingkan dengan semua allah-allah dalam politeisme, sebab hanya Dia satu-satunya Allah yang sejati. Dia satu-satunya Allah yang menciptakan dan memerintah alam semesta. Hanya kepada-Nya manusia patut menyembah. (Kristi, 2009 : 30)

Bukti Kerasulan Yesus Kristus
Yesus Kristus mengajarkan bahwa Allah itu Esa dan dia hanyalah rasul Allah. Maka jangan heran jika Anda tidak pernah menemukan satu ayat pun dari AlKitab yang menun-jukkan bahwa Yesus memerintahkan murid-muridnya untuk menyembah dirinya. Sebaliknya, Yesus mengajarkan kepada umatnya untuk menyembah dan mengasihi Allah yang Esa.
“Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Markus 12 : 29 – 31
Tentunya ajaran Yesus tersebut bukanlah berasal dari dirinya sendiri, melainkan berasal dari Allah.
“Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku. Barang siapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaranku ini berasal dari Allah, entah aku berkata dari diriku sendiri.” Yohanes 7 : 16-17
Paulus pun mengajarkan kepada para jemaat Kristen purba bahwa Allah itu Esa, satu-satunya Allah yang benar, sebab tiada yang berhak disembah selain Dia.
”Tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain daripada Allah yang esa.” Sebab sungguhpun ada apa yang disebut ”allah”, baik di sorga, maupun di bumi, namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup. 1 Korintus 8: 4-6
Ataukah ada Allah hanya Allah orang Yahudi saja? Bukankah Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain? Ya, benar. Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain! Roma 3 : 29
Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikat-an damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagai-mana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua. Efesus 4 : 3 – 6
Murid-murid Yesus yang setia sesungguhnya telah beriman kepada Allah yang mereka akui sebagai satu-satunya Allah yang benar, serta mengakui Yesus  sebagai rasul Allah. Mereka juga mengajarkan tentang ketauhidan Allah. Ten-tang keimanan murid-muridnya, Yesus bersabda:
Mereka tahu benar-benar, bahwa aku datang dari pada-Mu, dan mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus aku.” Yohanes 17 :  6 – 8
“Inilah hidup  yang  kekal  itu,  yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus. Yohanes 17: 3
Dalam sabdanya tersebut, Yesus menyatakan bahwa ada dua jalan menuju kehidupan yang kekal di sorga nanti. Pertama, bersaksi bahwa Allah adalah satu-satunya Allah yang benar. Kedua, bersaksi bahwa Yesus Kristus adalah utusan Tuhan.
Tentang sikap murid-murid Yesus yang telah beriman tersebut, Allah berfirman:
Dan ketika Aku ilhamkan kepada pengikut-pengikut Isa yang setia, “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku.”
Mereka menjawab, “Kami beriman dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslim).” QS. Al Maaidah (5) : 111
Namun setelah Yesus diangkat ke sorga, sebagian murid-muridnya berpaling dari kebenaran tersebut.
Sungguh, Kami telah menurunkan ayat-ayat yang memberi penjelasan. Dan Allah memberi petunjuk ke-pada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. Dan mereka berkata, “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagi-an dari mereka berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang beriman. Dan apabila mereka di-ajak kepada Allah dan rasul-Nya, agar (rasul) memu-tuskan perkara di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak. QS. An Nuur (24) : 46-48
Tidak hanya mengingkari kebenaran yang telah mereka terima dari Yesus, mereka juga mengajarkan ajaran-ajaran palsu, mengusir setan, dan mengadakan mujizat-mujizat demi nama Yesus. Mereka pun mengajarkan kepada umat Kristen bahwa Yesus memerintahkan mereka untuk menyem-bahnya. Padahal Yesus hanya menyeru umatnya untuk menyembah Allah yang Esa serta menaati segala kehendak dan perintah Allah. Karena itu, Yesus membantah tuduhan ter-sebut. Allah memberitakan tentang bantahan Yesus terha-dap tuduhan umatnya dalam sebuah firman:
Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam! Engkau-kah yang mengatakan kepada orangorang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan se-lain Allah?”
(Isa) menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak patut ba-giku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku per-nah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahui-nya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib.” Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), “Sem-bahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu,” dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” QS. Al Maaidah (5) : 116-118
Firman Allah ini merupakan bukti bahwa Yesus Kristus tidak pernah memerintahkan umatnya untuk menyembah dirinya. Sebab, dalam Injil, Yesus justru telah berkali-kali menyatakan bahwa dirinya hanyalah utusan Allah.
Namun umat Kristen telah jatuh dalam kemurtadan besar. Sebab mereka mempertuhankan Yesus. Padahal Yesus tidak pernah memerintahkan mereka untuk menyembah dirinya. Sebaliknya, Yesus menyatakan bahwa dirinya tidak mengenal orang-orang yang mempertuhankan dirinya. Bahkan dia menyebut mereka sebagai pembuat kejahatan.
“Bukan setiap orang yang berseru kepadaku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengada-kan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyah-lah dari padaku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Matius 7:21–23
Sabda Yesus tersebut di atas menegaskan bahwa orang yang masuk ke dalam Kerajaan Sorga bukanlah yang menyebut Yesus: Tuhan, Tuhan! Tetapi orang yang masuk ke dalam Kerajaan Sorga adalah orang-orang yang melakukan kehendak dan perintah Bapa di sorga, yaitu Allah yang Esa. Padahal gereja-gereja pada masa sekarang mengajarkan kepada umatnya untuk menyebut Yesus: Tuhan!
Yang lebih mengherankan lagi, Yesus menyatakan bahwa dia tidak mengenal orang-orang yang menyebut dirinya Tuhan, serta bernubuat, mengusir setan, dan mengadakan banyak mujizat demi nama Yesus. Justru sebaliknya, Yesus menyebut mereka sebagai pembuat kejahatan, sehingga ia mengusir mereka dari hadapannya. Mengapa Yesus tidak mengenal mereka? Hal ini bisa terjadi karena kekristenan jaman sekarang kebanyakan telah meninggalkan agama yang dikhotbahkan, diajarkan dan dijalani Yesus. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Dr. Harry Emerson Fosdick:
Kekristenan pada jaman sekarang kebanyakan telah meninggalkan agama yang dikhotbahkan, diajarkan dan dijalaninya (Yesus Kristus), dan telah menggantikannya dengan semacam agama yang sama sekali lain.
Jika Yesus datang kembali ke bumi sekarang, mendengar cerita-cerita agama yang dipusatkan di sekelilingnya, melihat praktek-praktek kepercayaan, pemberian nama, sakramen yang diadakan dalam namanya, maka pastilah dia akan mengatakan: “Jika ini kekristenan, aku bukan seorang Kristen.” (Liahona : The Elder’s Journal, April 1926, hlm. 424)
Lantas, apakah kehendak Allah yang dimaksud oleh Yesus Kristus?
“Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada dia (Yesus) yang telah diutus Allah.” Yohanes 6 : 29
Yesus menyatakan bahwa kehendak Allah adalah hendak-nya kita percaya bahwa Yesus itu telah diutus oleh Allah. Dengan kata lain, Allah berkehendak supaya kita percaya bahwa Yesus Kristus itu adalah rasulullah.
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataanku dan percaya kepada Dia yang mengutus aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup.” Yohanes 5 : 24
Dalam sabdanya tersebut, Yesus menyatakan bahwa barang siapa mendengar perkataan Yesus dan percaya ke-pada Allah yang mengutusnya, maka orang tersebut akan masuk surga. Ini membenarkan sabda Yesus yang menyata-kan bahwa hanya orang yang melakukan kehendak Allah yang akan masuk sorga.
Sungguh, sabda Yesus tersebut telah membuktikan kepada kita bahwa dia hanyalah seorang rasulullah. Tidak ada alasan bagi kita untuk mempertuhankan Yesus sebagai sembahan lain di sisi Allah.
Dia (Isa) tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan nikmat (kenabian) kepadanya, dan Kami ja-dikan dia sebagai contoh bagi Bani Israil. Dan sungguh, dia benar-benar menjadi pertanda akan datang-nya hari Kiamat. Karena itu, janganlah kamu ragu-ragu tentang (Kiamat) itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus. Dan janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh setan; sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.
Dan ketika Isa datang membawa keterangan, dia berkata, “Sungguh, aku datang kepadamu dengan mem-bawa hikmah, dan untuk menjelaskan kepadamu sebagi-an dari apa yang kamu perselisihkan; maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Sungguh, Allah, Dia Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.” Qs. Az Zukhruf (43) : 59, 61-64
Tetapi, jika di antara Anda masih ada orang-orang yang beriman, mempertuhankan dan menyembah Yesus, maka ke-tahuilah bahwa Allah sangat menghormati hak asasi manusia dalam memeluk suatu agama yang diyakininya.
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama, sesung-guhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Qs. Al Baqarah (2) : 256
Ketahuilah bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan segala perbuatan kita. Apa bila kita melakukan perbuatan-perbuatan dosa, maka kita akan mendapatkan azab dari-Nya. Sebaliknya, jika kita bertakwa dan selalu berusaha men-dekatkan diri kepada-Nya, maka Allah akan melimpahkan rahmat dan kasih-Nya kepada kita. Dan, Dia akan memberi-kan pahala kepada orang-orang yang menyambut Nabi dan Rasul yang diutus-Nya sebagai Nabi dan Rasul, serta mene-gakkan ajaran-ajaran para Nabi dan Rasul itu dengan amal agama yang sempurna.
Tentang upah bagi orang yang mengikuti ajarannya, Yesus Kristus bersabda:
Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut aku, dan barangsiapa menyambut aku, ia menyambut Dia yang mengutus aku. Barangsiapa menyambut Nabi sebagai Nabi, ia akan menerima upah Nabi, dan barang-siapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar.” Matius 10:40-41
Yesus menyatakan bahwa barang siapa yang menyambut Nabi sebagai Nabi, ia akan menerima upah Nabi. Barang siapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah sebagai apakah kita menyambut Yesus?

Yesus Kristus Tunduk dan Patuh pada Kehendak Allah
Sungguh, Yesus telah berkali-kali menyatakan bahwa dirinya adalah rasulullah. Apakah Anda masih ragu atas ke-rasulan Yesus? Masihkah Anda percaya bahwa Yesus adalah Allah, padahal kuasa Allah lebih besar dari pada Yesus?
Jika kita adalah orang-orang yang berakal pastilah kita akan menyembah kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Namun jika Anda masih percaya bahwa Yesus Kristus adalah tuhan, maka renungkanlah firman berikut ini:
Sungguh, telah kafir orang yang berkata, “Sesung-guhnya Allah itu dialah Al Masih Putra Maryam.” Kata-kanlah (Muhammad), “Siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putra Maryam beserta ibunya dan seluruh (manusia) yang berada di bumi?” dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. QS. Al Maaidah (5) : 17
Membaca firman tersebut, membuat kita berpikir: ma-nakah yang lebih berkuasa, Allah atau Yesus? Tentunya yang lebih berkuasa adalah Allah; sehingga jika Allah hendak membinasakan Yesus dan ibunya, Maria, maka Yesus pasti tak kuasa menolak kehendak Allah itu. Sebab Yesus diutus ke dunia untuk melaksanakan perintah dan kehendak Allah.
Jika Allah berkehendak untuk membinasakan dirinya, maka Yesus tidak akan mampu menyelamatkan dirinya dan mengelak dari kehendak Allah tersebut. Bahkan ketika Allah berkehendak menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi yang berniat membunuhnya, maka dia harus menuruti kehendak tersebut. Meskipun merasa sedih dan gentar, Yesus harus tetap menggenapi kehendak Allah. Hal ini dapat kita ketahui dari doa Yesus kepada Allah sesaat sebelum Anak Manusia diserahkan.
Maka sampailah Yesus bersama-sama murid-murid-nya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu ia berkata kepada murid-muridnya: “Duduklah di sini, sementara aku pergi ke sana untuk berdoa.” Dan ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus sertanya. Maka mulailah ia merasa sedih dan gentar, lalu katanya kepada mereka: “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan aku.” Maka ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa: “Ya, Bapa-ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaku, tetapi janganlah seperti yang kuke-hendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”
Setelah itu ia kembali kepada murid-muridnya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan ia berkata kepada Petrus: “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tapi daging lemah.”
Lalu ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, katanya: “Ya Bapa-ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” Matius 26 : 36-42
Dari doa Yesus tersebut; dapat disimpulkan bahwa Yesus memiliki kehendak supaya Anak Manusia tidak di-serahkan kepada kebinasaan. Tetapi Yesus menyadari bahwa ia datang ke dunia ini untuk melakukan segala perintah dan kehendak Allah, sebab ia adalah utusan Allah. Karena itu, ia berdoa supaya kehendak Allah yang berlaku atas dirinya, bukan kehendaknya sendiri. Namun ketika dia mengetahui bahwa ‘hari ketika Anak Manusia akan diserahkan’ semakin dekat, maka ia semakin ketakutan.
Takut akan apa? Tentunya takut akan mati. Tak ada satupun manusia di dunia ini yang tak takut mati. Mungkin bisa jadi ada orang yang berkata, “Aku tidak takut mati, tetapi aku malah menghendaki kematianku,” bolehlah ia ber-kata demikian; tetapi ketika malaikat maut menjemputnya, maka ia akan merasakan ketakutan yang luar biasa. Yesus pun demikian, di taman Getsemani dia ketakutan; hatinya sedih dan gentar, ia pun berkata kepada Petrus dan kedua anak Zebedeus, “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan aku.”
Bagi mereka yang mempercayai Yesus sebagai rasul Allah, maka mereka akan memaklumi kesedihan dan ketakut-an Yesus tersebut. Bahkan mereka akan bersimpati dan ber-dukacita atas pengorbanan Yesus dalam memberitakan risalah Allah. Dia rela mati demi menaati perintah Allah dan mengajarkan ajaran-ajaran-Nya sebagai pentunjuk dan cahaya bagi bani Israil. Sehingga selayaknya mereka yang mengaku beriman kepada Allah, meneladani sifat Yesus dalam memperjuangkan agama Allah.
Tetapi bagi mereka yang percaya bahwa Yesus itu tuhan; maka mereka seakan tak percaya, bagaimana mungkin se-seorang yang mereka percayai sebagai tuhan mereka, justru merasa takut dan meminta murid-muridnya untuk menjaga dirinya? Pantaskah tuhan merasa takut? Bukankah tuhan itu harusnya Maha Kuasa atas segala sesuatu, sehingga apa susahnya bagi tuhan untuk membinasakan musuhnya terlebih dahulu, sebelum mereka membunuhnya? Jadi, untuk apa Yesus – yang dianggap tuhan itu – merasa takut?
Lebih mengherankan lagi, pantaskah seorang tuhan me-minta kepada murid-muridnya untuk berjaga-jaga bersama-nya? Begitu lemahnya sosok Yesus sebagai tuhan, dia tidak mampu menjaga dirinya sendiri, sehingga merasa perlu me-minta bantuan murid-muridnya untuk berjaga bersama-sama dia. Keheranan kita pasti akan semakin bertambah besar apabila menelaah kisah Yesus di Taman Getsemani dalam Injil Lukas, sebagai berikut:
Lalu pergilah Yesus ke luar kota dan sebagaimana biasa ia menuju Bukit Zaitun. Murid-muridnya juga mengikuti dia. Setelah tiba di tempat itu ia berkata kepada mereka: “Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” Kemudian dia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu ia berlutut dan berdoa, katanya: “Ya Bapa-ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari padaku; tetapi bukanlah kehen-dakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”
Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepadanya untuk memberi kekuatan kepadanya. Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh ber-doa. Peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah. Lalu ia bangkit dari doanya dan kembali kepada murid-muridnya, tetapi ia mendapati mereka sedang tidur karena dukacita. Katanya kepada mereka: “Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoa-lah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam percobaan.” Lukas 22 : 39-46
Dalam Injil Lukas tersebut dikisahkan bahwa seorang malaikat datang kepada Yesus untuk memberi kekuatan ke-padanya. Tapi ia tetap merasa sangat ketakutan sehingga peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah. Karena itu, ia semakin bersungguh-sungguh ber-doa. Membaca kisah tersebut, kita pasti semakin dibuat bertanya-tanya. Pantaskah seorang tuhan masih membutuh-kan pemberian kekuatan dari malaikat? Bagaimana mungkin Yesus yang dianggap tuhan itu merasa sangat ketakutan sehingga peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah?
Dalam kisah Yesus di Taman Getsemani tersebut, kita dapat melihat sisi kemanusiaan Yesus. Sebagaimana manusia biasa yang mengalami takut akan mati, Yesus juga merasa sedih dan gentar menjelang hari Anak Manusia diserahkan. Sebagaimana manusia biasa yang membutuhkan pertolongan dan dukungan kekuatan saat menghadapi pencobaan, Yesus pun meminta kepada murid-muridnya untuk berjaga-jaga bersamanya. Bahkan malaikat Tuhan juga datang untuk mem-berikan kekuatan padanya. Yesus pun semakin bersunguh-sungguh berdoa kepada Allah, supaya kehendak Allah-lah yang terjadi, bukan kehendak pribadinya.
Doa Yesus kepada Allah itu merupakan bukti bahwa dia menundukkan dirinya kepada kehendak Allah, sebagai bukti pengabdian dan kehambaannya. Jadi, mengapa di antara kita masih ada yang menyembah Yesus?
Hanya Allah Yang Maha Kuasa, dan Yesus sendiri menya-takan bahwa Allah adalah satu-satunya Allah yang benar (Injil Yohanes 17 : 3). Jadi, mengapa kita tidak bertuhan kepada Allah yang Esa dan menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya iman, serta tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun?
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang keba nyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?
Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan. Qs. Al Maaidah (5) : 59, 65

Lenyapnya Iman Tauhid Dalam Kristen


LENYAPNYA IMAN TAUHID DALAM KRISTEN

Dr. Muhammad Ataur Rahim, menyatakan bahwa pada abad pertama sepeninggal Yesus, murid-murid Yesus masih tetap mempertahankan ketauhidan secara murni. “Hal ini dapat dibuktikan dalam naskah The Shepherd (Gembala) karya Hermas, yang ditulis sekitar tahun 90 Masehi. Menurut Gereja, naskah itu termasuk kitab kanonik (yang dianggap suci). Di antara isi dari naskah tersebut berbunyi, ‘Pertama, percayalah bahwa Allah itu Esa. Dialah yang menciptakan  dan  mengatur  segalanya.  Dia  menciptakan  sesuatu dari tiada menjadi ada. Dia meliputi segala sesuatu, tetapi dia ti-dak diliputi oleh apa pun…’” Bahkan menurut Theodore Zahn, sebagaiman dikutip EJ. Goodspeed di dalam Apostolic Fathers, sampai dengan sekitar 250 Masehi, kalimat ke-imanan umat Kristen masih berbunyi, “Saya percaya kepada Allah yang Maha Kuasa.”[1]
Agama Kristen pada awalnya menganut ajaran monoteisme, kepercayaan kepada satu Allah yang benar, seperti yang diajarkan oleh agama Yahudi. Sebab Yesus tidak membawa syariat baru. Dia datang ke dunia untuk menegakkan hukum Taurat.
“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Sesungguhnya selama belum  lenyap  langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Matius 4:17-18
E. F. Scott dalam Encyclopedia of Religion (Frem, 1964:170) mengungkapkan bahwa Gereja Kristen purba meniru tradisi Yudaisme dalam hampir semua segi. Mereka menganggap diri mereka sebagai “Israel baru” dan mengenakan nama ecclesia, salah satu nama yang dipakai dalam kitab-kitab Perjanjian Lama untuk menyebut himpunan orang Israel. Angota-anggota gereja Kristen purba mayoritas, bahkan mungkin seluruhnya, orang Yahudi.
Yesus sendiri menyatakan dirinya diutus Allah hanya kepada bangsa Israel, bukan kepada seluruh umat manusia.
“Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” Matius 15 : 24
Bahkan ketika mengutus dua belas muridnya untuk mewartakan Injil di tanah Palestina, Yesus bersabda:
”Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Matius 10 : 5-6
Yesus secara khusus memerintahkan murid-muridnya untuk tidak mewartakan injilnya kepada orang-orang non-Yahudi, tetapi membatasi ajarannya untuk ”domba-domba yang tersesat dari tanah Israel”. Lebih jauh, Yesus juga memerintahkan murid-murid itu untuk tidak memasuki kota-kota kaum Samaritan, yaitu, orang-orang campuran Assiria dan keturunan Israel, yang melaksanakan jenis agama Yahudi mereka sendiri, lengkap dengan versi Taurat mereka. Dengan pembatasan ini, Yesus konon membatasi misinya dan misi murid-muridnya, bukan hanya untuk ”domba-domba yang tersesat dari tanah Israel”, tetapi juga hanya untuk salah satu segmen dari ”domba-domba yang tersesat itu”, yaitu mereka yang nenek-moyangnya tidak ”tercemar” dengan darah Assiria.[2]
Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena ketika abad ke-2 M pekabaran Injil semakin meluas dan menjangkau bangsa non-Yahudi, yakni bangsa Yunani yang ber-kebudayaan Hellenistik. Tokoh kuncinya adalah Paulus. Paulus menganggap bahwa arti Yesus tidak hanya diperuntukkan bagi bangsa Yahudi, tetapi  bersifat universal, sehingga dengan giat ia membawa risalah Yesus kepada bangsa non-Yahudi. Keputusan ini mungkin sebab utama keretakan yang pertama di kalangan pengikut Yesus.
Apakah keputusan Paulus itu benar atau tidak? telah diputuskan oleh para pendeta Kristen  pada  konsili di Jerusalem, di mana mereka setuju bahwa keputusan Paulus adalah benar. Pertimbangan dari keputusan itu tercatat dalam Kisah Rasul 15. Maka, gerakan Kristen berubah dari sekelompok kecil yang berakar pada agama Yahudi menjadi sekelompok besar dengan risalah yang bersifat universal.[3]
Konsili Yerusalem 49 M juga membebaskan umat Kristen non-Yahudi dari ritual  sunat  (khitan)  dan  upacara-upacara Yahudi. Banyak orang Yudeo-Christian yang menentang perlakuan khusus ini. Kelompok ini memisahkan diri dari Paulus karena menganggap Paulus telah berkhianat dan menyimpang dari ajaran Yesus.
Hingga 70 M, kelompok Yudeo-Christian merupakan mayoritas dalam gereja. Ketua kelompok Yudeo-Christian  adalah Jacques seorang kerabat Yesus. Ia didampingi oleh Pe-trus dan Yohanes. Keluarga Yesus memegang peranan penting dalam kelompok Yudeo-Christian. Namun sejak pemberontakan Yahudi terhadap Romawi dan jatuhnya Yerusalem pada 70 M, keadaan menjadi terbalik. Aliran Yudeo-Christian dimusuhi dan dijauhi di seluruh wilayah kekuasaan Romawi. Sebaliknya, ajaran Paulus makin populer. Ajaran ini makin lama makin jauh dari sumber aslinya dan cenderung merupakan agama baru. Bahkan bentuk pemberitaan Injil pun mengalami pergeseran dari alam pikir Yahudi ke Yunani.
Ketika dalam abad ke-2 M titik berat gereja dan begitu juga teologinya  bergeser  secara  definitif  dari  lingkungan Palestina ke dunia pemikiran Yunani, maka gereja menghadapi  keperluan  mendesak  untuk  mengungkapkan imannya dalam suatu  bentuk  yang  dapat  dipahami  secara  atau mengikuti cara berpikir Yunani. Akibatnya adalah masuknya cara berpikir metafisik menggantikan bentuk-bentuk berbicara AlKitab yang bersifat konkret. Sebagaimana kita ketahui, pemikiran Yunani berbeda dari pemikiran AlKitab terutama dalam hal ini yaitu, bahwa bagi AlKitab Allah menyatakan diri-Nya dalam sejarah, sedangkan bagi pemikiran Yunani Allah dilihat sebagai yang didasarkan atas keberadaan yang metafisika. (Lohse, 1994:51)
AlKitab mengajarkan bahwa Allah itu adalah suatu Roh, kekal, tidak terikat, tidak terbatas dan tidak berubah. Allah itu transenden, sangat jauh, tetapi Dia imanen, hadir. Dia sangat berkuasa dan hadir di mana-mana, yang melihat segala sesuatu dan memerintah alam semesta. Karena Ia adalah suatu intelegensia yang mahatinggi, yang tidak memiliki tubuh, atau bentuk, atau warna, dan yang tidak dapat ditangkap panca indera.  Hanya ada satu Allah yang hidup dan benar, kekal, tanpa tubuh atau anggota badan, dengan kekuatan, kebijaksanaan dan kebaikan yang tak terbatas, pencipta dan pelindung segala sesuatu. Karena itu, bangsa Yahudi yang taat pada hukum Taurat Musa menyakini bahwa keberadaan Allah sudah tidak perlu dipertanyakan, apalagi dibuktikan, sebab Ia sudah nyata-nyata berkarya menciptakan alam semesta.
Yahweh selalu merupakan allah yang transenden, yang mengarahkan umat manusia dari atas dan dari luar… Doktrin resmi apa pun akan membatasi misteri terdalam Allah. Para Rabi menunjukkan bahwa Dia sama sekali tak terpahami. Bahkan Musa pun tidak mampu menembus misteri Allah. Setelah pencarian panjang, Raja Daud telah mengaku bahwa sia-sia belaka mencoba untuk memahami-Nya, karena Dia terlalu tinggi untuk pikiran manusia. Orang-orang Yahudi bahkan dilarang untuk menyebut nama-Nya, sebuah amaran yang keras bahwa setiap upaya untuk mengungkapkan Dia tidaklah memadai: nama ilahi itu dituliskan YHWH dan tidak diujarkan dalam pembacaan kitab suci yang manapun. (Armstrong, 1993:73-74)
Dzat Allah SWT lebih besar dari apa yang dikuasai oleh akal manusia, dari apa yang terjangkau oleh pikiran-pikiran manusia atau yang mungkin diduga oleh akal dan pikiran manusia. Akal dan pikiran manusia terbatas; Allah SWT menguasai segala batas yang membatasi akal pikiran manusia. Karena itu, akal pikiran manusia tidak akan pernah mampu mengetahui Dzat Allah SWT.
Ajaran agama melarang manusia untuk memikirkan Dzat Allah, tetapi lebih baik memikirkan ciptaan-Nya. Sikap tersebut sama sekali bukan pengekangan terhadap kebebasan berpikir atau dukungan bagi kebekuan wawasan, melainkan sikap yang menyadari keterbatasan diri manusia, yang akan menolong manusia agar tidak terperosok dan tersesat oleh pemaksaan di luar batas kemampuannya. Akal pikiran dilindungi dari usaha mencoba-coba yang tidak mempunyai kelengkapan sarana. Mengenai hal ini, Allah berfirman:
“Allah mempunyai sifat Yang Maha Tinggi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Qs. An-Nahl (16) ayat 60
Sikap seperti itu sama sekali tidak mengurangi wujud-Nya. Wujud-Nya nyata bersemayam di dalam setiap jiwa, tercermin dengan jelas pada keajaiban dan keindahan segenap ciptaan serta keagungan tanda-tanda-Nya. Bahkan, orang-orang kafir pun bila ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka tentu akan menjawab: “Allah.”
Dan jika engkau bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Pasti mereka akan menjawab, “Allah.” Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran). Dan jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu dengan (air) itu dihidupkannya bumi yang sudah mati?” Pasti mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,” tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti. Qs. Al Ankabut (29) : 61, 63
Pencipta alam tidak berwujud fisikal, karena wujud fisikal, dapat disentuh dan dirasa, dan memerlukan tempat dan ruang. Seperti matahari, bulan, planet-planet, pohon, laut, manusia, hewan, tumbuhan, dan sebagainya. Dzat Tuhan tidak terbatas. Dia bukan fisik, tidak berbentuk dan tidak akan memerlukan tempat dan ruang. Dia menguasai dan memerintah di semua tempat.
(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Milik-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Qs. Asy Syuura (42) : 11-12
Tapi alam pikir Yunani jelas tidak puas dengan keimanan bangsa Yahudi yang menyakini bahwa keberadaan Allah tidak perlu dipertanyakan lagi. Yunani sudah terkenal sebagai tempat lahirnya para filsuf purba: Thales, Socrates, Heraklitos, Parmenides, juga dua filsuf besar Plato dan Aristoteles. Metafisika adalah jantung dari filsafat karena metafisika menyediakan dasar yang terakhir dan prinsip-prinsip yang tertinggi bagi masing-masing bidang tertentu dari penelitian filosofis (Bagus, 2000:630). Pendek kata, alam pikir Yunani senang berpikir abstrak dan berspekulasi, membuat teori tentang hakikat (yang tak terlihat) dari kenyataan yang terlihat (Kristi, 2009:77).
Ketika orang-orang Yunani menjadi Kristen, mereka mencerna AlKitab dalam alam pikir mereka. Mereka mencoba untuk menciptakan gagasannya sendiri tentang keberadaan Allah sehingga banyak bermunculan berbagai aliran teologis. Zaman itu dikenal sebagai zaman patristik (abad pertama hingga abad keempat Masehi). Disebut zaman patristik karena pada zaman ini, umat kristiani terbelah dalam berbagai aliran teologis yang dianut oleh para patris (imam atau pendeta tinggi).
Basilides (90-150 M) menjelaskan bahwa Tuhan Perjanjian Baru yang digambarkan Paulus adalah Tuhan Bapak Yang Tertinggi yang menjadi sumber cinta kasih. Kristus adalah Anak dari Tuhan Bapak. Kristus dikirim oleh Tuhan Bapak untuk menolong manusia dari cengkeraman hukum keadilan Tuhan versi Perjanjian Lama.
Markion (100-160 M), sepaham dengan Basilides tentang adanya dua macam Tuhan. Markion berpendapat Yesus bertubuh maya bukan sebagai manusia kongkret. Namun, aliran ini hanya mengakui injil Lukas dan 10 surat kiriman Paulus. Aliran ini juga sangat membenci Tuhan versi Perjanjian Lama, yang dianggap berperan dalam penyaliban Yesus.
Ireneus (150-202 M). Patris ini tidak menerima konsep dua Tuhan. Menurutnya, Tuhan Perjanjian Baru dan Tuhan Perjanjian Lama adalah satu. Ireneus juga menolak konsep Yesus bertubuh maya. Menurutnya, Yesus adalah benar-benar jelmaan Tuhan.
Tertullianus (155-220 M). Aliran ini sejalan dengan ajar-an Paulus, terutama tentang dosa warisan. Ia mencoba menyempurnakan konsep dosa warisan secara filosofis menurut hukum sebab akibat. Tentang ketuhanan Yesus, Tertullianus menganggap Yesus sebagai Tuhan yang lebih rendah daripada Tuhan Yang Tertinggi.
Arius (270-350 M) adalah seorang pendeta dari Alexandria yang teguh memegang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Konsep Arius tentang Ketuhanan menimbulkan kontroversi besar. Karena berbeda dengan kebanyakan patris, Arius menolak konsep ketuhanan Yesus.
Menurut Arius, Yesus itu makhluk, tak sehakikat dengan Allah. Sifat-sifat ketuhanan pada Yesus bukan sifat yang hakiki, melainkan anugerah dari Allah. Ketika pertama kali melontarkan konsepnya, Arius adalah seorang prebister (imam kecil). Karena ajarannya, Arius diusir dari Alexandria. Namun pendapatnya mendapat dukungan dari uskup-uskup Nicomedia, Maradonia, Palestina, Assiut, dan bahkan Konstantinopel. Faham Arius itu dengan cepat mendapat pengaruh di Mesir, Palestina, dan Konstantinopel.
Arius ingin menekankan perbedaan esensial antara Allah yang unik dengan semua ciptaan-Nya. Pengakuan iman Arius berbunyi: “Kami mengaku satu Allah yang satu-satunya tidak diperanakkan, yang satu-satunya kekal, yang satu-satunya tanpa awal, yang satu-satunya benar, yang satu-satunya tidak dapat mati, yang satu-satunya bijaksana, yang satu-satunya baik, yang satu-satunya Tuhan, yang satu-satunya hakim bagi semua”. (Armstrong, 1993:109)
Ajaran Arius sesuai dengan sabda Yesus, “…mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Yohanes 17:3
Athanasius (uskup Alexandria) adalah patris yang paling keras menentang Arius. Athanasius[4] (298-373 M) sangat teguh berpendapat bahwa Yesus itu satu hakikat (homo ousius) dengan Allah. Ia mengajarkan bahwa Anak (Yesus) bukan makhluk dan setengah Tuhan atau Tuhan yang kedua. Dia satu zat dengan Tuhan Bapak dalam segala-galanya. Ketika Anak itu datang ke dunia, itu berarti Tuhan sendiri yang datang menyelamatkan manusia.
Menurut Athanasius, Anak mempunyai hakikat, sifat, dan kekekalan esensi yang sama dengan Bapa. Di antara keduanya tak ada  pemisahan  yang esensial. Hal ini tak berarti bahwa Anak satu pribadi dengan Bapa, karena mereka itu benar-benar “dua”.
[Athanasius] secara teguh berpegang pada pendapat bahwa Bapa dan Anak adalah “dua”. Ia menulis, “Kalau dikatakan bahwa Bapa dan Anak adalah satu,  tidak  dalam arti sebagai satu hal yang dibagi atas dua bagian, dan kedua-duanya ini tidak lain hanya satu, juga bukan sebagai sesuatu yang disebut dua kali, sehingga Yang Sama itu pada satu saat jadi Bapa, dan pada  saat  yang lain jadi  Anak-Nya sendiri. Justru karena berpegang pada pandangan inilah maka Sabelius dipersalahkan sebagai bidat. Tetapi Mereka adalah dua, oleh karena Bapa adalah Bapa, dan sebagai  Bapa Ia juga bukan Anak; dan Anak adalah Anak, dan sebagai Anak Ia tidak  juga dapat dilihat sebagai Bapa; tetapi hakikat adalah satu…” (Lohse, 1994:73)
Konflik antara Arius dan Athanasius seakan tiada akhir. Banyak orang di wilayah Yunani Timur menerima ajaran Arius, banyak juga yang menolaknya. Sebagian setuju dengan Athanasius, tetapi banyak juga yang tidak setuju. Gereja sendiri juga masih bingung, belum menentukan sikap, apakah menentang atau membela ajaran Arius?
Hari ini Arius adalah pemeo untuk bidat, tetapi ketika konflik ini pecah, belum ada posisi ortodoks yang resmi, dan sama sekali tidak ada kepastian mengapa atau bah-kan apakah Arius itu salah. Tidak ada hal yang baru dalam ajarannya: Origen, yang kedua belah pihak sangat hormati, telah mengajarkan doktrin yang serupa. Namun iklim intelektual di Aleksandria sudah berubah sejak masa Origen, dan masyarakat kini tidak lagi yakin bahwa Allahnya Plato dapat dikawinkan secara berhasil dengan Allahnya AlKitab. (Armstrong, 1993 : 108)



Agama Tauhid Yang Diubah Menjadi Agama Pagan
Perselisihan antara Arius dan Athanasius membuat kaisar Konstantin khawatir. Gaius Flavius Valerius Aurelius Constantinus adalah kaisar Romawi yang memerintah dari tanggal 27 Februari 272 hingga 22 Mei 337 M. Ia sangat ambisius. Ia mampu membunuh anak kandungnya, Cisprus, hanya karena sang putra mahkota lebih termashyur di mata bangsa Romawi dibandingkan dengan dirinya. Kejadian ini ke-mudian menjadi salah satu sebab mengapa ibukota kerajaan Romawi dipindahkan ke Byzantium (Konstantinopel), Turki.
Kaisar Konstantin juga dikenal dengan Dekrit Milannya (tahun 313 M), yang meresmikan secara penuh kristianitas di dalam kerajaan untuk pertama kalinya. Tercatat di dalam sejarah, bahwa ia sendiri sebelum meninggal telah menjadi pemeluk agama Kristen Unitarian. Ia dibaptis oleh Eusibius dari Nicomedia. Kaisar Konstantin meninggal dalam keimanan bahwa Yesus bukanlah Tuhan, seperti keimanan orang-orang yang pernah dimusuhi dan dibunuhinya.[5]
Di masa kaisar Konstantin, agama resmi Romawi adalah pemujaan matahari – kelompok  pemujaan Sol Invictus, atau Matahari Tak Tertandingi – dan Konstantin adalah pendeta kepalanya. Celaka baginya,  sebuah  guncangan  religius  tumbuh dan men-cengkeram Roma. Dia dapat melihat bahwa  agama Kristen sedang bangkit, dan tiga abad setelah ‘penyaliban Yesus Kristus’, para pengikut Kristus tumbuh berlipat-lipat. Kaum Kristen dan pagan mulai berperang, dan konflik itu tumbuh sedemikian besar sehingga mengancam akan membelah Roma menjadi dua.
Di sisi lain, Konstantin khawatir percekcokan tiada akhir dalam agama Kristen antara pengikut Arius dan Athanasius akan menjadi potensi perpecahan kerajaannya. Konstantin memutuskan bahwa sesuatu harus dilakukan, maka dikumpulkannya para Patriarch dan Uskup di seluruh negeri sebanyak 2.018 orang untuk bersidang di Nicea pada tahun 325 M.  Ini adalah konsili Oikumenis pertama dalam sejarah kekristenan, untuk membicarakan Yesus itu Tuhan atau bukan.
Apa yang akan terjadi ketika penguasa memutuskan turun tangan untuk menyelesaikan konflik teologis? Lohse (1994:64) mengungkapkan:
“Agar dapat mengikuti arah diskusi pada Konsili  Nicea itu, maka  perlulah  diingat  situasi yang sama sekali baru, di mana gereja hidup pada titik ini dalam sejarahnya. Sesudah dihambat selama 300 tahun, maka gereja sekarang tatap muka dengan seorang Kaisar yang mengakui iman Kristen.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Kekristenan di Kerajaan Romawi tidak lagi menjadi agama yang dihambat, tetapi secara resmi ditolerir dan diakui, bahkan dalam hal-hal tertentu perkembangannya dibantu oleh kekaisaran. Dari titik pandangan yang murni lahiriah, perubahan dalam situasi ini juga jelas pada uskup-uskup, yaitu bahwa mereka sejak itu tidak perlu lagi bergerak ke sana ke mari secara rahasia. Sekarang mereka mempunyai hak istimewa untuk datang ke konsili dengan menggunakan fasilitas-fasilitas yang disediakan negara, yang juga biasa dipakai oleh pejabat-pejabat tinggi negara.
Di Nicea, Kaisar menyediakan tempat penginapan bagi para uskup dalam istananya. Di sanalah diskusi-diskusi berlangsung, dan dihadiri pula oleh Kaisar. Sebagai orang yang baru saja ditobatkan, pengetahuan teologis Kaisar Konstantin tidak mendalam, tapi ia tetap berminat dalam pembahasan konsili. Perubahan situasi itu telah menyebabkan para uskup berlomba-lomba memperlihatkan ketaatan mereka kepada Kaisar.”
Ketika uskup berkumpul di Nicea pada tanggal 20 Mei 325 untuk menuntaskan krisis itu, sangat sedikit yang berpandangan sama dengan Athanasius soal Yesus. Kebanyakan berposisi di antara Athanasius dan Arius.
Dalam konsili Nicea, perdebatan berlangsung sengit, tanpa ada keputusan. 1.700 uskup sepaham dengan Arius. Sisanya sejalan dengan Athanasius. Namun Kaisar mengumpulkan para uskup yang dianggap sepaham dengan Athanasius. Melalui pemungutan suara, Kaisar Konstantin menyatakan ajaran Athanasius yang benar dan menjadi ajaran resmi di kekaisaran Romawi. Kemudian Konsili Nicea merumuskan bahwa Yesus Kristus itu satu hakikat (homo ousius) dengan Allah Bapa (Dwinitas). Bahkan Kaisar Konstantin mengusul-kan kata penting yang nantinya diabadikan dalam pengakuan iman Nicea. Isi pengakuan iman Nicea secara lengkap:
“Kami percaya dalam satu Allah, Bapa yang Maha-kuasa, Pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan; dan di dalam satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, dilahirkan dari Bapa, hanya diperanakkan, yaitu, dari substansi Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, dila-hirkan bukan diciptakan, berasal dari satu substansi dengan Bapa, melalui Siapa segala sesuatu ada, segala sesuatu baik yang di surga maupun yang di bumi, yang oleh sebab kita menjadi manusia dan demi keselamatan kita, turun dan menjelma menjadi manusia, menderita, dan bangkit lagi pada hari yang ketiga, naik ke surga, dan akan datang lagi untuk meng-hakimi yang hidup dan yang mati; dan di dalam Roh Kudus.” (Lohse, 1994:65)
Dalam Konsili Nicea itulah Yesus diangkat dan ditetapkan sebagai ‘Putra Tuhan’ secara resmi melalui voting. Dalam voting itu, kelompok Athanasius unggul dengan perbandingan 315 lawan 3. Sedangkan Arius dan dua sahabatnya yang menolak menandatangi Kredo Nicea dikucilkan. Sejak saat itu ajaran-ajaran yang bertentangan dengan iman Nicea, khususnya ajaran Arianisme yang dipelopori oleh Arius, dianggap sebagai ajaran-ajaran sesat. Tidak cukup sampai di situ, untuk menguatkan Kredo Nicea, maka dirumuskan kutukan-kutukan terhadap ajaran-ajaran yang dianggap sesat. Bunyi kutukan tersebut adalah:
“…Mereka yang berkata bahwa ada saatnya [Kristus] tidak ada, dan sebelum Ia dilahirkan Ia tidak ada, dan bahwa Ia ada (sebagai yang berasal dari tidak ada), atau yang berkata bahwa Anak Allah berasal dari hypostasis atau substansi yang berbeda, atau diciptakan, atau tunduk kepada perubahan (semuanya) ini. Gereja Katolik mengutuknya.” (Lohse, 1994:66)
Namun konsili Nicea tidak mengakhiri kontroversi Arius. Malah dengan Konsili Nicea itu kontroversi mulai mencapai keseriusannya. Memang kebanyakan uskup yang hadir dalam Konsili Nicea itu menandatangi pengakuan iman yang dihasilkan. Tetapi terdapat perbedaan yang meluas di antara mereka mengenai cara memahaminya. (Lohse, 1994:70) Dari segi doktrin pun, persoalannya belum selesai. Umat Kristen masih bingung: jika hanya ada satu Allah, bagaimana mungkin Logos juga Allah?
Tahun 381 diselenggarakan konsili Konstantinopel. Sebagian besar isi pengakuan iman Nicea dirumuskan kembali dalam pengakuan iman Konstantinopel. Bunyinya mengakui Roh Kudus sebagai Allah. Karena dirasa belum cukup, tahun 382 diadakan konsili lagi di Konstantinopel. Di sini keilahian penuh Roh Kudus diteguhkan dengan rumusan: “Ada satu Ke-allahan, Kuasa, dan Substansi dari Bapa dan dari Anak dan dari Roh Kudus; martabat mereka adalah sama, dan kemulia-an mereka sama dalam tiga esensi yang sempurna (hypos-tasis) dan tiga pribadi yang sempurna.” (Lohse 1994:82)
Namun perdebatan di antara para teolog masih tetap bermunculan. Perdebatan paling serius, apakah Yesus itu sepenuhnya manusia atau sepenuhnya Allah? Perdebatan seputar pribadi Yesus muncul dikarenakan dogma Trinitas selalu berkaitan dengan dogma Kristologi (ilmu tentang Kristus).
Perdebatan seputar pribadi Yesus didominasi oleh pertentangan antara Kubu Antiokhia dengan Kubu Aleksandria. Kubu Antiokhia menekankan perhatian pada “tabiat (haki-kat) kemanusiaan Yesus yang penuh, yang tidak dikurangi”. Itu sebabnya, Nestorius – teolog Antiokhia – menolak me-nyebut Maria sebagai “yang melahirkan Allah” (Theotokos), karena Maria mestinya juga disebut “yang melahirkan manusia”  (Anthropotokos).
Kubu Aleksandria yang digawangi oleh Cyrillus bertentangan dengan Kristologi Nestorius. Cyrillus berkali-kali menekankan bahwa Logos ilahi itu sendiri yang menjadi manusia dalam Yesus. Yesus adalah “campuran” antara yang ilahi dan yang insani. Jadi, tidak mungkin memisahkan tabiat keallahan dan tabiat kemanusiaan Logos yang berinkarnasi itu (Lohse, 1994:112-114).
Perselisihan ini pada akhirnya diputuskan dalam Konsili Khalkedon tahun 451 M. Sebelum konsili dimulai, Paus Leo sudah menulis surat yang mendorong ditegaskannya kesatuan dari dua tabiat Yesus. Surat itu “mempersiapkan jalan ke arah keputusan Chalcedon” (Lohse, 1994:116). Kredo Khalkedon secara resmi menetapkan doktrin “Yesus Kristus 100% Allah dan 100% manusia” sebagai ajaran resmi gereja. Bunyi yang lebih lengkap, sebagai berikut:
“…sesuai dengan (pandangan) bapa-bapa suci, kami sepakat untuk mengajarkan bahwa kami mengakui Tuhan kita, Yesus Kristus, sebagai Putera yang satu dan sama, yang sama sempurnanya dalam Keallahan dan yang sama sempurnanya dalam kemanusiaan, Allah yang sejati dan manusia yang sejati, yang mempunyai jiwa dan tubuh rasional yang sama (dengan manusia), berkonsubstansi dengan Bapa dalam Keilahian, dan ber-konsubstansi dengan kita dalam kemanusiaan, sama seperti kita dalam segala sesuatu kecuali dosa; dilahirkan dari Bapa sebelum (ada) segala zaman (apabila itu) menyangkut Keilahian-Nya, dan pada hari-hari yang terakhir, Ia dilahirkan dari perawan Maria, Theotokos, oleh karena kita dan demi keselamatan kita, (apabila itu dipandang dari) kemanusiaan-Nya; Kristus yang satu dan yang sama, Putera, Tuhan, yang hanya dilahirkan, dikenal dalam dua tabiat tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pemisahan, tanpa pembagian (di antara kedua tabiat itu), perbedaan di antara dua tabiat itu sama sekali tidak ditiadakan oleh adanya kesatuan, tetapi sifat dari masing-masing tabiat itu dipeliharakan dan digabungkan dalam satu prosopon dan satu hyposprosopa, tetapi Putera yang sama dan satu-satunya, yang hanya dilahirkan, Kalam ilahi, Tuhan Yesus Kristus, sebagaimana nabi-nabi Perjanjian Lama dan Yesus Kristus sendiri mengajarkannya kepada kita mengenai Dia dan pengakuan iman bapa-bapa (suci) diturunkan (kepada kita). (Lohse, 1994:117)
Tahun 335 M diadakan lagi Konsili di Tyre (sekarang masuk Lebanon). Di sini terjadi anti-klimaks. Athanasius dikutuk, dan kemudian disingkirkan ke Gaul. Arius bahkan diangkat menjadi Uskup Konstantinopel. Dua tahun setelah Konsili Tyre, Konstantin meninggal. Sepeninggal Konstantin, dua konsili lagi diselenggarakan: Konsili Antiokia di tahun 351 M dan Konsili Sirmium tahun 359 M. Kedua konsili ini menetapkan bahwa keesaan Tuhan merupakan dasar kekristenan dan tak mengakui konsep trinitas. Walau demikian, Gereja Paulus (Katolik Roma) sudah berkembang dengan cepat di Eropa sehingga rakyatnya tidak menghiraukan hasil dua konsili ini.[6]
Kaisar Konstantin berhasil menyelamatkan kerajaannya dari jurang kehancuran. Dia telah berhasil mengakhiri konflik tiada akhir di antara umat Kristen tentang pribadi Yesus. Tetapi Konstantin merasa keberhasilannya dalam ‘memprakarsai’ penetapan Yesus sebagai Putra Tuhan dan perumusan doktrin Tritunggal belumlah cukup. Dia melangkah lebih jauh lagi. Konstantin memutuskan untuk menyatukan Romawi dalam sebuah agama tunggal, Kristen. Caranya, mengalihkan para penganut pagan pemuja  matahari  menjadi Kristen, dengan meleburkan simbol-simbol, tanggal-tanggal, serta ritus-ritus pagan ke dalam tradisi Kristen yang sedang tumbuh. Melalui Konsili Nicaea, Konstantin berhasil menciptakan agama hybrid yang dapat diterima kedua belah pihak, yakni agama Kristen yang berbudaya paganisme, bukan agama Kristen yang mewarisi monoteisme dari tradisi Yudaisme – seperti yang diajarkan dan dijalani oleh Yesus dan murid-muridnya.
Kaisar Konstantin dalam Konsili Nicea mengeluarkan empat keputusan resmi. Keputusan itu adalah:
1.   Menetapkan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Sebenarnya hari kelahiran Yesus sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti. Yesus dilahirkan antara tahun 7-2 SM di Betlehem dan dibesarkan di Nazareth. Namun, oleh kalangan di Barat, Yesus dinyatakan dilahir-kan pada tahun 1 Masehi. Oleh karena itu, tahun sebelum kelahiran Yesus pun kemudian dikatakan sebagai tahun Sebelum Masehi (Before Christ). Padahal dia tidak dilahirkan pada tahun 1 Masehi! Tanggal 25 Desember itu sendiri sebenarnya adalah tanggal untuk memperingati hari kelahiran anak dewa matahari bangsa Yunani (Romawi) yang bernama Apollo, Dionysus, atau dewa Mithra.  Dewa-dewa  tersebut meskipun mempuyai nama-nama yang  berbeda, tetapi sebenarnya sama saja. Dewa tersebut merupakan dewa yang dipercayai juga sebagai dewa penebus dosa (juru selamat) umat manusia.
2.   Hari Matahari Roma menjadi hari Sabbath bagi umat Kristen, dengan nama Sun-Day, Hari Matahari (Sunday).
3.   Mengadopsi lambang silang cahaya yang kebetulan berbentuk salib menjadi lambang kekristenan, dan
4.   Mengambil semua ritual ajaran paganisme Roma ke dalam ritual atau upacara-upacara kekristenan.
Dan Brown mengungkapkan proses transmogrifikasi dari Kristen ke agama pagan tersebut, dalam novelnya The Da Vinci Code, melalui percakapan tokoh-tokohnya:
“Transmogrifikasi,” ujar Langdon. “Jejak-jejak agama pagan dalam simbologi Kristen tak terbantahkan. Cakram matahari kaum Mesir kuno menjadi lingkaran halo para santo Katolik. Berbagai piktogram Isis yang sedang menyusui putranya yang lahir karena mukjizat, Horus, menjadi cetak biru bagi berbagai penggambaran modern kita akan Perawan Maria yang sedang menyusui Bayi Yesus. Dan, nyaris semua unsur dalam ritus Katolik – mitra, altar, doksologi, dan komuni, atau tindakan “makan Tuhan”- diambil langsung dari agama-agama misteri pagan di masa awal.”
Teabing mengerang. “Jangan biarkan seorang simbolog mulai bicara tentang ikon-ikon Kristen. Tak ada yang asli dalam Kristen. Mithra, Tuhan pra-Kristen-disebut Putra Tuhan dan Cahaya Dunia-lahir dan mati pada 25 Desember, dikubur dalam sebuah makam batu, dan kemudian dibangkitkan dalam tiga hari. Omong-omong, 25 Desember juga hari lahir Osiris, Adonis, dan Dionysus. Krishna yang baru lahir dihadiahi emas, dupa, dan kemenyan. Bahkan hari suci mingguan orang Kristen dicuri dari kaum pagan.”
“Aslinya,” kata Langdon, “Kristen menghormati Sabat Yahudi pada hari Sabtu, tapi Konstantin menggesernya agar bertemu dengan hari kaum pagan me-muliakan matahari.” Dia mengambil jeda, menyeringai. “Hingga hari ini, kebanyakan jemaat gereja menghadiri layanan Gereja pada Minggu pagi tanpa sadar sama sekali bahwa mereka sedang melakukan penghormatan mingguan pada dewa matahari kaum pagan – Sun-day, hari matahari.” (Dan Brown The Da Vinci Code, 2003)
Uraian di atas bukanlah suatu tuduhan yang tak berdasar. Gereja Katolik sendiri secara terus terang telah mengaku ‘mengubah waktu’ peribadatan agama Kristen dari Sabtu (Sabat) ke Minggu di konsili Laodekia (336 M). James Cardinal Gibbons, pendidik dan uskup Katolik di Baltimore pada akhir 1800-an dan awal 1900-an, mengaku pada dasarnya penyucian hari Minggu tidak punya dasar Alkitabiah yang memadai, dia bersaksi:
“Anda bisa membaca AlKitab dari Kejadian sampai Wahyu, dan Anda tidak akan menemukan satu baris pun yang memerintahkan penyucian hari Minggu. AlKitab menyuruh peribadatan agama di hari Sabtu, hari yang tidak pernah kita kuduskan.” Tetapi bagi Gibbons kurangnya dasar AlKitabiah ini bukan masalah besar karena memang Gereja Katolik Roma tidak bergantung semata-mata kepada pendapat AlKitab. Lanjutnya, “Gereja Katolik dengan tepat mengajarkan bahwa Tuhan kita dan para rasulnya berulang-ulang mengajarkan kewajiban-kewajiban agama tertentu yang penting yang tidak tercatat oleh para penulis (AlKitab) terilham… dengan demikian, kita harus menyimpulkan bahwa AlKitab saja tidak bisa menjadi petunjuk dan aturan iman yang memadai.” (The Faith of Our Father, John Murphy Company, Baltimore, 1917, p. 89).
Gereja Katolik Roma menganggap wewenang tertinggi tidak terletak pada AlKitab, melainkan pada paus dan gereja sebagai wakil Allah di bumi[7]. Dalam kedudukan itu, gereja dianggap punya kekuasaan untuk memindahkan kekudusan Sabat dari hari Sabtu ke Minggu, meskipun pemindahan hari kudus tersebut melanggar hukum Taurat dan Injil (AlKitab).

[1]  Rizki Ridyasmara, Knights Templar Knights Of Christ: Konspirasi Berbahaya Biarawan Sion Menjelang Armageddon, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar; cet. 1, Oktober 2005; hlm. 340.
[2] Jerald F. Dirks. Salib Di Bulan Sabit: Dialog Antariman Islam – Kristen. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, cet. 2, Maret 2004. hlm.156.
[3] Hugh Goddard. Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian Muslim-Kristen. Yogyakarta: ADIPURA. Cet. 1, Nopember 2000. hlm. 32.
[4] Kisah yang banyak orang tidak tahu adalah bahwa Athanasius sendiri sebenarnya juga  meragukan konsep Trinitas. Ia dengan tegas menyatakan, “Setiap berusaha memaksakan diri untuk memahami dan merenungkan konsep ketuhanan Yesus, saya merasa keberatan dan sia-sia. Hingga makin banyak menulis untuk mengungkapkan hal itu, ternyata hal ini tidak mampu dilakukan. Saya sampai pada kata akhir, Tuhan itu bukanlah tiga oknum melainkan satu. Kepercayaan kepada doktrin Trinitas itu sebenarnya bukan suatu keyakinan, tetapi hanya disebabkan oleh kepentingan politik dan penyesuaian keadaan di waktu itu.” Rizki  Ridyasmara, Knights Templar Knights Of Christ: Konspirasi Berbahaya Biarawan Sion Menjelang Armageddon, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar; cet. 1, Oktober 2005; hlm. 342.
[5] Alexander Edbert C. Show Us The Straight Path: Menemukan Kebenaran Iman Yang Sejati. Jakarta: Pustaka Intermasa. Cet.1, Oktober 2008.   hlm. 39
[6] Rizki Ridyasmara, Knights Templar Knights Of Christ: Konspirasi Berbahaya Biarawan Sion Menjelang Armageddon, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar; cet. 1, Oktober 2005; hlm. 342-343.
[7] Dalam ajaran Katolik Roma dikenal istilah infallibilitas, yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa pemimpin gereja Roma (Paus) apabila sedang berpendapat mengenai iman dan moral Kristen Katolik, ia tidak mungkin salah karena mendapat perlindungan Tuhan. Itu sebabnya, pendapatnya tersebut harus dipercayai dan diikuti oleh seluruh gereja. Ajaran ini mulai ditetapkan saat Konsili Vatikan I pada tahun 1870. Alexander Edbert C. Show Us The Straight Path: Menemukan Kebenaran Iman Yang Sejati. Jakarta: Pustaka Intermasa. Cet.1, Oktober 2008.   hlm. 124.

Ketuhanan Yesus Bukan Ajaran Yesus


KETUHANAN YESUS BUKAN AJARAN YESUS KRISTUS

Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.
QS. An Nisaa’ (4) : 171
Ahli Kitab artinya kaum yang memiliki kitab suci. Secara khusus istilah Ahli Kitab dipakai untuk menyebut para penganut agama Yahudi dan Nasrani. Bagi mereka telah diturunkan kitab-kitab suci, seperti Taurat, Injil dan Zabur, yang diwahyukan kepada para rasul atau nabi-nabi.
Ahli Kitab seringkali melampaui batas dalam menjalankan hidup keagamaan mereka. Bahkan mereka berani mengata-kan bahwa Allah mempunyai anak.
Umat Yahudi mengatakan Uzair itu anak Allah. Uzair a.s. (Ezra) adalah keturunan Nabi Harun a.s., seorang nabi Allah yang pernah ditidurkan (dimatikan) oleh-Nya selama seratus tahun di bawah puing reruntuhan sebuah kota yang telah mati. Kemudian Allah membangkitkannya (menghidupkannya) kembali setelah kota tersebut hidup dan berpenghuni lagi. Beliau hidup diperkirakan sezaman dengan Bukhtanashar (Nebukadnezar). Keluarbiasaan yang dialaminya adalah bukti kekuasaan Allah bagi bani Israel. Di saat itulah ia mendiktekan Taurat yang sempat lenyap dari orang-orang Israel.[1]
Sedangkan umat Kristen mengatakan bahwa Yesus Kristus itu anak Allah. Padahal Allah telah berfirman:
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka berbohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka gambarkan. QS. Al An’am (6) : 100
Sungguh, tiada tuhan selain Allah. Tetapi Ahli Kitab seringkali mempersekutukan Allah dengan malaikat, nabi-nabi, dan berhala. Bahkan umat Kristen menyatakan bahwa Allah yang sejati terdiri dari tiga pribadi yang satu dalam hakikat (Homoousios, istilah kata dari filsafat Yunani),  dikenal dengan sebutan dogma Tritunggal/Trinitas. Dalam Catholic Encyclopedia diterangkan:
“Tritunggal adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan doktrin agama Kristen. Sang Bapa adalah Allah, Sang Anak (Yesus) adalah Allah,  dan  Roh  Kudus adalah Allah, … dalam Tritunggal ini … pribadinya sama kekal dan setara, semuanya tidak diciptakan dan Maha-kuasa.”
Jika dilambangkan secara matematis:
Allah Bapa = Allah Anak (Yesus) = Allah Roh Kudus
Lahirnya dogma Tritunggal berawal dari pengangkatan Yesus sebagai ‘Putra Tuhan’ dalam Konsili Nicea pada tahun 325 M. Konsili itu merumuskan bahwa Yesus itu satu hakikat (homo ousius) dengan Allah (Dwinitas). Pada tahun 381 M konsili Konstantinopel menyatakan bahwa Roh Kudus juga satu hakikat dengan Allah dan Yesus.  Konsili Khalkedon pada tahun 451 M menegaskan bahwa Yesus itu seratus persen Allah dan seratus persen manusia. Sejak saat itu berkembanglah agama Kristen baru, yakni Katolik Roma yang berbu-daya Yunani (Hellenistik). Gereja Katolik Roma menyimpang jauh dari agama yang diajarkan dan dijalani oleh Yesus.
Setelah konsili Khalkedon kontroversi tentang ke-allah-an Yesus belum berakhir. Sama seperti konsili-konsili Nicea dan Konstantinopel, tetap saja para teolog Kristen tidak merasa puas dan terus berselisih. Namun perselisihan tersebut lebih banyak diredam oleh otoritas gereja yang lambat laun semakin menampilkan diri sebagai kekuatan politik. Kekuatan politik gereja Katolik Roma semakin kokoh setelah Uskup Roma yang digelari “Bapa dunia Kristen” berhasil menobatkan Raja Clovis dari Franka (Perancis) tahun 496. Penobatan Raja Clovis ini menyumbangkan kekuatan politik yang sangat besar bagi Takhta Suci.
Pada saat itu, bangsa-bangsa barbar di sekeliling Roma belum menerima dogma Tritunggal yang diajarkan oleh gereja Katolik Roma. Sebaliknya, mereka kebanyakan meng-anut Arianisme, ajaran Arius yang menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya Allah yang benar, dan Yesus Kristus adalah ciptaan Allah. Ajaran Arius ini sangat dimusuhi oleh gereja Katolik Roma karena sangat bertentangan dengan dogma Tritunggal. Gereja pun menuduh pengikut Arianisme sebagai kaum bidah, heretic.
Arianisme merupakan ajaran yang sangat membahayakan keberlangsungan dogma Trinitas. Maka Raja Clovis menyerbu bangsa-bangsa barbar itu. Ini bukan sekedar perang biasa, ini perang agama yang sangat menentukan apakah iman Katolik atau iman Arian yang akan mendominasi wilayah Eropa. Ternyata, Raja Clovis sukses menghancurkan Visigoth tahun 507. Dia berhasil membunuh Raja Goth, Alarik.
Kemenangannya bukanlah suatu kemenangan sementara. Kerajaan Goth Barat dan kaum Burgundi telah menjadi kerajaan Franka. Para penyerbu telah menang telak, dan akan mempertahankannya. Telah ditetapkan bahwa Frankalah, bukannya Goth, yang akan mengarah-kan nasib Gaul dan Jerman di masa depan, dan bahwa iman Katolik, bukan Arianisme, yang akan menjadi agama wilayah yang luas ini. (Church, 1887 dalam Smith, 1944:328).
Kemenangan Raja Clovis menjadikan kekuasaan politik Takhta Suci Kepausan atas wilayah Eropa semakin mendominasi, malah hampir mutlak.
Gereja Katolik Roma berkuasa di Eropa selama belasan abad di abad pertengahan. Dengan kekuasaan politik yang besar tersebut Paus dan gereja dapat menghukum dengan tegas siapa saja yang dianggap sebagai sesat (bidat). Orang-orang sesat akan “dibersihkan” oleh lembaga Inkuisisi yang terkenal punya metode-metode siksaan yang mengerikan. Mereka membenarkan tindakan kejam yang mereka lakukan dengan mengutip secara paksa ayat-ayat Perjanjian Lama dan dengan mengacu pada Augustinus, yang telah menafsirkan Lukas 14:23 sebagai ayat pendukung penggunaan kekuatan terhadap bidat. “Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk karena rumahku harus penuh.”
Berdasarkan paham itulah, gerakan reformasi yang dipelopori oleh seorang biarawan Jerman bernama Martin Luther (1483-1546) dijawab oleh Gereja Katolik Roma dengan segera melancarkan aksi penumpasan. Reformasi yang terjadi pada masa Paus Leo X ini menelan korban puluhan ribu jiwa, yang sebagian besar berasal dari kaum petani pendukung Martin Luther.
Sejarah Hitam Gereja Katolik Roma
Sejarah mencatat, pernah ada kekejaman di kalangan Gereja. Ketika sistem agama Katolik Roma telah mapan, ia menjadi semakin tidak toleran terhadap perbedaan. Sese-orang yang beragama Kristen Katolik harus mengimani semua dogma atau doktrin yang diajarkan gereja dan pendeta secara bulat-bulat dan utuh, meskipun tidak dapat di-mengerti. Tidak ada celah pertanyaan untuk itu. Setiap yang mempertanyakan ajaran-ajaran yang telah ditetapkan oleh gereja dianggap sebagai penentang, atau bahkan sesat. Bahkan mereka yang keluar dari gereja Katolik Roma harus diadili dan diberantas.
Gereja Katolik Roma bertindak kejam terhadap semua orang yang menentang doktrin dan tradisi palsu yang bertentangan dengan AlKitab, yang makin menjadi bagian darinya sejak zaman Konstantin. Orang yang tidak setuju dengan mereka atau doktrin mereka dicap bidat yang harus dibawa masuk pada kesepakatan dengan Gereja Katolik Roma dengan kekuatan apa pun yang dibutuhkan. Jika bidat itu tidak bertobat serta bersumpah setia kepada paus dan wakil gereja, mereka harus dihukum mati. Kekejaman Gereja tersebut menyebabkan banyak orang menjadi martir. Ini merupakan “Zaman Kegelapan” gereja.
Untuk mengusut bidat yang menentang doktrin-doktrin dan tradisi-tradisi Gereja Katolik Roma maka Paus Gregorius IX membentuk pengadilan Inkuisisi. Nama yang tidak terkenal ini digunakan dalam arti lembaga itu sendiri, yang adalah episkopal (diperintah oleh Uskup atau uskup-uskup) atau Paus, secara regional atau lokal; anggota pengadilan; dan cara kerja pengadilan. Pada akhirnya Inkuisisi menjadi sebuah alat pemerintahan kepausan untuk menghukum orang-orang yang dituduh sebagai bidat.
Pada awalnya Pengadilan Inkuisisi itu hanya menangani tuduhan tentang bidat, tetapi kekuasaannya segera meluas hingga mencakup tuduhan seperti tenung, alkimia, penghujatan, penyimpangan seksual, pembunuhan anak, pembacaan Talmud oleh bangsa Yahudi atau Alquran oleh orang-orang Muslim.
Pada 1487 Paus Innocentius VIII menunjuk rahib Dominikan Spanyol, Tomas de Torquemada (1487-1498), sebagai pelak-sana Inkuisisi Agung. Di bawah kekuasaan-nya, ribuan orang Kristen, Yahudi, Muslim, penyihir yang dicurigai, dan orang-orang lainnya terbunuh dan disiksa. Orang-orang yang berada dalam bahaya terbesar karena Inkuisisi adalah kaum Protestan dan Alumbrados (penganut mistik di Spanyol). Secara pribadi Tomas de Torquemada meme-rintahkan lebih dari 2.000 orang untuk dibakar di tiang.
Sementara itu, dari semua Inkuisisi di seluruh dunia, Inkuisisi di Spanyol adalah yang paling aktif dan sadis. Ada tujuh belas pengadilan di Spanyol, masing-masing membakar rata-rata 10 bidat setahun, serta menyiksa dan memotong kaki atau tangan ribuan orang lain yang hampir bisa pulih dari luka-lukanya.
Ketika  Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara di Madrid. Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila. Pasukan Perancis yang sudah terbiasa  dengan  kekejaman  dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, kemudian meledakkan biara tersebut.
Pada 1908, Inkuisisi direorganisir di bawah nama Congregation of the Holy Office dan didefinisikan ulang selama Konsili Vatikan II oleh Paus Paulus VI sebagai Congregation of the Doctrine of the Faith.
Dalam Pengadilan Inkuisisi, pembelaan yang dilakukan oleh orang-orang yang dituduh bidat hampir tidak ada gunanya karena tuduhan yang dikenakan pada mereka sudah menjadi bukti yang cukup untuk menyatakan kesalahan, dan makin besar kekayaan tertuduh, makin besar bahaya yang ia tanggung. Sering kali seseorang dieksekusi bukan karena ia bidat, melainkan karena ia memiliki harta benda yang banyak. Sering kali tanah dan rumah yang luas atau bahkan provinsi atau wilayah kekuasaan dirampas oleh Gereja Roma atau oleh penguasa yang bekerja sama dengan Inkuisisi dalam pekerjaan mereka.
Selama masa Inkuisisi di Spanyol diperkirakan ada sekitar 32.000 orang, yang kesalahannya tidak lebih dari tidak sepaham dengan doktrin paus, atau yang telah dituduh melakukan kejahatan takhayul, yang disiksa di luar imajinasi, kemudian dibakar hidup-hidup. Otoritas gereja mengabaikan pendapat bahwa menghukum kaum “heretics” (kaum yang dicap bidat) dengan membakar hidup-hidup adalah berten-tangan dengan semangat Kristus. Tapi, sikap gereja ketika itu menyatakan, bahwa membakar hidup-hidup kaum heretics adalah suatu tindakan yang mulia.
Setelah Pengadilan Inkuisisi selesai menghakimi, upacara yang khidmat diadakan di tempat eksekusi; yang dikenal sebagai sermo generalis (“khotbah umum”) atau, di Spanyol, sebagai auto-de-fe (tindakan iman), Acara itu dihadiri oleh pejabat lokal, para imam, dan semua orang, entah musuh atau teman bidat itu, yang ingin melihat hukuman eksekusi.
Demikianlah, selama beberapa abad Gereja Katolik Roma mengamuk di seluruh dunia seperti binatang buas yang kelaparan dan membunuh ribuan orang yang percaya kepada Kristus yang sejati, menyiksa, dan memotong tangan atau kaki ribuan orang lagi. Hukuman ini terutama dijalankan di Italia Utara dan Perancis Selatan. Hukuman tegas tersebut diterapkan guna menjaga kemurnian dogma Tritunggal. Dalam situasi semacam inilah Paus dan gereja dengan leluasa menancapkan dogma Tritunggal secara mapan di kalangan umat Kristen.
”Ketahuilah, sahabatku, bahwa Tritunggal dilahirkan lewat tiga ratus tahun setelah diberikannya Injil purba; ia [doktrin Tritunggal] dikandung dalam ketidak-pahaman, dimunculkan dan dipertahankan oleh ke-kejaman” – Anthony Buzzard dalam bukunya: The Doctrine of the Trinity
Tetapi, “Zaman Kegelapan Gereja” tersebut ternyata tetap tidak mampu membendung pro-kontra terhadap dogma Tritunggal. Menyatakan Allah itu Tunggal (Satu/Esa), tetapi sekaligus Tiga adalah suatu paradoks. Istilah “Paradoks” berarti pernyataan yang tampaknya bertentangan dengan akal sehat, atau bertentangan dengan dirinya sendiri.

Dogma Tritunggal: Bukan AlKitabiah Dan  Ajaran Yesus
Karen Armstrong berkata, sejak awalnya memang Kekristenan itu suatu paradoks. Trinitas sebagai dogma jelas paradoks dengan monoteisme Israel. Oleh karena itu, sebenarnya Trinitas tidak dapat dipahami dengan akal pikiran, cukup dihidupi saja. Trinitas hanya masuk akal, sebagai suatu pengalaman mistik atau spiritual (Armstrong, 1993: 112-113,117).
Mengenai Tuhan Trinitas yang tidak masuk akal ini, santo Augustinus, dalam buku De Trinitate, memproklamirkan sebuah slogan “credo ua intellegam”, yang artinya “aku percaya (beriman) supaya aku bisa mengerti”. Tertullian juga menyikapi Tuhan Tritunggal dengan slogannya yang berbunyi “credo quia absurdum” (aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal). Slogan Santo Agustinus tersebut terkesan seirama dengan slogan Tertullian, tetapi sebenarnya justru berseberangan. Ia bersikap hipokrit dengan menyatakan, ia ‘bisa mengerti’ doktrin bahwa Tuhan adalah Trinitas karena ia sudah beriman terlebih dahulu. Sedangkan Tertullian bersikap lebih lugas dengan mengatakan bahwa yang membuat ia beriman adalah karena Tuhan Trinitas merupakan doktrin yang tidak masuk akal. Ia akan tetap beriman, meskipun tidak akan pernah bisa mengerti doktrin tersebut. Ia juga tidak mengatakan bahwa dirinya bisa mengerti doktrin tersebut (sekalipun sudah lama beriman)[2].
Paradoks selalu sangat sulit untuk dijelaskan. Dalam hal dogma Tritunggal, ada dua anggapan yang saling bertentangan: “Allah itu Satu” dan “Allah itu Tiga”. Mana yang benar di antara kedua anggapan tersebut?
Teolog besar Augustinus, yang pendapatnya banyak dianut oleh gereja masa kini, menulis dalam De Trinitate pernyataan iman sebagai berikut: “Bapa, Anak, dan Roh Kudus membentuk suatu kesatuan yang tunggal dan hakikat yang sama dalam kesetaraan yang tak terbagi-bagi. Dengan demikian, tidak ada tiga allah, melainkan satu Allah; sekalipun Bapa yang memperanakkan Anak, dan karenanya, Bapa bukanlah Anak; dan Anak diperanakkan oleh Bapa, dan karenanya Anak bukanlah Bapa; sedangkan Roh Kudus bukan Bapa ataupun Anak”. (Kristi, 2009: 90)
Memberikan penjelasan tentang dogma Tritunggal bukanlah yang mudah. Orang Kristen menjelaskan pada orang Kristen saja kesulitan, apalagi menjelaskan pada orang lain. Sebab  penjelasan  dogma Trinitas tersebut njelimet-nya setengah mati. “Tepatnya apa doktrin tersebut, atau bagaimana hal itu musti dijelaskan, para penganut Tritunggal pun tidak mencapai kata sepakat di antara mereka sendiri.” ­            A Dictionary of Religious Knowledge
Misalnya, jika kita menganalisis pernyataan iman Augustinus, di dalamnya terdapat beberapa pernyataan: (1) Hanya ada Satu Allah; (2) Bapa itu Allah; (3) Anak itu Allah; (4) Roh Kudus itu Allah; (5) Bapa bukan Anak; (6) Roh Kudus bukan Bapa dan bukan Anak. Jadi, bagaimana cara menjelaskan ”Bapa dan Anak sama-sama Allah, Bapa dan Anak adalah Satu Allah, tetapi Bapa bukan Anak”? Dan, bagaimana (pula) cara menjelaskan ”Bapa, Anak, dan Roh Kudus sama-sama Allah; Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah Satu Allah, tetapi Roh Kudus bukan Bapa dan bukan (pula) Anak”? Sungguh, pernyataan iman yang tidak masuk akal sehingga sulit dijelaskan.
“Misteri yang tidak dapat dimengerti tentang Allah Tritunggal. – Paus Yohanes Paulus II.
Kami tahu [Tritunggal] ini suatu misteri yang sangat dalam, yang sama sekali tidak kita mengerti” – Cardinal John O’Connor.
Yesus sendiri tidak pernah mengajarkan tentang dogma Tritunggal. Dia tidak pernah memerintahkan murid-muridnya untuk mempertuhankan dan menyembah dirinya. Dia juga tidak pernah mengaku sebagai ”Putra Allah”. Sebaliknya, Yesus seringkali mengaku bahwa dirinya adalah utusan Allah.
Francis Dávid (1510-1579) menyatakan, “doktrin Tritunggal tidak punya dasar dalam AlKitab, juga tidak masuk akal. Baginya, Tritunggal adalah ajaran tambahan dari konsili-konsili gereja yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani populer masa itu.”
“Asal usul Tritunggal sama sekali kafir” – The Paganism in Our Christianity



AlKitab Perjanjian Lama Tidak Mengajarkan Tritunggal
Imam Jesuit Edmund Fortman dalam bukunya The Triune God juga mengakui: “Perjanjian Lama… tidak secara tegas ataupun samar-samar memberi tahu kepada kita mengenai Allah Tiga Serangkai yang adalah Allah, Anak dan Roh Kudus … Bahkan Mencari di dalam ”Perjanjian Lama” kesan-kesan atau gambaran di muka atau ’tanda-tanda terselubung’ mengenai Trinitas dari pribadi-pribadi, berarti melampaui kata-kata dan tujuan dari para penulis tulisan-tulisan suci”.
The Encyclopedia of Religion mengungkapkan: ”Para teolog dewasa ini setuju bahwa AlKitab Ibrani (Perjanjian Lama) tidak memuat doktrin tentang Tritunggal”.
New Catholic Encyclopedia mengakui: ”Doktrin Tritunggal tidak diajarkan dalam Perjanjian Lama”.
AlKitab Perjanjian Baru Tidak Mengajarkan Tritunggal
The New International Dictionary of New Testament Theology dan teolog Protestan Karl Barth mengatakan: “Perjanjian Baru tidak memuat doktrin Tritunggal yang diperkembangkan”. ’AlKitab tidak memuat deklarasi yang terus terang bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah dari zat yang sama’.
The Encyclopedia of Religion menyatakan: ”Para teolog setuju bahwa AlKitab Perjanjian Baru juga tidak memuat doktrin yang jelas mengenai Tritunggal”.
Profesor E. Washburn Hopkins dari Universitas Yale menekankan: ”Bagi Yesus dan Paulus doktrin Tritunggal jelas tidak dikenal; … mereka tidak mengatakan apa-apa mengenai itu”. (Origin and Evolution of Religion).
Sejarawan Arthur Weigall menyatakan: ”Yesus Kristus tidak pernah menyebutkan perwujudan demikian, dan di manapun dalam Perjanjian Baru tidak terdapat kata ’Tritunggal’. Gagasannya baru diterima oleh Gereja tiga ratus tahun setelah kematian tuan kita”. (The Paganism in Our Christianity)
“Kita harus dengan jujur mengakui bahwa doktrin Tri-tunggal bukan bagian dari Perjanjian Baru Kristen Purba… Tidak ada jejak gagasan semacam itu dalam Perjanjian Baru. ‘Mysterium logicum’ ini, fakta bahwa Allah adalah tiga tapi satu, terletak sepenuhnya di luar pesan AlKitab. Ini adalah misteri yang Gereja taruh di hadapan orang yang percaya pada teologinya … Tetapi yang tidak terhubung dengan perkataan Yesus dan para Rasul. Tidak ada Rasul yang akan bermimpi memikirkan adanya tiga pribadi ilahi yang hubungan mutualis dan kesatuan paradoksnya melampaui pemahaman kita. Misteri Tritunggal adalah misteri semu yang memancar dari penyimpangan dalam pemikiran logis dari rel AlKitab, dan bukan ajaran AlKitab itu sendiri.” – Emil Brunner dalam bukunya Christian Doctrine of God, Dogmatics.
Bukan Tritunggal, Tetapi ‘Tiga Pribadi, Satu Tujuan’
Beberapa teolog Kristen penganut doktrin Tritunggal seringkali menggunakan ayat-ayat AlKitab untuk mendukung kebenaran dogma Tritunggal yang diajarkannya. Penggunaan dan penafsiran ayat-ayat AlKitab tersebut tidak berdasar dan seringkali ‘dipaksakan’. Salah satu ayat AlKitab yang sering digunakan sebagai dasar dogma Tritunggal adalah Yohanes 10 ayat 30.
“Aku dan Bapa adalah satu.” Yohanes 10 : 30
Frans Donald dalam bukunya Menjawab Doktrin Tritunggal: Tentang Ke-allah-an Yesus mengatakan: ”Apakah ayat itu semata-mata harus mutlak ditafsirkan bahwa Yesus dan Bapa [Allah] adalah satu esensi/hakikat? Tidak demikian. Memahami kata ’satu’ di dalam Yohanes 10:30 tentu tidak bisa lepas dari konteks Yohanes 10:25 [ayat sebelum Yohanes 10:30] yang berbicara soal Yesus melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam nama Bapa/Allah. ”Aku dan Bapa adalah satu” artinya Yesus bersatu dengan Bapa, bukan sama dengan Bapa.
“Arti echad adalah “satu”, bukan “kesatuan” (himpunan). Kata echad memang dapat dikenakan pada kata himpunan, misalnya “satu kelompok” atau “satu suku”. Satu kelompok atau satu suku memang terdiri atas beberapa manusia. Tetapi, bukankah memang yang disebut “satu” adalah himpunannya (kelompok dan suku), bukan anggota dari himpunannya? Tidak mungkin ada satu kelompok yang terdiri atas beberapa kelompok, atau satu suku yang terdiri atas beberapa suku. Demikian pula dalam hal “satu Allah”. Tidak mungkin ada satu Allah terdiri dari atas beberapa Allah. Konsep semacam itu tidak ada dalam pemikiran bangsa Israel tentang Allah mereka, Yahweh. Cara berpikir orang Yahudi bersifat konkret, bukan metafisik seperti orang Yunani. Kalau satu, ya satu. Kalau tiga, ya tiga (Kristi, 2009 : 35)”.
Ellen Kristi mengisahkan diskusinya dengan seorang Yahudi tentang keesaan Allah:
Pada suatu kunjungan ke sebuah sinagong, saya dan beberapa rekan berjumpa dengan seorang sahabat Yahudi. Kesempatan itu kami manfaatkan untuk menyelami cara pikir orang Yahudi tentang Kekristenan.
“Bagaimana menurutmu sebagai orang Yahudi,” tanya kami kepadanya, “tentang dogma Trinitas dalam teologi Kristen, bahwa Allah itu satu tetapi tiga pribadi, tiga pribadi tetapi satu?”
Tidak langsung menjawab, ia tersenyum dulu (tentu saja tanpa bermaksud melecehkan), baru kemudian berkata, “Wah, itu urusan kalian orang Kristen. Kalian mau menyembah tiga atau seratus, kami tidak memper-masalahkan. Kalau kami, satu ya satu. Kami hanya menyembah kepada satu Allah.” (Kristi, 2009 : 73).
Menurut LeGrand Richards, terdapat banyak salah pengertian tentang pernyataan yang sering diulangi bahwa Yesus dan Bapa-nya adalah satu. Pembacaan yang teliti atas pasal 17 Kitab Yohanes akan menerangkan persoalan ini sepenuhnya. Pada saat Yesus hampir diserahkan ia berdoa kepada Bapa-nya dan berterima kasih atas rasul-rasulnya, serta memohon, “supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” (Yohanes 17 : 11). Kemudian dia menambahkan:
“Dan bukan untuk mereka ini saja aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepadaku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam aku dan aku di dalam Engkau, agar mereka di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus aku.” Yohanes 17 : 20–21
Sekarang sangat jelas bahwa Yesus tidak berbicara mengenai satunya pribadi tetapi satunya tujuan, karena ia berdoa lebih lanjut supaya mereka boleh bersamanya. Ini tidak akan perlu jika menjadi satu yang disinggung itu adalah mengenai satunya pribadi dan bukannya tujuan.
“Ya Bapa, aku mau supaya, di mana pun aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan aku, mereka yang telah engkau berikan kepadaku, agar mereka memandang kemuliaanku yang telah Engkau berikan kepadaku, sebab Engkau telah mengasihi aku sebelum dunia yang dijadikan.” Yohanes 17 : 24
Sudah jelas bahwa yang disinggung sebagai menjadi satu itu tidak berhubungan dengan menjadi satunya pribadi, karena jika Yesus dan Bapa-nya adalah satu Pribadi, betapa tidak masuk akal untuk memikirkan bahwa Yesus akan berdoa kepada dirinya sendiri, atau bahwa ia akan mencintai dirinya sendiri sebelum dunia dijadikan. Ia berkata: “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka telah mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Yohanes 17 : 3. (LeGrand Richards, 1982: 30-31).
Bukti lain bahwa Yesus tidak satu hakikat (pribadi) dengan Allah, dapat kita pahami dengan seksama dari sabda Yesus berikut ini:
“Jikalau kamu mengasihi aku, kamu akan menuruti perintahku. Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima dia, sebab dunia tidak melihat dia dan tidak mengenal dia. tetapi kamu mengenal dia, sebab ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu… Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam namaku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepada-mu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah kukatakan kepadamu.” Yohanes 14 : 15-17, 26
Namun benar yang kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika aku pergi. Sebab jikalau aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau aku pergi, aku akan mengutus dia kepadamu… Masih banyak hal yang harus kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila ia datang, yaitu Roh Kebenaran. Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab ia tidak akan berkata-kata dari dirinya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang akan dikatakannya dan ia akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan aku, sebab ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari padaku.” Yohanes 16 : 7, 12-14
Ada beberapa kebenaran dasar yang dapat kita pelajari dari sabda Yesus Kristus tersebut, sebagai berikut:
1.   Yesus Kristus, Allah Bapa, dan Roh Kudus adalah tiga Pribadi yang berbeda, bahwa kesatuan mereka yang disebutkan di dalam ayat-ayat suci hanyalah kesatuan dalam tujuan dan keinginan, karena kalau tidak demikian, mengapa Yesus berdoa kepada Bapa-nya dan menjanjikan bahwa Bapa-nya akan mengutus seorang Penghibur yang lain? Tidak dapat ada seorang yang lain kecuali ada yang seorang. Yesus adalah Penghibur yang satu, dan sudah tentu ia tidak akan berdoa kepada dirinya sendiri, memohon agar dia sendiri mengutus dirinya sendiri sebagai seorang “Penghibur yang lain.”
2.   Yesus mengatakan, “Sebab jikalau aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu.” Yesus tidak menjelaskan mengapa dia bersama Roh Kudus tidak dapat tinggal di atas bumi dan melayani bersama-sama, tetapi sekalipun demikian, ia menjadikan kenyataan ini terang. Jika Yesus Kristus, Allah Bapa, dan Roh Kudus adalah satu Pribadi, seharusnya Yesus dan Roh Kudus dapat tinggal bersama-sama di atas bumi untuk melayani umat manusia. Tetapi dikarenakan Roh Kudus adalah seorang Penolong lain yang diutus oleh Allah setelah kepergian Yesus, maka Yesus harus pergi dari dunia terlebih dahulu, barulah Penolong lain itu datang ke atas bumi.
3.   Roh Kebenaran, tidak hanya bersemanyam dalam diri Yesus, melainkan juga dapat bersemanyam dalam diri murid-muridnya sehingga mereka bisa melihat dan menerimanya, sedangkan dunia tidak dapat menerima karena tidak dapat melihat dan tidak mengenal dia.
Yesus Kristus, Allah Bapa, dan Roh Kudus adalah Tiga Pribadi yang berbeda. Tiga Pribadi yang memiliki tugas dan peran masing-masing, tetapi memiliki tujuan dan keinginan yang satu. Kisah pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis semakin menegaskan kebenaran tersebut.
Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atasnya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anakku yang Kukasihi, kepadanyalah Aku berkenan.” Matius 3 : 16-17
Kisah pembaptisan Yesus Kristus oleh Yohanes Pembaptis tersebut telah membuktikan kepada kita bahwa Yesus Kristus, Allah Bapa, dan Roh Kudus adalah benar-benar tiga Pribadi yang berbeda. Dari kisah tersebut dapat dijelaskan:
1.   Pribadi Yesus  disebutkan dalam ayat, “Yesus Kristus segera keluar dari air.”
2.   Pribadi Roh Kudus disebutkan dalam ayat, “Roh Allah seperti burung merpati.”
3.   Pribadi Allah Bapa disebutkan dalam ayat, …terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anakku yang Kukasihi, kepadanyalah Aku berkenan.”
Yang dimaksud dengan “Aku dan Bapa adalah satu” dalam Yohanes 10:30 adalah Yesus Kristus bersatu dengan Allah Bapa, bukan bersatu dalam satu hakikat, tetapi bersatu dalam satu pekerjaan (baca Yohanes 10:25, Yesus melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam nama Allah Bapa), satu kehendak, satu tujuan.
Jika kita merenungkan permohonan Yesus kepada Allah dalam Yohanes 17:11, 21-23 maka dapat diketahui bahwa tidak hanya Yesus yang bisa menjadi ’satu’ dengan Allah; tapi 12 muridnya, bahkan orang-orang yang percaya kepada ajaran Yesus pun bisa menjadi ’satu’ dengan Allah. Tetapi ’satu’ di sini tidak berarti mereka menjadi satu hakikat dengan Allah. Sebab, kalau diartikan satu hakikat, ini berarti orang-orang yang percaya yang juga hidup bersatu ”di dalam Yesus dan di dalam Bapa” mereka menjadi satu hakikat pula dengan Allah dan mereka menjadi Allah semua!! Tentu tidak.
”Dan aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita. Yohanes 17 : 11
”Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam aku dan aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang mengutus Aku. Dan aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah meng-utus aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi aku.” Yohanes 17:21-23
Jika kata ’satu’ dalam Yohanes 17 : 11, 21-23 diartikan satu hakikat, mengapa Yesus dapat berpisah dengan murid-muridnya, kemudian datang kepada Allah? Jika Allah dan Yesus satu hakikat, mengapa Yesus memohon kepada Allah supaya dunia tahu dan percaya kalau Allah-lah yang mengutusnya? Bukankah kata ”Engkaulah yang telah mengutus aku” telah menunjukkan kepada kita bahwa Yesus itu adalah utusan Allah? Ini bukti bahwa yang dimaksud ’satu’ dalam ayat tersebut adalah satu iman, satu kepercayaan, satu Allah, satu baptisan. Oleh karena itu, Paulus menasehati jemaat Efesus untuk tetap memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.
“Berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua. Efesus 4 : 3-7


[1] (Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi, hlm. 592). Tasman Mahmud Syukri, Galileo Menyingkap Kebenaran, Depok: Gema Insani; cet.1, 2005; hlm. 87-88.
[2] Alexander Edbert C. Show Us The Straight Path: Menemukan Kebenaran Iman Yang Sejati. Jakarta: Pustaka Intermasa. Cet.1, Oktober 2008.   hlm. 134.